Thursday, June 30, 2011

Kisah Tentang Kantong Uang Ajaib


Zaman dahulu kala, ada sepasang suami istri yang tinggal di gubuk kecil. Mereka sangat miskin sehingga setiap hari mereka harus memotong dua ikat kayu bakar dan memanggulnya di punggung mereka untuk dijual di pasar.

Suatu hari pasutri tersebut turun dari gunung dengan membawa kayu bakar.

Mereka meletakkan satu ikat di halaman dan merencanakan untuk menjualnya di pasar agar uangnya dapat dibelikan beras. Sedangkan ikatan lainnya, mereka letakkan di dapur untuk digunakan sendiri.


Ketika mereka bangun keesokan harinya, ikatan yang mereka letakkan di halaman secara misterius hilang. Tidak ada yang dapat mereka lakukan, kecuali menjual ikatan yang seharusnya akan digunakan sendiri oleh mereka.

Pada hari itu juga, mereka memotong dua ikat kayu bakar seperti biasanya. Mereka meletakkan satu ikat di halaman untuk dijual dan satu ikat lagi untuk digunakan sendiri. Tetapi keesokan harinya, ikatan kayu bakar itu kembali hilang. Kejadian seperti ini terulang terus menerus, dan suaminya mulai berpikir ada yang aneh dibalik peristiwa ini.

Pada hari kelima, dia membuat lubang di dalam ikatan kayu bakar yang diletakkan di halaman tersebut dan menyembunyikan diri di dalamnya.

Dari luar, ikatan kayu bakar tersebut terlihat seperti biasanya.

Tengah malam, sebuah tali yang sangat besar turun dari langit, menempel pada ikatan kayu bakar tersebut dan kemudian terangkat ke atas langit, dengan sang suami yang masih berada dalam ikatan kayu bakar tersebut.

Setibanya di surga, dia melihat seorang tua berambut putih, yang kelihatannya sangat baik, mendekati ikatan tersebut.

Orang tua tersebut melepaskan ikatan kayu bakar tersebut dan menemukan pria tersebut di dalamnya, dan bertanya, ”Orang lain hanya memotong satu ikat kayu bakar setiap harinya. Mengapa kamu memotong dua ikat?”

Sang suami memberi hormat dan berkata,”Kami tidak punya uang. Itulah alasannya mengapa isteri saya dan saya memotong dua ikat kayu bakar setiap harinya. Satu ikat untuk digunakan sendiri dan satu ikat lagi kami bawa ke pasar untuk dijual. Sehingga kami dapat membeli beras untuk memasak bubur.”

Orang tua tersebut tersenyum dan berkata kepada pemotong kayu tersebut dengan nada yang sangat ramah,” Saya telah tahu sejak lama bahwa kalian adalah pasangan yang baik hati dan selalu hidup hemat dan bekerja keras. Saya akan memberikan kepada kalian sebuah barang berharga. Bawalah barang ini dan dia akan memberikan apa pun yang kalian perlukan dalam hidup ini.”

Setelah orang tua tersebut selesai berbicara, datanglah tujuh peri, membawa pemotong kayu tersebut ke tempat yang sangat indah. Atap emas dan genteng yang berkilau, menyilaukan mata pada saat dia masuk kedalamnya, sehingga dia tak dapat membuka matanya.

Di dalam istana tersebut terdapat banyak barang terpajang yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Kantong uang dalam berbagai bentuk dan ukuran digantung di satu ruangan. Peri tersebut bertanya kepadanya,”Mana yang anda sukai? Pilihlah apapun yang anda sukai dan bawalah pulang ke rumah.”

Pemotong kayu tersebut sangat senang. ”Saya ingin kantong uang tersebut, kantong yang penuh dengan barang berharga. Berikan pada saya kantong yang bulat dan penuh tersebut.”

Dia memilih yang terbesar dan membawanya.

Seketika, orang tua berambut putih tersebut masuk dan dengan ekspersi aneh di wajahnya berkata kepada pemotong kayu tersebut, ”Kamu tidak boleh mengambil yang satu itu. Saya akan memberikan kantong yang kosong kepada kamu. Setiap hari anda dapat mengambil satu tael perak dan tidak boleh lebih.”

Pemotong kayu tersebut dengan enggan menyetujui. Dia mengambil kantong uang yang kosong tersebut, dengan bergantung pada tali tersebut, dia kemudian turun ke bumi.

Setibanya di rumah, dia memberikan kantong uang tersebut kepada isterinya dan menceritakan keseluruhan kejadian tersebut.

Isterinya sangat germbira. Setiap hari, mereka pergi untuk memotong kayu seperti biasanya. Tetapi ketika mereka kembali ke rumah, mereka akan mengunci pintu dan membuka kantong uang tersebut, yang secara cepat sebongkah perak akan bergemerincing keluar.

Sebongkah perak tersebut benar-benar pas satu tael. Setiap hari satu tael perak dan tidak lebih, akan keluar dari kantong tersebut. Isterinya kemudian menyimpannya setiap hari, satu tael demi satu tael.

Waktu berlalu. Suatu hari suaminya berkata,”Mari kita beli lembu.”

Isterinya tidak setuju. Beberapa hari kemudian, suaminya berkata kembali, ”Bagaimana jika kita beli lahan beberapa hektar?”

Isterinya juga tidak setuju. Beberapa hari berlalu, dan isterinya kemudian mengajukan usul, “Mari kita beli pondok jerami yang kecil.”

Suaminya sudah sangat ingin memakai uang yang telah mereka tabung dan berkata, ”Karena kita telah memiliki banyak uang, mengapa kita tidak bangun saja rumah bata yang besar?”

Isterinya tidak dapat menghalangi suaminya dan secara enggan menyetujui ide tersebut.

Suaminya kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli batu bata, ubin dan kayu dan menyewa tukang kayu dan tukang bangunan. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi pergi ke gunung untuk memotong kayu bakar lagi.

Kemudian tibalah hari, dimana simpanan uang perak mereka hampir kering, tetapi rumah baru tersebut belum juga selesai. Telah lama dalam pikiran suaminya untuk meminta kantong uang tersebut menghasilkan uang perak yang lebih banyak.

Dengan tanpa sepengetahuan isterinya, dia membuka kantong tersebut untuk kedua kalinya dalam hari tersebut. Dan secara cepat, sebongkah perak kedua bergemerincing keluar. Dia membuka kantong tersebut untuk ketiga kalinya, dan mendapatkan uang perak ketiganya dalam hari tersebut.

Dia kemudian berpikir, ”Jika terus menerus seperti ini, rumah ini akan selesai dengan cepat!”

Dia telah melupakan peringatan orang tua berambut putih tersebut. Tetapi ketika dia membuka kantong uangnya untuk yang keempat kalinya, kantong tersebut kosong! Tidak ada perak atau apapun yang keluar.

Kantong tersebut telah menjadi sebuah kantong tua. Ketika dia berbalik untuk melihat rumah batanya yang belum selesai, rumah tersebut juga telah hilang. Yang tertinggal hanyalah gubuk tua.

Pemotong kayu tersebut merasa sangat sedih.

Isterinya datang dan menghiburnya, ”Kita tidak dapat bergantung pada kantong uang ajaib. Mari kita kembali ke gunung dan memotong kayu bakar. Ini cara terbaik untuk menghidupi diri kita.”

Sejak saat itu, pasutri tersebut kembali ke gunung untuk memotong kayu bakar dan hidup dan bekerja seperti dahulu kala.

Thursday, June 9, 2011

Jangan Biarkan Anak Bingung dengan Masa Depannya


Tak tahu ingin jadi apa, atau bagaimana mencapainya, adalah satu gambaran tentang betapa minimnya pemahaman anak tentang masa depan. Tanpa pengetahuan yang memadai, bagaimana kelak mereka menjalani masa depannya? Semasa anak menjalani pendidikan di sekolah dasar, orangtualah yang banyak berperan memilihkan sesuatu untuknya. Namun selepas SD, anak-anak mulai dihadapkan pada pilihan untuk melanjutkan studinya. Walau kemudian, lagi-lagi orangtua masih berperan besar dalam keputusan yang diambil. Ketika SMA, pilihan-pilihan itu semakin banyak. Mulai dari memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan yang akan diambil, lulus sekolah mau kuliah atau bekerja. Kalau kuliah jadi pilihan, mereka pun harus menentukan mengambil D3 atau S1, di universitas mana, program studinya apa, dan sederet pilihan lainnya. Anak, dalam hal ini remaja, semestinya sudah bisa memutuskan pilihannya sendiri. Karena semua pilihan yang ia ambil sebenarnya adalah pilihan tentang masa depannya.

Pendidikan yang Tidak Fokus

“Memang, yang sering terjadi di Indonesia, khususnya, pendidikan tidak banyak membicarakan tentang masa depan. Sehingga saat anak-anak lulus SMA, mereka kaget dan tidak tahu mau ngapain,” kata psikolog Eri Vidiyanto, M. Psi, konsultan di Essa Consulting, Jakarta, tentang kebingungan anak-anak soal masa depannya. Sebagai gambaran, Eri mengaku banyak menemukan kasus anak-anak yang sudah berpayah-payah mengikuti SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan diterima di jurusan yang ia tuju, tapi akhirnya mundur karena merasa tak cocok. Sebagian yang lain, malah ngotot ikut SPMB berulang-ulang untuk masuk ke fakultas yang diinginkannya, seperti fakultas kedokteran, tapi tak juga lulus. “Padahal, menurut saya, kapasitasnya bukan di situ. Kenapa memaksa di situ?” ujar Eri. Sikap remaja yang seperti ini jelas menunjukkan kebingungan mereka pada masa depan, imbuhnya. Eri, yang mendapat gelar master di bidang psikologi pendidikan Universitas Indonesia, juga menyesalkan sistem pendidikan negeri ini yang mewajibkan siswanya mengambil mata pelajaran yang sudah ditentukan. Padahal belum tentu semua itu bermanfaat nyata bagi kehidupan mereka. “Sudah mengeluarkan usaha yang besar, tapi enggak tahu manfaatnya apa,” terangnya.
Berbeda dengan pendidikan di beberapa negara lain yang memungkinkan siswanya hanya mengambil mata pelajaran sesuai minatnya, semacam sistem perkuliahan. Secara tidak langsung ini akan menunjukkan minat mereka. “Anak tidak lagi dituntut menguasai semua hal, tapi profesional di bidang tertentu,” jelas ayah satu anak ini.

Bimbingan Orangtua

Ketidakmampuan anak memfokuskan diri pada masa depan yang akan mereka jalani, tak terlepas dari peran orangtua. Belum banyak orangtua yang bisa mengarahkan dan membimbing anaknya untuk fokus pada masa depan. Sebagian orangtua kelihatannya memang peduli tapi mereka hanya menginginkan masa depannya anak sesuai dengan rencananya, tanpa melibatkan anak. Mereka ingin anaknya jadi seperti yang mereka inginkan, misalnya dokter, bankir, dan sebagainya. Keinginan anak tak mereka hiraukan. Sementara di sisi lain, ada orangtua yang permisif, terserah anak, apa saja boleh. Tipe orangtua seperti ini tidak memberi arahan sama sekali. Akibatnya, anak kebingungan sendiri. Peran orangtua yang ideal, kata Eri, adalah yang mengarahkan, tapi tidak memaksakan kehendak. Orangtua semestinya mengenali potensi anak, kemudian membantu dan memberikan alternatif yang bisa anak lakukan. “Berikan beberapa alternatif, tapi biarkan anak yang memutuskan karena urusan masa depan adalah urusan pribadi anak,” katanya. Jadi, anak tetap dilibatkan dalam urusan masa depannya. Ketika sudah beranjak remaja, namun ia tak juga punya cita-cita atau pilihan karier di masa depan, sebenarnya ini adalah warning bagi orangtua untuk secepatnya memberi arahan masa depan bagi anak-anaknya. Remaja tak punya cita-cita atau target hidup, tegas Eri, tidaklah wajar.

Merancang dan Mendiskusikan Masa Depan

Sejak dini sebenarnya orangtua dapat mengarahkan anak tentang masa depannya. Pengenalan kepada berbagai pekerjaan yang bisa dijalaninya di masa depan bisa dimulai sejak usia TK atau SD. Namun pemantapan atau pematangan baru bisa dilakukan saat anak duduk di sekolah menengah pertama dan atas. Pada usia SMP dan SMA inilah orangtua harus mulai membicarakan masa depan secara lebih serius. Tentunya dengan gaya yang bisa diterima anak. Sebab, anak-anak usia belasan tak bisa diatur dan diajak bicara dengan gaya directive yang mengatur ini-itu. “Pendekatannya harus perlahan dan kesadaran harus timbul dari dalam diri mereka,” ujar lelaki yang hobi membaca dan diskusi ini. Dengan bijak, orangtua bisa memberi gambaran tentang bagaimana masa depan itu dan seperti apa tuntutannya. Untuk mendukung ini selayaknya orangtua juga sudah mampu mengenali potensi anak. “Dengan potensi yang dimilikinya, kira-kira apa yang bisa dilakukan anak untuk menjawab tantangan masa depannya,” ujar Eri. Bagi anak sendiri, gambaran masa depan yang pastinya semakin kompetitif bisa jadi akan menimbulkan kecemasan. Tak mengapa rasa ini muncul, namun perlu tindakan lanjut untuk mengatasinya. “Rasa cemas ini akan mendorong anak untuk membuat target dalam mencapai kesuksesan, ‘Saya harus cari kuliah yang bikin saya sukses sesuai potensi saya.’ Pada saat inilah mereka perlu bimbingan orangtua atau tenaga ahli,” jelasnya.

Orangtua kemudian semestinya membimbing anak membuat perencanaan. Berikan saran-saran berdasarkan pengalamannya yang memang relatif lebih banyak dari anak. Paparkan juga potensi anak yang bisa menjadi acuan dalam merancang masa depannya. Misal, “Ibu lihat kamu selalu menjadi tempat curhat teman-temanmu dan kelihatannya kamu senang. Mungkin kamu bisa pikirkan untuk kuliah di fakultas psikologi.” Orangtua bisa pula mengajak anak menilai kembali kemampuannya bila ternyata ia memilih suatu bidang di luar kemampuannya. Contohnya, anak ingin masuk fakultas kedokteran tapi kemampuannya kurang memadai. Coba tawari ia untuk masuk bidang lain yang terkait dengan kesehatan juga, seperti pendidikan keperawatan. Soal kemampuan orangtua, terutama finansial, juga perlu dibicarakan. “Ada anak yang saking excited-nya, bikin target tinggi dan kurang melihat kemampuan, bukan hanya potensi diri tapi juga materi,” kata Eri.

Orangtua memang akan melakukan apa pun untuk masa depan anak, namun tentu kemampuannya terbatas. Nah, berikan gambaran itu padanya. Mungkin bisa diusahakan untuk mencari beasiswa atau melanjutkan pendidikan sejenis tapi dengan biaya yang lebih terjangkau, misalnya mengambil program D3 dulu. Saat anak merasa mantap dengan keputusannya, disertai pertimbangan yang matang terkait dengan potensinya dan pertimbangan lainnya, juga sudah melibatkan orangtua, maka keputusan ini dapat dianggap sebagai keputusan terbaik. Kini orangtua mesti mengawasi konsistensi anak dalam menjalankan semua rencananya. “Kalau anak keluar jalur, tanyakan lagi, ‘Kamu kan dulu yang memilih ini, kenapa jadi ke sana?’ Jadi ada proses tanggung jawab dari si anak,” terang Eri. Kerja sama dan keterbukaan antara anak dan orangtua adalah kunci keberhasilan dalam merancang masa depan. Jangan biarkan remaja bingung sendirian. Eri menuturkan, anak-anak yang didukung orangtua biasanya lebih cepat mencapai keberhasilan dibanding mereka yang menemukan jalannya sendiri. Maka bantu dan dukunglah anak-anak kita merancang masa depan mereka.

Ajak si Kecil Kenali Hari Esok

Membicarakan masa depan, bisa dimulai sejak usia taman kanak-kanak. Karena di masa itu mereka sudah mengenali lingkungan di luar dirinya dan keluarga. Namun, pengenalan masa depan bagi anak usia TK dan SD tetap harus memerhatikan tahapan perkembangannya.

. Anak usia TK pola pikirnya didasarkan pada hal-hal yang konkret. Jadi, pada tahapan ini kenalkan saja mereka beragam profesi yang mungkin bisa mereka pilih di masa depan. Ajak mereka bertemu langsung dengan orang-orang yang berprofesi tertentu atau bermain peran sesuai profesi tertentu.

· Anak usia SD yang sudah mampu berpikir abstrak dan mengembangkan imajinasi biasanya memilih profesi “hebat” dalam pandangan mereka, seperti ingin menjadi astronot karena bisa pergi ke bulan, atau jadi polisi karena bisa naik motor besar. Memang belum ada pertimbangan logis saat mereka memilih satu profesi sebagai cita-cita.

· Wajar bila cita-cita mereka terus berubah dari waktu ke waktu karena semakin banyak yang mereka lihat atau pengaruh teman-temannya. Tetap hargai cita-cita yang selalu berubah itu.

· Jadikan apa pun cita-cita mereka sebagai motivator mereka untuk belajar dan berbuat lebih baik. Orangtua bisa bilang, misalnya, “Kalau mau jadi dokter, Ade harus rajin belajar.”