Monday, March 3, 2014

Kecil-kecil jadi mufti


Suatu hari, di Masjidil Haram seorang guru tengah menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya. Dengan lugas, jelas, dan komunikatif, guru tersebut mengajarkan materi fiqh, muamalah, jinayah dan hokum-hukum criminal.
Namun ada yang ganjil dalam majelis ini, ternyata Pak Guru tampak jauh lebih muda dari pada murid-muridnya. Bahkan di tengah profesi belajar mengajar, ia sempat minta izin untuk minum, padahal siang itu adalah bualan Ramadhan. Kontan saja “ulah” Pak Guru menuai Protes. “Kenapa Anda Minum, padahal ini ‘kan bulan Ramadhan?”, Tanya para murid. Ia menjawab, “Aku belum wajib Berpuasa.”

 
Siapa Pak Guru yang terlihat nyeleneh tersebut? Ia adalah Muhammad Idris Asy-Syafi’i, yang lebih  kita kenal dengan Imam Syafi’i. Kita tak usah heran dengan fragmen ini, karena pada usia belum baligh Imam Syafi’i sudah menjadi ulama yang disegani. Usia Sembilan tahun sudah hafal Al-Qur’an. Usia sepuluh tahun isi kitab Al-Muwatha’ karya Imam Malik yang berisi 1720 hadits pilihan juga mampu dihafalnya dengan sempurna. Pada usia 15 tahun telah menduduki jabatan Mufti (semacam hakim agung) kota Makkah, sebuah jabatan prestisius pada masa itu. Bahkan di bawah usia 15 tahun, Imam Syafi’i sudah dikenal mumpuni dalam bidang bahasa dan sastra Arab, hebat dalam membuat sya’ir, jago qira’at, serta diakui memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat Arab yang asli. Subhanallah.
Merekapun pernah Gagal
Imam Al-Ghazali adalah orang yang gemar mencatat ilmu-ilmu yang didapatkan hingga suatu saat dia berjalan membawa hasil ilmunya dan di rampok bawaannya. Perampok merebut bawaannya berupa catatan-catatan ilmu. Imam Al Ghazali bersikeras merebutnya, tapi dia malah di cemooh, masa mengandalkan ilmu hanya pada catatan bukan dari hafalan di hati, “Al-ilmu fish shudhur la fis suthuur…”  Kegagalan inilah yang melecut dirinya untuk mengambil ibrah dan merubah cara belajarnya dari sekedar mencatat menjadi menghafal. Dan hasilnya luar biasa sebagaimana kita rasakan hingga saat ini. Kegagalan lainnya adalah beliau juga pernah tersesat dalam filsafat ilmu kalam namun akhirnya tersadar dan mengungkapkan kesesatan-kesesatan ilmu filsafat atau ilmu kalam.
Bermimpi Yuk!
            Penulis mengajak para pembaca bermimpi. Ada apa dengan mimpi? Mengapa kita harus bermimpi? Bukankah mimpi itu bunganya tidur? Apa kita harus tidur dulu? Bagaimana mau maju, bukankah kita sudah kebanyakan tidur? Begini, suatu hari Umar bin Khatab ra melakukan dialog dengan beberapa orang di zamannya. Umar bin Khatab berkata : “Berangan-anganlah!” maka salah seorang diantara yang hadir berkata : “saya berangan-angan kalau saja mempunyai banyak uang (dinar dan dirham), lalu saya belanjakan untuk memerdekakan budak dalam rangka meraih ridha Allah.” Seorang lainnya menyahut : “Kalau saya, berangan-angan memiliki banyak harta, lalu saya belanjakan fi sabilillah.” Yang lainnya menyahut : “Kalau saya mengangankan mempunyai kekuatan tubuh yang prima lalu saya abadikan diri saya untuk member air zam-zam kepada jama’ah haji satu persatu.” Setelah Umar bin Khatab mendengarkan mereka, ia pun berkata : “Kalau saya, berangan-angan kalau saja di dalam rumah ini ada tokoh seperti Abdullah bin Al Jarrah, Umair bin Sa’ad dan semacamnya.” [Stop! Bangun dan bangkitlah, jangan tidur terus nanti kebablasan] Mungkin anda bertanya mengapa harus bermimpi sih? Memang, mimpi itu kembangnya tidur dan bukankah kita harus realistis?
            Begini para pembaca budiman, memang mimpi bisa jadi tinggal mimpi. Namun ada sebuah hikmah “Bermimpilah sebelum kamu menjadi pemimpin.” Serta “Belajarlah sebelum engkau menjadi pemimpin.”  Ternyata banyak orang-orang besar, pemimpin besar yang berangkat dari seorang pemimpi. Jadilah pemimpi yang besar untuk menjadi pemimpin yang besar. Dalam sebuah majelis, ada seorang syaikh yang mengatakan, “Laa budda lil qaa-idi yakuuna lahu ahlam, wa illa la yashluh an yahuuna qaa-idan… seorang pemimpin hharus mempunyai banyak mimpi, jika tidak dia tidak layak jadi pemimpin.”
 Memang kenyataannya, kita akan kehabisan stok pemimpin kalau tidak ada lagi orang yang berani bermimpi dan bercita-cita besar. Nah, bila untuk bermimpi saja tidak berani, bagaimana ia berani memimpin? Karena menjadi pemimpin berabti menjadi orang yang cerdas. Yakni berani berfikir mendahului  masanya, meski kadang orang lain belum bisa memahaminya. Ia juga obsesif. Memiliki pikiran dan gagasan besar di luar apa yang dipikirkan orang lain. Seperti yang dilakukan Khidr, hal-hal yang tidak bisa dipahami dan dimengerti oleh Nabi Musa.  Tapi yang aneh, kadang untuk bermimpi dan bercita-cita saja takut apalagi untuk meraihnya. Iya kan?
Berhitung… mulai !
Kalau dihitung-hitung, masing-masing waktu kita sama : 60 detik dalam 1 menit, 60 menit dalam 1 jam dan 24 jam sehari, 7 hari sepekan dam seterusnya, anda sendiri hitunglah waktu Anda. Namun kata Imam Al Ghazali. Kalau orang umurnya 60 tahun rata-rata dan menjadikan 8 jam sehari untuk tidur, maka dalam 60 tahun iya telah tidur 20 tahun. Luar biasa… banyak banget tidurnya ya. Lah prestasinya mana…? Itulah kebanyakan manusia. Apakah termasuk kita? Kita akui, kita orang biasa. Banyak keterbatasan, kekurangan, kelemahan, kegagalan, kemalasan de el el. Itu bukan masalah. Bagaimana ditengah keterbatasan itu kita mendahsyatkan diri lahir prestasi tinggi. Itulah kepahlawanan sejati. From Zero to Hero!
            Sejarah mencatat, banyak orang besar justru lahir di tengah himpitan kesulitan bukan buaian kemanjaan. Mereka besar dengan mengurangi jam tidurnya, waktu bekerja dan kesibukan mengurusi duniawi untuk memenuhi kebutuhan ukhrawi. Menyedikitkan tidur malam untuk bisa bangun malam. Sedikit canda untuk rasakan nikmatnya ibadah. Tak berlebihan dalam bergaul ‘tuk’ rasakan lezatnya iman. Menahan diri dari maksiat biar tubuhnya tetap sehat. 
Solikhin Abu Izzudin

No comments: