Thursday, June 9, 2011

Jangan Biarkan Anak Bingung dengan Masa Depannya


Tak tahu ingin jadi apa, atau bagaimana mencapainya, adalah satu gambaran tentang betapa minimnya pemahaman anak tentang masa depan. Tanpa pengetahuan yang memadai, bagaimana kelak mereka menjalani masa depannya? Semasa anak menjalani pendidikan di sekolah dasar, orangtualah yang banyak berperan memilihkan sesuatu untuknya. Namun selepas SD, anak-anak mulai dihadapkan pada pilihan untuk melanjutkan studinya. Walau kemudian, lagi-lagi orangtua masih berperan besar dalam keputusan yang diambil. Ketika SMA, pilihan-pilihan itu semakin banyak. Mulai dari memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan yang akan diambil, lulus sekolah mau kuliah atau bekerja. Kalau kuliah jadi pilihan, mereka pun harus menentukan mengambil D3 atau S1, di universitas mana, program studinya apa, dan sederet pilihan lainnya. Anak, dalam hal ini remaja, semestinya sudah bisa memutuskan pilihannya sendiri. Karena semua pilihan yang ia ambil sebenarnya adalah pilihan tentang masa depannya.

Pendidikan yang Tidak Fokus

“Memang, yang sering terjadi di Indonesia, khususnya, pendidikan tidak banyak membicarakan tentang masa depan. Sehingga saat anak-anak lulus SMA, mereka kaget dan tidak tahu mau ngapain,” kata psikolog Eri Vidiyanto, M. Psi, konsultan di Essa Consulting, Jakarta, tentang kebingungan anak-anak soal masa depannya. Sebagai gambaran, Eri mengaku banyak menemukan kasus anak-anak yang sudah berpayah-payah mengikuti SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan diterima di jurusan yang ia tuju, tapi akhirnya mundur karena merasa tak cocok. Sebagian yang lain, malah ngotot ikut SPMB berulang-ulang untuk masuk ke fakultas yang diinginkannya, seperti fakultas kedokteran, tapi tak juga lulus. “Padahal, menurut saya, kapasitasnya bukan di situ. Kenapa memaksa di situ?” ujar Eri. Sikap remaja yang seperti ini jelas menunjukkan kebingungan mereka pada masa depan, imbuhnya. Eri, yang mendapat gelar master di bidang psikologi pendidikan Universitas Indonesia, juga menyesalkan sistem pendidikan negeri ini yang mewajibkan siswanya mengambil mata pelajaran yang sudah ditentukan. Padahal belum tentu semua itu bermanfaat nyata bagi kehidupan mereka. “Sudah mengeluarkan usaha yang besar, tapi enggak tahu manfaatnya apa,” terangnya.
Berbeda dengan pendidikan di beberapa negara lain yang memungkinkan siswanya hanya mengambil mata pelajaran sesuai minatnya, semacam sistem perkuliahan. Secara tidak langsung ini akan menunjukkan minat mereka. “Anak tidak lagi dituntut menguasai semua hal, tapi profesional di bidang tertentu,” jelas ayah satu anak ini.

Bimbingan Orangtua

Ketidakmampuan anak memfokuskan diri pada masa depan yang akan mereka jalani, tak terlepas dari peran orangtua. Belum banyak orangtua yang bisa mengarahkan dan membimbing anaknya untuk fokus pada masa depan. Sebagian orangtua kelihatannya memang peduli tapi mereka hanya menginginkan masa depannya anak sesuai dengan rencananya, tanpa melibatkan anak. Mereka ingin anaknya jadi seperti yang mereka inginkan, misalnya dokter, bankir, dan sebagainya. Keinginan anak tak mereka hiraukan. Sementara di sisi lain, ada orangtua yang permisif, terserah anak, apa saja boleh. Tipe orangtua seperti ini tidak memberi arahan sama sekali. Akibatnya, anak kebingungan sendiri. Peran orangtua yang ideal, kata Eri, adalah yang mengarahkan, tapi tidak memaksakan kehendak. Orangtua semestinya mengenali potensi anak, kemudian membantu dan memberikan alternatif yang bisa anak lakukan. “Berikan beberapa alternatif, tapi biarkan anak yang memutuskan karena urusan masa depan adalah urusan pribadi anak,” katanya. Jadi, anak tetap dilibatkan dalam urusan masa depannya. Ketika sudah beranjak remaja, namun ia tak juga punya cita-cita atau pilihan karier di masa depan, sebenarnya ini adalah warning bagi orangtua untuk secepatnya memberi arahan masa depan bagi anak-anaknya. Remaja tak punya cita-cita atau target hidup, tegas Eri, tidaklah wajar.

Merancang dan Mendiskusikan Masa Depan

Sejak dini sebenarnya orangtua dapat mengarahkan anak tentang masa depannya. Pengenalan kepada berbagai pekerjaan yang bisa dijalaninya di masa depan bisa dimulai sejak usia TK atau SD. Namun pemantapan atau pematangan baru bisa dilakukan saat anak duduk di sekolah menengah pertama dan atas. Pada usia SMP dan SMA inilah orangtua harus mulai membicarakan masa depan secara lebih serius. Tentunya dengan gaya yang bisa diterima anak. Sebab, anak-anak usia belasan tak bisa diatur dan diajak bicara dengan gaya directive yang mengatur ini-itu. “Pendekatannya harus perlahan dan kesadaran harus timbul dari dalam diri mereka,” ujar lelaki yang hobi membaca dan diskusi ini. Dengan bijak, orangtua bisa memberi gambaran tentang bagaimana masa depan itu dan seperti apa tuntutannya. Untuk mendukung ini selayaknya orangtua juga sudah mampu mengenali potensi anak. “Dengan potensi yang dimilikinya, kira-kira apa yang bisa dilakukan anak untuk menjawab tantangan masa depannya,” ujar Eri. Bagi anak sendiri, gambaran masa depan yang pastinya semakin kompetitif bisa jadi akan menimbulkan kecemasan. Tak mengapa rasa ini muncul, namun perlu tindakan lanjut untuk mengatasinya. “Rasa cemas ini akan mendorong anak untuk membuat target dalam mencapai kesuksesan, ‘Saya harus cari kuliah yang bikin saya sukses sesuai potensi saya.’ Pada saat inilah mereka perlu bimbingan orangtua atau tenaga ahli,” jelasnya.

Orangtua kemudian semestinya membimbing anak membuat perencanaan. Berikan saran-saran berdasarkan pengalamannya yang memang relatif lebih banyak dari anak. Paparkan juga potensi anak yang bisa menjadi acuan dalam merancang masa depannya. Misal, “Ibu lihat kamu selalu menjadi tempat curhat teman-temanmu dan kelihatannya kamu senang. Mungkin kamu bisa pikirkan untuk kuliah di fakultas psikologi.” Orangtua bisa pula mengajak anak menilai kembali kemampuannya bila ternyata ia memilih suatu bidang di luar kemampuannya. Contohnya, anak ingin masuk fakultas kedokteran tapi kemampuannya kurang memadai. Coba tawari ia untuk masuk bidang lain yang terkait dengan kesehatan juga, seperti pendidikan keperawatan. Soal kemampuan orangtua, terutama finansial, juga perlu dibicarakan. “Ada anak yang saking excited-nya, bikin target tinggi dan kurang melihat kemampuan, bukan hanya potensi diri tapi juga materi,” kata Eri.

Orangtua memang akan melakukan apa pun untuk masa depan anak, namun tentu kemampuannya terbatas. Nah, berikan gambaran itu padanya. Mungkin bisa diusahakan untuk mencari beasiswa atau melanjutkan pendidikan sejenis tapi dengan biaya yang lebih terjangkau, misalnya mengambil program D3 dulu. Saat anak merasa mantap dengan keputusannya, disertai pertimbangan yang matang terkait dengan potensinya dan pertimbangan lainnya, juga sudah melibatkan orangtua, maka keputusan ini dapat dianggap sebagai keputusan terbaik. Kini orangtua mesti mengawasi konsistensi anak dalam menjalankan semua rencananya. “Kalau anak keluar jalur, tanyakan lagi, ‘Kamu kan dulu yang memilih ini, kenapa jadi ke sana?’ Jadi ada proses tanggung jawab dari si anak,” terang Eri. Kerja sama dan keterbukaan antara anak dan orangtua adalah kunci keberhasilan dalam merancang masa depan. Jangan biarkan remaja bingung sendirian. Eri menuturkan, anak-anak yang didukung orangtua biasanya lebih cepat mencapai keberhasilan dibanding mereka yang menemukan jalannya sendiri. Maka bantu dan dukunglah anak-anak kita merancang masa depan mereka.

Ajak si Kecil Kenali Hari Esok

Membicarakan masa depan, bisa dimulai sejak usia taman kanak-kanak. Karena di masa itu mereka sudah mengenali lingkungan di luar dirinya dan keluarga. Namun, pengenalan masa depan bagi anak usia TK dan SD tetap harus memerhatikan tahapan perkembangannya.

. Anak usia TK pola pikirnya didasarkan pada hal-hal yang konkret. Jadi, pada tahapan ini kenalkan saja mereka beragam profesi yang mungkin bisa mereka pilih di masa depan. Ajak mereka bertemu langsung dengan orang-orang yang berprofesi tertentu atau bermain peran sesuai profesi tertentu.

· Anak usia SD yang sudah mampu berpikir abstrak dan mengembangkan imajinasi biasanya memilih profesi “hebat” dalam pandangan mereka, seperti ingin menjadi astronot karena bisa pergi ke bulan, atau jadi polisi karena bisa naik motor besar. Memang belum ada pertimbangan logis saat mereka memilih satu profesi sebagai cita-cita.

· Wajar bila cita-cita mereka terus berubah dari waktu ke waktu karena semakin banyak yang mereka lihat atau pengaruh teman-temannya. Tetap hargai cita-cita yang selalu berubah itu.

· Jadikan apa pun cita-cita mereka sebagai motivator mereka untuk belajar dan berbuat lebih baik. Orangtua bisa bilang, misalnya, “Kalau mau jadi dokter, Ade harus rajin belajar.”



No comments: