Saturday, January 23, 2010

Hilangkan Rasa Stres Anak


Setiap anak mempunyai kebebasan berpikir, bermain, maupun beradaptasi dengan orang lain namun tentunya ada batasan dalam kebebasannya. Salah seorang anak mengeluh jika pembelajaran hanya sebatas kejar nilai target atau setoran hafalan namun akhirnya membuat si anak menjadi stres bahkan menjadi bingung dalam belajarnya yang akhirnya tidak konsentrasi sampai juga menimbulkan anak sakit demam atau malas dalam belajarnya. Komunikasi orang tua dan anak kadang hanya sebatas pertemuan dalam sepatah kata "Bagaimana nilaimu atau sudah kerjakan PR nya buat besok ?". Itulah kilahan bagi sang orang tua. Akhirnya anak lebih memilih menyendiri, bersembunyi atau bermain tanpa memikirkan tugas-tugas maupun harapan nilai-nilai pelajarannya "apa adanya". Seringkali orang tua kurang memahami apakah anaknya sudah memberikan kebebasannya dalam pelajaran ? Padahal mereka sebagian besar stres terhadap pelajaran atau kurang nyaman dalam belajarnya.

Yang terpenting adalah bagaimana orangtua mengatur waktu, mengajarkan kepada anak agar mereka dapat mengenali dan mengekspresikan emosi mereka, dengan menggunakan cara-cara sehat untuk mengatasi stres yang mereka alami. Orangtua dapat membantu mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi masalah apapun secara bersama. Hasil polling yang dilakukan, teryata yang menyebabkan stres pada anak adalah: Nilai, sekolah dan rumah (36%), keluarga (32%), dan teman-teman, gosip, dan gangguan lainnya (21%).

Dan yang dilakukan anak-anak untuk mengatasi atau menghilangkan stres adalah dengan cara, sebagai berikut;

- 52% bermain atau melakukan sesuatu yang aktif.
- 44% mendengarkan musik.
- 30% berbicara dengan seorang teman.
- 29% tidak mencoba untuk berpikir tentang hal ini.
- 28% mencoba melakukan atau mengerjakan sesuatu.
- 26% makan sesuatu.
- 23% meluapkan emosinya dengan marah dan membanting benda.
- 22% berbicara dengan orangtua.
- 11% menangis.

Kurangnya tindakan untuk mengantispasi anak yang stres bahkan orang tua pun stres melihat anaknya kurang semangat dalam belajar dan sedih karena prestasinya rendah. Ini adalah PR buat keluarga sang pendidik utama dalam menentukan masa depan bagi si Anak bukan guru saja. Yang akhirnya ujung-ujungnya Guru menjadi tumpuan bagi perubah sang anak didiknya. Apakah guru jadi tumpuan utama perubah ? tentu saja tidak, jika saja anak membuat stres karena orang tua kurang berkomunikasi atau tidak membiasakan jadwal belajarnya dengan baik bahkan sedikit memberikan kebebasannya dalam bermain. Bahkan dalam ungkapan salah satu anak berkata "Aku bermain futsal untuk menghilangkan stres". Lihatlah ternyata ungkapan itu menjadi ujung tombak bagi siswa bahwa si Anak membutuhkan waktunya bermain, bercengkraman, berdiskusi dengan si Anak agar bisa menyenangkan dalam belajar. Bahkan barangkali dirumah pun si anak tidak ada tempat bermain, bercanda dengan teman sebayanya yang akhirnya lebih memilih bermain teman sebayanya.

Kini waktunya anak membutuhkan bermain, diskusi belajar yang menyenangkan, bercanda dengan senang tentunya membuat si anak tidak stres bahkan menjadi sakit, karena kurangnya pengalaman, interaksi, adaptasi pada lingkungannya. Ini tergantung bagaiamana si Orang tua menyeleksi bahkan mencoba mengawasi apakah anak tersebut mendapat pergaulan yang baik dalam bermainnya. Sangat perlu sekali pengawasan tersebut apalagi anak harus tahu bagaimana tanggung jawabnya, kemandiriannya juga kesadarannya.

Sekitar 25% dari anak-anak yang disurvei mengatakan bahwa ketika mereka bingung, mereka kadang memukul kepalanya dengan sesuatu atau melakukan sesuatu yang lain untuk menyakiti diri. Orangtua harus waspada bahwa anak-anak akan melakukan sesuatu untuk membahayakan dirinya saat mereka stres.

Jajak pendapat yang juga mengungkapkan berita penting bagi orangtua. 75% dari anak-anak yang disurvei mengatakan mereka ingin agar orangtua membantu mereka memecahkan masalah. Jadi saat anak Anda stres cobalah untuk menghabiskan waktu bersama mereka.

Saya memberikan poin utama menghilangkan stres bagi si anak :

1. Ajaklah mereka berolahraga dengannya maupun teman sekolahnya agar ia semangat.

2. Ajaklah mereka berkunjung ketempat toko buku atau perpustakaan agar mengetahui  pembelajaran mana yang ia sukai.

3. Sediakan waktu dan dengarkan anak Anda dengan senyuman, meminta mereka untuk memberitahu apa yang salah saat ia membicarakan persoalan.

4. Tanggapi secara bijkasana dalam mengambil keputusan dan tambahkan rasa humor Anda.

5. Evaluasi apakah ada tekanan dan cek ulang dalam prestasinya, jangan lupa berikan reward untuknya.

6. Perbanyak doa dan selalu meningkatkan ibadah bersamanya agar terkontrol dan bisa perhatian dengan si anak 

Semoga Tips ini menjadikan anak selalu bersemangat dan terhindar dari kezhaliman bagi si Anak, kepedulian dari orang tua sangat penting sekali  dan sangat di tunggu olehnya agar stres yang menimpa dirinya tidak membuat emosi bahkan menjadi sangat menyenangkan dalam kehidupannya sehari-hari. wallahu'alam bi showab

Dian Parikesit, S.Pd


Sunday, January 17, 2010

Ketergantungan Kurikulum Diknas ?


Guru dan kurikulum adalah komponen penting dalam sebuah sistem pendidikan. Keberhasilan atau kegagalan dari suatu sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh dua faktor tersebut.  Benci atau sukanya siswa terhadap suatu pelajaran bergantung pada bagaimana guru mengajar. Saya katakan bahwa guru adalah ujung tombak dalam sistem pendidikan. Sebagai ujung tombak, tentu kita sangat berharap kepada peran guru dan kharismanya di hadapan siswa.Ada juga guru yang untuk menutupi kemalasannya dan ketidakmampuannya menguasai materi memberikan tugas kepada siswa untuk merangkum materi pelajaran atau membuat makalah dengan topik materi pelajaran yang akan diajarkan. Dengan siswa telah membuat rangkuman atau makalah guru menganggap siswa sudah mempelajari materi tersebut dan menganggap siswa sudah mampu menjawab semua pertanyaan yang berkaitan dengan materi tersebut. Wow, hebat sekali ya! (Jadi, ngapain aja tuh guru?)

Guru yang lainnya, untuk menutupi kemalasannya dan kekurangannya, ada yang memanfaatkan otoritasnya dengan bersikap galak kepada siswa. Ini diharapkan dapat menarik perhatian siswa terhadap pelajaran yang diajarkannya sehingga guru akan lebih leluasa mengajarkan materi pelajaran.

Wajar saja kalau kegiatan belajar di kelas menjadi kurang menarik dan sulit lha wong gurunya saja tidak pernah memberikan pelajaran sama sekali dan lebih suka marah-marah ketimbang mengajar. Dari mana siswa mendapat tambahan pengetahuan kalau bukan dari guru? Padahal guru bertanggung jawab untuk mengantarkan siswa memahami pelajaran dan membimbing siswa untuk menerapkan pelajaran yang diajarkannya.

Kurikulum yang ada selama ini hanya mampu diikuti oleh segelintir siswa saja yang mampu sedangkan sebagian besar siswa tidak dapat mengikuti apa yang diajarkan oleh guru. Mengapa ? Seharusnya kurikulum dibuat untuk dapat diikuti oleh semua siswa, tidak hanya oleh segelintir siswa yang pintar saja.  Dan belum tentu bisa dipahami oleh semua siswa karena kemampuan masing-masing siswa berbeda-beda. Akibatnya, tidak cukup waktu yang tersedia untuk menyelesaikan seluruh materi yang ada dalam kurikulum. Guru pun hanya berpedoman pada kurikulum Diknas sesuai ketentuan UN atau sesuai acuan target kisi-kisi soal ujian nasional tidak melihat segi psikomotorik siswa, yang pada akhirnya guru tidak bisa mengembangkan kurikulum yang bernama kebebasan berpikir, kreativitas maupun imanjinasi ujian yang telah dibuatnya.

Sangat sinis sekali seandainya siswa harus berpacu pada materi-materi  UN tapi kecerdasan dalam berpikir imajinasi terkena batin yang akhirnya siswa hanya menggeleng-geleng kecapean atau dengan nada " Huh letih sekali". Apakah pendidikan itu membuat melemahkan konsentrasi siswa dalam belajar atau sebagai ancaman agar tidak bisa lulus ? Kewajiban yang harus direformasi dalam pendidikan agar bagaimana kelulusan sekolah agar anak itu bisa mendapatkan pengalaman dan pengembangan kreativitas belajarnya bukan dilihat sebagai ancaman dalam belajarnya. Sehingga Kelululusan menjadi sebuah impian teror bagi siswa yang bisa membunuh karakter siswa atau akhirnya dengan perkataan "Yang penting lulus dulu" namun keyakinan pengalaman pembelajaran hanya terhenti diam tanpa melihat segi nyata ketika ia mendapatkan ilmu yang nyata ditempat kerja atau aktivitas lingkungan siswa yang ia temukan disekitarnya.

Akan tetapi, karena kurikulum telah dijadikan pedoman dan bahkan seolah-olah bagaikan kitab suci yang wajib digunakan, kekurangan-kekurangan yang ada dalam kurikulum tidak bisa diganggu gugat. Ini menjadi beban tersendiri buat guru dan siswa. Padahal kurikulum bisa membuat keluasan berpikir guru untuk mendapatkannya dari berbagai media mulai dari indikator keberhasilan, waktu, media pembelajaran dari luar negeri maupun studi banding kurikulum sekolah yang mapan dan sukses. Begitu luar biasanya penanaman siswa utuk  berpikir memberikan karya kreativitas anak agar negara bisa maju dikarenakan keistimewaan siswa yang selalu mempunyai daya pikir yang luarbiasa dan kebebasan dalam berkarya. begitu banyaknya negara maju membuat hipotesis atau hasil temuan-temuan baru dikarenakan siswa dan guru saling berkompetisi untuk selalu mengembangkan pikiran-pikiran baru agar menjadi peneliti baru dan bagaimana seseorang bisa mempunyai hasil temuan karya dirinya sendiri. Tidak salahnya kalo kita bisa melanjutkan generasi yang berpikir dengan temuan yang baru  tanpa harus selalu merujuk pada kurikulum Diknas. Pada akhirnya kurikulum menjadikan boneka hiasan namun kurang dipahami bahkan dimengerti oleh sang pendidik . tentunya harus mengambil jalan baru atau yang terbaik kurikulum tersebut.

GURU ADALAH CERMIN UNTUK MURIDNYA.
GURU BUKAN KERJA SAMPINGAN.
GURU YANG MENJADIKAN NEGARA MAJU ATAU TERPURUK.

Guru mengajar dengan AKAL dan pengetahuannya maka akan diterima oleh AKAL muridnya.
Guru mengajar dengan HATI dan rasa tanggung jawabnya, maka akan diterima oleh HATI muridnya dengan penuh tanggung jawab.
Guru mengajar dengan hawa nafsu dan ke”bodoh”annya,maka akan diterima oleh HAWA NAFSU muridnya dengan kebencian dan ketidaktahuannya.

Ada ilmu yang dibutuhkan siswa dalam hidupnya, tapi siswa tidak tahu terhadap ilmu itu, wajib disampaikan dan diajarkan dengan cara bagaimana supaya siswa itu butuh pada ilmu itu dan mengejarnnya.

Ada ilmu yang dibutuhkan siswa dalam hidupnya, dan siswa tahu ilmu itu dibutuhkannya,wajib disampaikan dan diajarkan dengan cara bagaimanapun biasanya siswa itu butuh pada ilmu itu maka akan mengejarnya.

Apakah harus ketergantungan kurikulum Diknas ? Hanya Anda yang bisa menjawab atau memang harus ditinggalkan semuanya ?

Dian Parikesit, S.Pd

Wednesday, January 13, 2010

Dunia tanpa Batas ?


Semakin lama zaman semakin modern, bumi pun juga semakin tua ketika punahnya bumi atau istilahnya tidak kuat dengan usia yang terlampau tua dan besar maka mudahlah ia rapuh maupun mudah terkena penyakit. Akankah dunia mudah terkena penyakit ? Maka istilah dokter mengatakan "mencegah lebih baik daripada mengobatinya". Ketika semakin banyaknya media informasi maka makin banyak pula tantangan dan ujian yang akan dialami dunia pendidikan. Begitu banyak hobi dan bakat siswa dalam menempuh dunia teknologi informasi yang terus diminati namun juga sering terjadi akhirnya lalai dalam memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Sebagian besar yang kami alami begitu habisnya waktu untuk siswa melakukan kegiatan refresingnya dengan televisi, komputer , internet namun minat untuk membaca semakin berkurang. Begitu banyaknya kemodernan informasi yang didapatkan dari ilmu informasi namun tidak dilandasi dengan kekaryaan terbarunya melalui tulisan dan tangan pena mereka. Yang hanya mereka bisa copy/paste, fotocopy, rekam, atau mendapatkan modul bahan ajaran.

Pertanyaan besar dalam diri saya apakah mereka selama ini hanya bisa menyontek atau meniru ? Namun yang sangat disayangkan bagaimana siswa dilatih untuk menulis, membaca bahkan mempresentasikan hasil kekaryaannya dimulai dengan kemandirian dan tanggung jawab kepribadian. Sungguh luarbiasa nya dunia informasi seperti internet yang akhirnya masih terjadinya meniru bahkan banyak kurang kreatifnya siswa untuk melakukan potensi yang harus dikembangkan. Siswa justru lebih banyak bermain face book, chatting bahkan game online bagaimana siswa selalu berkomunikasi melalui sms yang terus menerus yang hanya masalahnya ia tidak berjumpa ataupun tidak tahu informasi dari sahabatnya. Justru sms, facebook menjadi penting dibandingkan kemandirian dan kesadaran belajar, diskusi maupun bermain sesuai kaidah pendidikan yang baik.

Akankah dunia bisa dibatasi dengan informasi ini ? Tentu saja tidak, dunia semakin terus berkembang dan maju dengan teknologinya maupun model zaman forman yang akan membentuk karater manusia pada masa yang akan datang. Tentu setiap zaman harus mempunyai aturan batasan yang tidak sampai terobsesi anak menjadi budak informasi ataupun pengikut internet. Batasan perlu adanya sistem yang mewakili dari bakat dan kreativitas siswa maupun budaya yang memang harus merka kembangkan. Akan tetapi modal batasan juga harus dikelola dengan baik dan benar. bagaimana karakter anak membentuk tanggung jawab, berprestasi serta dapat sadar dengan sendirinya bisa menghasilaan kekaryaan yang baru. bukan justru terobsesi menjadi budak atau secara otomatis hanya peniruan bakat saja tanpa ada hasil karya yang ditemukannya.

Ubahlah bagaimana anak bisa membuat tulisan tersendiri (blog/memoar), memberikan diskusi, bahkan bagaimana anak dengan sadar bisa menggunakan jilbab menutup auratnya), sholat dan tilawah dengan kesadaran diri dan bisa dipertanggung jawabkan dengan akhirnya evaluasi pun akan menjadi membanggakan bagi keluarga maupun dunia pendidikan tidak harus mengikuti lomba event tertentu tapi harus dilandasi dengan batas wajar yang menurut orang tua wajib untuk menuntut anaknya agar tidak terobsesi hal-hal yang merugikan bagi si anak. Apalagi bagi dunia pendidikan. Berapa banyak informasi begitu hebatnya yang akhirnya bisa menutup usia tua namun banyak terjangkit penyakit yang mudah melemahkan belajar (malas, ngantuk, tidak peduli, emosional, pelit, berkelahi dan lain-lain).

itulah pelajaran tantangan bagi dunia pendidikan apakah kita bisa mengelola dunia ini tanpa batas ? kalo memang tidak ada batas siapa yang bisa mengawasi bahkan yang mengobatinya dengan resep yang manjur bahkan sehat sepanjang zamannya. Itupun kalo kita bisa mempertahankan arti budaya tradisional. Ternyata yang benama tradisional pun mempunyai makna dan manfaat yang banyak sekali untuk meningkatkan bakat maupun kemandirian siswa secara efektif dan efisien . Wallahu' alam bishowab

Dian Parikesit, S.Pd

Tuesday, January 5, 2010

Terlalu Bagus menjadi Kenyataan ?


Kekuatan potensi siswa diukur bukan hanya dilihat dari akademik namun juga harus dilihat dari segi psikomotorik. Bagaimana bisa seorang anak untuk berusaha menempuh pendidikan dengan nilai target yang dicapai kalo harus dibunuh karakter pribadinya. Kepuasan seorang peserta didik justru di berikan melalui pengalaman siswa seutuhnya dari proses pembelajaran dan ilmu tambahan dari informasi media, komunikasi, maupun dari sahabat pribadinya yang membuat anak mencari identitasi kehidupan pengalaman yang seutuhnya. Cita-cita anak tak harus dibuat oleh orang tua yang mengharuskan target pembelajaranya standar tinggi dalam proses nilai belajar. Jika keadaan seperti itu maka anak Indonesia belum menjadikan anak yang mandiri dan hanya bersifat parsial tanpa mengelola dan memanfaatkannya dari psikomotoriknya yang dicapai dalam pendidikan.

Sangat berpeluang jika anak diberikan pembelajaran tanggung jawab, kepeminpinan, pengorganisasian, serta bagaimana siswa dapat merancang tujuan pendidikan yang terampil tanpa harus menargetkan nilai yang ditargetkan disekolahnya maupun target bagi si Orang tua. Pembelajaran tanggung jawab, kepeminpinan siswa sangat baik sekali  ketika dalam variasi kegiatan belajarnya mampu membuat rancangan hasil karya dan produktivitas kinerja yang benar-benar dilatih agar siswa bisa menerapkan bagaimana siswa berpikir apa arti tujuan akhir belajar di sekolahnya. Yang diinginkan sebagian besar siswa untuk bersekolah adalah pendidikan yang baik, mendapatkan teman, bersenang-senang meski harus diakui segala keinginannya adalah kedamaian hati dan mampu berpikir dengan kesadaran diri. Namun  jika diperhatikan kebanyakan kasus, orang tua/guru hanya berpikir bisa mendidik kompetensi tapi justru sulit untuk mendidik karakter siswa. 

Ubahlah persepsi kita agar menjadikan pembelajaran/sekolah yang bagus, tapi bukan sekolah yang berprestasi tinggi A, B, C. bila kita hanya memikirkan mencapai nilai tes tinggi, saya pun khawatir kita akan menciptakan generasi anak-anak yang tidak mendapat melakukan apa-apa selain mengerjakan tes dengan baik apalagi ketrampilan dan tanggung jawab karakter siswa. Saya percaya bahwa secara keseluruhan bagi kaum pelajar masa kini merupakan generasi yang paling gemilang dan berbakat yang pernah ada dibumi ini sekalipun. 

Mereka dapat mengakses lebih banyak penyesuaian, pengetahuan, kecerdikan dan sumber daya daripada generasi sebelumnya. Maka dalam pertanyaan kita  masa depan seperti apa yang akan dihadapi orang-orang muda generasi ini ?Apa yang dinantikan mereka ?  Tapi perlu diingat masa depan akan menjadi sebuah petualangan yang tak ada duanya bagi mereka. Dunia bisnis sudah berubah bentuk karena teknologi meratakan lapangan permainan globalisasi dan persaingan ketat terjadi didalam setiap perusahaan dan berdampak pada semua rumah tangga. Apakah anak-anak Indonesia akan memiliki kemampuan dan kualitas karakter yang diperlukan untuk suskes di masa depan ?

Bukankah sebagian besar guru lebih memikirkan "Pelajaran apa yang harus saya persiapkan hari ini ? dari pada memikirkan "Karir masa depan apakah yang paling cocok untuk 10 tahun yang akan datang ?Maka seorang anak akan berpikir panjang yang harus ia katakan  "Apa makan siang hari ini ?" atau "Saya akan bergaul dengan siapa usai jam sekolah ?" Tentunya sekolah-sekolah tidak saja mengajarkan kompetensi akademik yang dipikirkan namun ketrampilan yang akan berdampak masa depan siswa dan juga ketrampilan yang berprinsip memberi dampak langsung hari ini, hanya siswa membuat pilihan yang lebih baik , hari ini Kita. anak-anak sudah berusaha untuk belajar yang bagus, terbaik namun janganlah ia terbunuh dengan karakter pribadinya dengan akademik, nilai maupun target capaian yang tidak memenuhi standar Anda. Berilah keleluasan dan kebebasan berpikir dalam belajarnya agar ia bisa bertanggung jawab dan juga bisa menumbuhkan kesadaran yang berarti dalam belajarnya.

Dian Parikesit, S.Pd