Suatu hari, di Masjidil Haram seorang guru tengah menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya. Dengan lugas, jelas, dan komunikatif, guru tersebut mengajarkan materi fiqh, muamalah, jinayah dan hokum-hukum criminal.
Namun
ada yang ganjil dalam majelis ini, ternyata Pak Guru tampak jauh lebih
muda dari pada murid-muridnya. Bahkan di tengah profesi belajar
mengajar, ia sempat minta izin untuk minum, padahal siang itu adalah
bualan Ramadhan. Kontan saja “ulah” Pak Guru menuai Protes. “Kenapa Anda
Minum, padahal ini ‘kan bulan Ramadhan?”, Tanya para murid. Ia
menjawab, “Aku belum wajib Berpuasa.”
Siapa
Pak Guru yang terlihat nyeleneh tersebut? Ia adalah Muhammad Idris
Asy-Syafi’i, yang lebih kita kenal dengan Imam Syafi’i. Kita
tak usah heran dengan fragmen ini, karena pada usia belum baligh Imam
Syafi’i sudah menjadi ulama yang disegani. Usia Sembilan tahun sudah
hafal Al-Qur’an. Usia sepuluh tahun isi kitab Al-Muwatha’ karya Imam
Malik yang berisi 1720 hadits pilihan juga mampu dihafalnya dengan
sempurna. Pada usia 15 tahun telah menduduki jabatan Mufti (semacam
hakim agung) kota Makkah, sebuah jabatan prestisius pada masa itu.
Bahkan di bawah usia 15 tahun, Imam Syafi’i sudah dikenal mumpuni dalam
bidang bahasa dan sastra Arab, hebat dalam membuat sya’ir, jago qira’at,
serta diakui memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat Arab
yang asli. Subhanallah.
Merekapun pernah Gagal
Imam
Al-Ghazali adalah orang yang gemar mencatat ilmu-ilmu yang didapatkan
hingga suatu saat dia berjalan membawa hasil ilmunya dan di rampok
bawaannya. Perampok merebut bawaannya berupa catatan-catatan ilmu. Imam
Al Ghazali bersikeras merebutnya, tapi dia malah di cemooh, masa
mengandalkan ilmu hanya pada catatan bukan dari hafalan di hati,
“Al-ilmu fish shudhur la fis suthuur…”
Kegagalan inilah yang melecut dirinya untuk mengambil ibrah dan merubah
cara belajarnya dari sekedar mencatat menjadi menghafal. Dan hasilnya
luar biasa sebagaimana kita rasakan hingga saat ini. Kegagalan lainnya
adalah beliau juga pernah tersesat dalam filsafat ilmu kalam namun
akhirnya tersadar dan mengungkapkan kesesatan-kesesatan ilmu filsafat
atau ilmu kalam.
Bermimpi Yuk!
Penulis mengajak para pembaca bermimpi. Ada apa dengan mimpi? Mengapa
kita harus bermimpi? Bukankah mimpi itu bunganya tidur? Apa kita harus
tidur dulu? Bagaimana mau maju, bukankah kita sudah kebanyakan tidur? Begini,
suatu hari Umar bin Khatab ra melakukan dialog dengan beberapa orang di
zamannya. Umar bin Khatab berkata : “Berangan-anganlah!” maka salah
seorang diantara yang hadir berkata : “saya berangan-angan kalau saja
mempunyai banyak uang (dinar dan dirham), lalu saya belanjakan untuk
memerdekakan budak dalam rangka meraih ridha Allah.” Seorang
lainnya menyahut : “Kalau saya, berangan-angan memiliki banyak harta,
lalu saya belanjakan fi sabilillah.” Yang lainnya menyahut : “Kalau saya
mengangankan mempunyai kekuatan tubuh yang prima lalu saya abadikan
diri saya untuk member air zam-zam kepada jama’ah haji satu persatu.” Setelah
Umar bin Khatab mendengarkan mereka, ia pun berkata : “Kalau saya,
berangan-angan kalau saja di dalam rumah ini ada tokoh seperti Abdullah
bin Al Jarrah, Umair bin Sa’ad dan semacamnya.” [Stop! Bangun dan bangkitlah, jangan tidur terus nanti kebablasan]
Mungkin anda bertanya mengapa harus bermimpi sih? Memang, mimpi itu
kembangnya tidur dan bukankah kita harus realistis?
Begini para pembaca budiman, memang mimpi bisa jadi tinggal mimpi.
Namun ada sebuah hikmah “Bermimpilah sebelum kamu menjadi pemimpin.”
Serta “Belajarlah sebelum engkau menjadi pemimpin.” Ternyata banyak
orang-orang besar, pemimpin besar yang berangkat dari seorang pemimpi.
Jadilah pemimpi yang besar untuk menjadi pemimpin yang besar. Dalam
sebuah majelis, ada seorang syaikh yang mengatakan, “Laa budda lil qaa-idi yakuuna lahu ahlam, wa illa la yashluh an yahuuna qaa-idan… seorang pemimpin hharus mempunyai banyak mimpi, jika tidak dia tidak layak jadi pemimpin.”
Memang kenyataannya, kita akan kehabisan stok pemimpin kalau tidak ada
lagi orang yang berani bermimpi dan bercita-cita besar. Nah, bila untuk
bermimpi saja tidak berani, bagaimana ia berani memimpin? Karena menjadi
pemimpin berabti menjadi orang yang cerdas. Yakni berani berfikir
mendahului masanya, meski kadang orang lain belum bisa memahaminya. Ia
juga obsesif. Memiliki pikiran dan gagasan besar di luar apa yang
dipikirkan orang lain. Seperti yang dilakukan Khidr, hal-hal yang tidak
bisa dipahami dan dimengerti oleh Nabi Musa. Tapi yang aneh, kadang untuk bermimpi dan bercita-cita saja takut apalagi untuk meraihnya. Iya kan?
Berhitung… mulai !
Kalau
dihitung-hitung, masing-masing waktu kita sama : 60 detik dalam 1
menit, 60 menit dalam 1 jam dan 24 jam sehari, 7 hari sepekan dam
seterusnya, anda sendiri hitunglah waktu Anda. Namun kata Imam Al
Ghazali. Kalau orang umurnya 60 tahun rata-rata dan menjadikan 8 jam
sehari untuk tidur, maka dalam 60 tahun iya telah tidur 20 tahun. Luar
biasa… banyak banget tidurnya ya. Lah prestasinya mana…? Itulah
kebanyakan manusia. Apakah termasuk kita?
Kita akui, kita orang biasa. Banyak keterbatasan, kekurangan,
kelemahan, kegagalan, kemalasan de el el. Itu bukan masalah. Bagaimana
ditengah keterbatasan itu kita mendahsyatkan diri lahir prestasi tinggi.
Itulah kepahlawanan sejati. From Zero to Hero!
Sejarah mencatat, banyak orang besar justru lahir di tengah himpitan
kesulitan bukan buaian kemanjaan. Mereka besar dengan mengurangi jam
tidurnya, waktu bekerja dan kesibukan mengurusi duniawi untuk memenuhi
kebutuhan ukhrawi. Menyedikitkan tidur malam untuk bisa bangun malam.
Sedikit canda untuk rasakan nikmatnya ibadah. Tak berlebihan dalam
bergaul ‘tuk’ rasakan lezatnya iman. Menahan diri dari maksiat biar
tubuhnya tetap sehat.
Solikhin Abu Izzudin
Solikhin Abu Izzudin
No comments:
Post a Comment