Wednesday, November 24, 2010

Ayah Menjadi Model Bagi Si Anak



Bagaimana kepribadian si Buyung nanti tergantung pada ayah. Karena di usia ini, anak lelaki biasanya akan menjadikan ayah sebagai model perilakunya.

Kerap kali ayah sangat sibuk dengan pekerjaannya, sehingga sulit baginya membagi waktu antara pekerjaan dan rumah. Kala ayah pulang, anak sudah tidur. Bahkan tak jarang, pagi pun ayah tak sempat lagi ketemu dengan anak karena si kecil belum bangun sementara ayah harus berangkat kerja pagi-pagi sekali. Ayah tak sempat lagi menanyakan kegiatan anak dari pagi sampai sore, bermain dengan siapa saja, dan sebagainya.

Padahal kita tahu, peran ayah tak kalah penting dengan peran ibu. Jadi, ujar Zamralita, Psi ., sesibuk apapun, ayah harus tetap menyediakan waktu bersama anak, minimal satu jam sehari. "Waktu tersebut harus betul-betul efektif agar tujuan yang dicapai sesuai, yaitu mengakrabkan ayah dan anak," jelas psikolog pada Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta ini.

Dalam waktu yang efektif tersebut, ayah dapat berkomunikasi dengan cara bermain, mengobrol atau melakukan aktivitas lain bersama anak. "Namun selama bersama anak, ayah tak boleh ada pikiran apapun tentang pekerjaan. Jadi, seluruh perhatian ayah benar-benar tercurah pada anak," tandas Zamralita. Jika ayah tak bisa menyediakan waktu malam hari, bisa dilakukan paginya sebelum ke kantor. "Toh, biasanya anak kerap bangun lebih awal karena tidurnya pun lebih awal."

Tapi jika ayah harus berangkat pagi-pagi sekali, maka gunakanlah malam hari untuk bersama anak. Paling tidak, saat magrib ayah sudah berada di rumah sehingga masih sempat bermain bersama anak. Kemudian saat weekend atau libur, juga manfaatkan seefektif mungkin untuk bersama anak. "Namun ayah harus konsekuen menyediakan waktu untuk anak, jangan sampai kehilangan waktu sehari pun untuk bersama anak."

Tentunya, dengan keterbatasan waktu yang ada, ayah tak mungkin dapat mengawasi seluruh aktivitas anak, namun ayah tetap harus mengetahuinya. Caranya, ayah harus aktif mendapatkan informasi; misalnya, dari ibu. Dengan begitu, ayah jadi tahu harus masuk pada bagian mana dan apa yang harus diawasi. Misal, anak suka omong kasar atau jorok. Nah, ayah harus tahu dari mana anak bisa berkata seperti itu dan apa yang harus ia lakukan agar si kecil tak keterusan omong kasar/jorok.

TOKOH IDENTIFIKASI

Penting diketahui, pada usia prasekolah, anak mulai melakukan identifikasi. Bila di usia sebelumnya (batita) si kecil hanya sekadar meniru omongan atau tingkah laku orang tua maupun orang lain, maka di usia ini peniruannya lebih dalam. Maksudnya, ia tak hanya sekadar meniru tapi "mengambil" apa yang ditirunya dari si model/tokoh, yang kemudian akan menjadi bagian dari dirinya. Oleh karena itu, yang ditiru pun tak sebatas hanya omongan dan tingkah laku, tapi seluruhnya yang ada pada si model/tokoh. "Umumnya, anak akan beridentifikasi pada orang yang berjenis kelamin sama. Anak lelaki akan beridentifikasi pada ayah dan anak perempuan pada ibu," tutur Zamralita.

Namun begitu, anak perempuan juga bisa beridentifikasi pada ayah dan anak lelaki beridentifikasi pada ibu. Jadi, anak perempuan bisa saja "mengambil" sifat tegas dari ayah atau anak lelaki "mengambil" sifat ibu yang perhatian, misalnya. Bukankah konon, ayah lebih mengajarkan sifat-sifat seperti ketegasan, tanggung jawab, dan melindungi; sedangkan ibu lebih pada kasih sayang, kepedulian, dan kelembutan?

Kendati demikian, lanjut Zamralita, pada dasarnya peran ayah terhadap anak lelaki dan perempuan sama saja. Bedanya cuma pada cara menerapkannya. "Tentunya dalam memperlakukan anak perempuan dan lelaki akan berbeda, karena ada perilaku-perilaku tertentu yang bersifat normatif." Misalnya, ayah lebih mengarahkan anak perempuan harus rapi, berbicara halus, lemah lembut, dan sebagainya. "Jadi, lebih diarahkan pada stereotipe perempuan. Sedangkan pada anak lelaki, ayah bisa saja mengajak membetulkan mobil, misalnya."

Yang harus disadari, lanjut Zamralita, anak bukan hanya akan beridentifikasi pada hal-hal positif dari orang tua, tapi juga bisa perilaku negatifnya. Padahal, identifikasi berkaitan dengan pembentukan konsep diri; anak tengah mencari pola perilaku dalam rangka pembentukan konsep dirinya. Sifat-sifat maupun perilaku orang tua yang dimasukkan ke dalam diri anak akan menjadi bagian dari perilakunya kelak.

Nah, agar ayah bisa menjadi tokoh identifikasi yang baik, menurut Zamralita, ayah harus menjadi contoh yang baik pula bagi anak. "Ayah harus bersifat maupun berperilaku baik dan konsisten." Tapi ingat, lo, si kecil tak akan begitu saja beridentifikasi dengan ayah. Sebab, anak hanya akan beridentifikasi pada orang yang dekat dengannya dan cukup berpengaruh terhadapnya. Itulah mengapa kedekatan ayah dan anak harus sudah mulai dibina sejak bayi; lebih bagus lagi sejak anak masih di kandungan ibu. Jadi, Pak, segeralah "berubah" bila Anda sadar bahwa selama ini Anda kurang terlibat dalam mengasuh si kecil.

KEMAMPUAN AKADEMISNYA RENDAH

Karena ayah lebih menjadi figur identifikasi bagi anak lelaki, maka ketiadaan ayah akan berdampak lebih besar pada anak lelaki ketimbang anak perempuan. Meski sebetulnya anak lelaki bisa saja beridentifikasi pada sifat-sifat ayah dari ibu, namun, seperti sudah dipaparkan di muka oleh psikolog Rahmitha P. Soendjojo, hasilnya bisa berbeda bila sifat-sifat lelaki diberikan oleh sosok yang an sich memang lelaki.

Tapi bukan berarti si Buyung nantinya akan bersifat kewanitaan atau menjadikannya homoseksual. Sebab, terang Zamralita, untuk sampai pada terjadinya penyimpangan seksual biasanya lebih dikarenakan ada sesuatu dalam dirinya, seperti bawaan dari lahir dan kemudian ada trigger -nya atau pencetusnya.

Jadi, tak usah khawatir si Buyung kelak akan mengarah ke sana hanya karena ketiadaan figur ayah. Toh, masih ada ibu yang bisa mengajarkan sifat-sifat lelaki kepadanya. Apalagi dari banyak penelitian, lebih sering ditemukan pengaruhnya pada perkembangan kognitif anak lelaki. "Anak lelaki yang tumbuh dalam bimbingan ayahnya akan mendapat pencapaian akademis tinggi dan keterampilan matematika yang lebih baik dibanding anak lelaki tanpa ayah," tutur Zamralita.

Selain itu, dari penelitian terhadap jenis kelamin orang tua tunggal karena salah satunya meninggal atau berpisah, ditemukan bahwa anak lelaki yang diasuh oleh ayahnya akan tampak lebih mandiri, ceria, punya rasa percaya diri tinggi dan lebih matang. Bagi anak perempuan, ketiadaan ayah membuatnya kehilangan sifat-sifat ayah, karena sifat-sifat tersebut tak akan diperolehnya dari figur ibu.

Tapi dampaknya tak terlalu besar, karena umumnya anak perempuan tak menjadikan ayah sebagai model identifikasinya. Jadi, tak akan membuat si Upik sampai mencari-cari figur ayah atau malah membenci dan penyimpangan perilaku lainnya. Ketiadaan ayah juga tak berdampak pada kemampuan akademis si Upik, tapi lebih pada masalah sosialisasinya dengan lawan jenis. "Bila ketiadaan ayah karena meninggal, biasanya di masa remaja nanti ia akan menjadi sosok pencemas, mudah gelisah dan tak nyaman bila berada di antara teman lelakinya. Tapi bila karena bercerai, ia cenderung bersikap tak tegas terhadap pria di usia remajanya," tutur Zamralita.

Umumnya, ketiadaan ayah karena meninggal akan sangat berbeda pengaruhnya dibanding karena bercerai. Bila ayah meninggal, biasanya anak akan mengenang hal-hal yang indah dan menyenangkan bersama ayah. Tapi bila disebabkan perceraian, biasanya berdampak buruk karena akan banyak hal negatif yang dikenang anak. Bukankah biasanya sumber perceraian adalah ketidakcocokan?

Nah, hal inilah yang sulit disembunyikan orang tua dari anak, sehingga akan menciptakan iklim tak menyenangkan atau tak baik bagi perkembangan anak. Misalnya, ibu sering menangis atau ayah jarang pulang. Padahal anak usia ini perlu belajar kasih sayang, rasa aman, percaya diri, dan berani dari lingkungan rumah yang nyaman. Pendeknya, ketiadaan ayah, entah karena meninggal atau bercerai, mengakibatkan ada sesuatu yang kosong atau hilang pada diri anak.

Ibaratnya, ada ruang kosong dalam kepribadian anak, baik anak lelaki maupun perempuan. Karena, jarang sekali ibu dapat dengan sempurna berperan ganda. Itulah mengapa para ahli kerap menganjurkan, harus dicari figur substitusi yang dapat menggantikan peran ayah, seperti kakek atau paman. Bagaimana bila ayah ada namun tak berperan? Misal, ayah sangat sibuk sehingga tak ada waktu untuk anak. "Tetap akan berdampak psikologis pada anak," ujar Zamralita, "karena keterlibatan emosi bagi anak sangatlah penting; akan timbul keraguan pada anak dan ia pun pasti akan komplain. Misalnya, 'Kok, Ayah nggak pernah ajak aku jalan-jalan, sih?'," lanjutnya.

BERMAIN

Nah, semakin paham, kan, Pak? Tentunya peran ayah bagi anak usia ini tak hanya sebatas tokoh identifikasi. Sebagaimana di usia-usia sebelumnya, ayah pun ikut berperan untuk mengembangkan aspek-aspek perkembangan lainnya pada anak. Hanya bedanya, bagaimana cara ayah menjalankan perannya tersebut akan "diambil", terutama oleh anak lelaki.

Dalam perkembangan motorik, misalnya, ayah biasanya mengajak anak perempuan melakukan permainan yang bersifat netral semisal main kartu. Tapi dengan anak lelaki, biasanya dalam bentuk fisik, seperti main bola atau mengajaknya melakukan suatu bentuk pekerjaan yang umumnya dianggap sebagai pekerjaan lelaki, seperti membetulkan mobil. "Umumnya, ayah tak membedakan antara anak lelaki dan perempuan," ujar Zamralita. "Hanya pada anak lelaki, ayah biasanya mengarahkan agar memiliki sifat-sifat berani seperti tegas, tak pengecut, tak pemalu, harus mempertahankan apa yang benar, tanggung jawab, dan sebagainya," lanjutnya.

Jadi, bila si Buyung menangis gara-gara berkelahi, misalnya, ayah biasanya akan menanyakan duduk persoalannya dan si Buyung pun diajarkan untuk tak boleh cengeng, serta harus berbaikan lagi dengan temannya. "Pada anak perempuan sebetulnya juga sama. Cuma bentuk pengarahan dan cara penyampaiannya berbeda. Misal, anak perempuan berkelahi, biasanya lebih secara verbal bentuk agresinya.

Nah, ayah mengarahkan atau melarang anaknya berkelahi, berlaku atau berucap kasar." Selain itu, ayah juga turut mengarahkan dengan siapa si Upik dan Buyung boleh bermain. Bukan dalam arti membeda- bedakan teman, lo, tapi ayah harus tahu persis lingkungan pergaulan anaknya. Bukankah teman turut mempengaruhi pula perkembangan emosi dan moral anak nantinya? "Nah, biasanya ayah lebih tegas dalam hal ini dibanding ibu." Pendeknya, tandas Zamralita, banyak hal dalam perkembangan anak dimana ayah dapat terlibat, terutama dengan kegiatan anak.

Permainan merupakan salah satu caranya. "Banyak sekali bentuk dan variasi permainan yang dapat dilakukan ayah bersama anak usia ini." Lewat bermain, selain kemampuan anak dirangsang, juga akan menciptakan kedekatan anak dan ayah. "Anak akan merasa, ayah menyediakan waktu baginya. Ini tentunya akan berdampak positif bagi hubungan anak dan ayah." Itulah mengapa, Zamralita minta, ayah harus berespons positif dalam bermain atau menanggapi ajakan anak.

"Umumnya anak usia ini masih banyak bergerak. Ada kesenangan tersendiri dengan melakukan banyak kegiatan. Apalagi jika kegiatan tersebut dilakukan bersama orang tua." Jadi, Pak, jangan beralasan capek atau sibuk, ya, kalau diajak main oleh si kecil. Bisa-bisa Anda nanti dijauhi si kecil dan akhirnya tak dijadikan tokoh identifikasi, lo.

No comments: