Tuesday, July 4, 2017

Urgensi Saling Mempercayai


Tidak ada seorang pun yang menyangkal bahwa rasa saling percaya adalah perkara yang sangat penting dalam kehidupan pasutri (pasangan suami istri), sehingga keduanya bisa hidup dengan tenang dan bahagia. Karena merupakan sesuatu yang telah jelas bahwa kehidupan pasutri yang penuh kebahagiaan tidak akan tegak dan berlangsung di atas rasa keragu-raguan dan saling curiga.
Kepercayaan antar pasutri ini mesti ada pada kedua belah pihak dan tidak dikeruhkan oleh kotoran apapun. Karena setiap kali ada sedikit rasa tidak percaya atau sedikit kecurigaan, niscaya akan hilang sedikit rasa cinta dalam hati, yang hal ini juga bisa memengaruhi kekokohan bangunan rumah tangga, dan bisa saja lama kelamaan menyebabkan kehancuran rumah tangga.

Sumber Keamanan dan Ketenangan

Jika penyakit curiga dan tidak percaya kepada pasangan telah bercokol dalam hati, maka apapun yang dilakukan pasangan sangat mudah menimbulkan kecurigaan demi kecurigaan. Jika hal ini terus menerus terjadi, semakin hilanglah rasa cinta. Ketika cinta telah hilang, ranjang tempat tidur berdua seakan-akan bagaikan ranjang penuh duri. Jika berjalan berdua, seolah berjalan di atas tanah yang penuh bara api. Mereka tidak akan pernah tenang meski hidup satu atap, tidur satu ranjang dan berjalan berduaan; jika rasa saling percaya telah hilang. Jika ini telah terjadi maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Semoga Allah memberikan keselamatan kepada kita semua.
Jika rasa curiga dan tidak percaya kepada pasangan selalu ada dalam kehidupan rumah tangga, maka tujuan pernikahan; yaitu untuk menggapai rasa cinta, ketenangan dan kasih sayang pun akan sulit tercapai.
Ketika seorang istri tidak lagi mempercayai suami, maka bisa dipastikan dia tidak akan merasa aman ketika suami tidak berada di rumah, karena dia membayangkan suaminya berlaku serong di belakang. Dalam masalah nafkah pun dia mungkin berprasangka kalau suami bersikap pelit kepadanya. Dia menyangka bahwa suami tidak memperhatikan dirinya dan keluarga.
Ketika suami tidak lagi mempercayai istri, maka dia tidak lagi merasa aman menyerahkan urusan rumah kepada sang istri. Dia merasa tidak aman menitipkan harta dan anak-anaknya kepada istri. Dan tidak menutup kemungkinan dia pun memiliki kekhawatiran yang sama dengan istri, kalau-kalau pasangannya itu berlaku serong di belakangnya.
Kehidupan rumah tangga yang demikian, tentu bukanlah kehidupan yang menyenangkan, bukan kehidupan yang membahagiakan, akan tetapi kehidupan yang menyesakkan dada, dan mengganggu pikiran dan jiwa.
Sebaliknya, jika rasa saling percaya antar pasutri tetap terjaga dengan baik, maka hal ini akan bisa mewujudkan ketenangan dan keamanan dalam kehidupan berumah tangga. Jika istri memiliki kepercayaan kepada suami dalam urusan-urusan yang menjadi kewajiban suami, demikian pula sebaliknya suami memiliki kepercayaan kepada istri dalam urusan-urusan yang menjadi tanggung jawab istri, niscaya kehidupan berumah tangga akan berjalan dengan baik dan terwujud keharmonisan yang selalu diharap-harapkan oleh setiap pasutri. Dan tentu saja hal ini harus ditunjang dengan niat, usaha dan kesungguhan setiap pasangan untuk melaksanakan kewajibannya masing-masing.

Memenuhi Kebutuhan Perasaan

Setiap suami maupun istri tentu memiliki perasaan yang juga memiliki kebutuhan atau hajat yang perlu dipenuhi. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi dari pasangan hidupnya, maka perasaan bisa terluka dan bisa berakibat kepada kebencian terhadap pasangan.
Di antara salah satu kebutuhan perasaan adalah dipercaya oleh pasangan hidupnya.
Ketika seorang istri memiliki kepercayaan pada kemampuan suami dalam mencari nafkah dan dalam tugasnya sebagai kepala keluarga, maka sang suami tentu akan lebih semangat dalam melaksanakan tugasnya mencari nafkah dan menjadi kepala keluarga.
Demikian pula sebaliknya, suami pun memiliki kepercayaan pada kemampuan istri dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya, sehingga istri pun memiliki semangat untuk melaksanakan tugasnya tersebut.
Dan kepercayaan yang dimaksud, suami atau istri percaya bahwa pasangannya akan melaksanakan tugasnya sesuai kemampuannya dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya karena dia pasti menginginkan yang terbaik bagi pasangannya.
Dan ketika suami atau istri bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan kemampuannya, maka akan menambah rasa percaya pada diri pasangannya. Semuanya saling berkesinambungan.

Isyarat dari al-Quran dan Hadits

Dalam Al-Quran dan hadits kita dapati larangan dan celaan dari berprasangka buruk kepada orang lain, seperti dalam firman Allah – ta’ala -,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan persangkaan (kecurigaan), karena sebagian dari persangkaan itu dosa.” (al-Hujurat: 12)
Dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – telah bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Jauhilah olehmu persangkaan, karena persangkaan itu adalah perkataan yang paling dusta.” [Riwayat al-Bukhari Kitab al-Adab, Bab Maa Yunha ‘anit Tahasud wat Tadabur, dan Muslim Kitab al-Birr wash Shilah, Bab Tahrimi azh-Zhann wat Tajassus wat Tanafus wat Tanajusy wa Nahwiha]
Dalam hubungannya dengan sesama muslim secara umum, seorang muslim dituntut untuk tidak saling curiga, tidak saling berprasangka buruk, maka hal ini tentu lebih ditekankan lagi dalam hubungan seorang muslim dengan orang-orang yang terdekat dengannya; terutama dengan pasangan hidupnya.
Dalam hadits lain, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memberikan dorongan kepada kita untuk bersikap jujur dan menjauhi sikap dusta, yaitu dalam sabdanya,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Tetapilah kejujuran olehmu, karena kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan dan kebajikan mengantarkan kepada surga. Dan seseorang senantiasa bersikap jujur dan berusaha jujur sehingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan jauhilah olehmu sikap dusta, karena kedustaan membawa kepada perbuatan fajir dan kefajiran mengantarkan kepada neraka. Dan seseorang senantiasa berdusta dan berusaha dusta sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” [Riwayat Muslim Kitab al-Birr wash Shilah, Bab Qubhil Kadzib wa Husni ash-Shidqi wa Fadhlihi]
Tidaklah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – mendorong kepada kejujuran dan memperingatkan dari kedustaan karena dua hal ini sangat berpengaruh pada kepercayaan orang-orang di sekitar kita. Maka dalam hubungan dengan istri atau suami, tentu dorongan untuk jujur dan peringatan dari dusta lebih besar lagi, karena semakin dekat kedudukan seseorang dengan kita, hak dia menjadi lebih besar.

Jangan Khianati Kepercayaan Pasangan

Kepercayaan yang telah diberikan pasangan kita adalah amanah yang dibebankan kepada kita. Maka sebagai suami, dia harus menjaga hak-hak istrinya dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang telah dipercayakan kepadanya sebagai suami. Demikian pula istri harus menjaga hak-hak suami dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai istri.
Ingatlah bahwa sekali terjadi pengkhianatan antara suami atau istri, maka bisa membekaskan rasa tidak percaya kepada pasangan yang tidak mustahil rasa tidak percaya itu akan semakin bertambah besar setiap hari.
Dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – telah menyatakan bahwa pengkhianatan terhadap kepercayaan yang telah diberikan adalah salah satu tanda-tanda kemunafikan seseorang. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda seorang munafik ada tiga; jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkari, dan jika dia dipercaya maka dia berkhianat.” [Riwayat al-Bukhari Kitab al-Iman, Bab ‘Alamatil Munafiq, Muslim Kitab al-Iman, Bab Bayani Khishal al-Munafiq]
Maka demikianlah seharusnya dalam berhubungan antara suami dengan istri, masing-masing memberikan kepercayaan kepada pasangannya dan masing-masing melaksanakan apa yang dipercayakan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Dengan kepercayaan dan sikap amanah ini, insya Allah keharmonisan akan terwujud dan jika ada permasalahan-permasalahan dalam keluarga maka bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam. (***)

No comments: