Berbuat baik, meski sedikit, kadang terasa sulit. Terlebih bila harus terus-menerus. Kadangkala, kendala itu datang dari luar diri kita. Seperti lingkungan yang tidak baik, godaan yang begitu besar, atau tekanan-tekanan hidup yang bermacam-macam.
Tetapi, kalau kita renungkan secara jujur, ada batas minimal dimana seorang muslim bisa tetap bertahan melakukan kebaikan. Rahasianya, terletak pada sejauh mana kemampuan kita menyiasati lika-liku hidup agar tetap dalam irama kebaikan. Kuncinya terletak pada bagaimana menjaga nafas-nafas kebaikan. Beberapa langkah berikut, barangkali bisa membantu.
Pertama, yakini setiap amal ada nilainya
Dalam Islam, tidak ada kebaikan yang tak bernilai. Justru di antara bentuk keadilan dan rahmat yang ditebarkan Islam adalah penghargaannya terhadap segala bentuk kebaikan, meski hanya kecil. Seorang muslim tidak boleh menganggap remeh amal kebaikan yang ia lakukan. Ini tentu dalam kaitan menjaga semangat beramal, bukan dalam pengertian merasa amal kita sudah banyak.
Seperti juga dalam hidup ini, banyak peran-peran penting yang diemban oleh unsur-unsur kecil. Demikian pula nilai sebuah amal. Lihatlah gunung yang tinggi menjulang. Ia terdiri dari bebatuan kecil dan besar. Lihatlah penyangga rel kereta api yang dilalui “ular besi" yang beratnya berton-ton. Ternyata, di bawah bantalan rel itu ada batu-batu kecil yang menyangga beban berat itu.
Rasulullah sendiri menyampaikan dalam beberapa haditsnya, betapa Islam sangat menghargai kebaikan. Meskipun amal itu kecil. Salah satunya, sabda beliau, “Janganlah engkau menghina sebuah kebajikan, meski engkau mendapati saudaramu dalam keadaan berseri-seri wajahnya." (HR. Muslim). Dalam kisah yang lain, kita bisa merasakan makna yang sangat mendalam dari nasehat Rasulullah kepada istrinya, Aisyah, “Jauhilah neraka, meski dengan (bersedekah senilai) separoh biji karma.”
Setiap kebaikan yang dilaksanakan dengan ikhlas, akan didapati balasannya di sisi Allah. Kita tentu pernah mendengar nasehat Luqman Al-Hakim kepada anaknya, yang kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an. “Wahai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Qs. Luqman: 16).
Maka, landasan pertama kesinambungan amal ada pada pemahaman kita tentang nilai sebuah amal. Setiap kebaikan pasti ada manfaatnya. Bagi pelakunya, maupun bagi orang lain. Kalau tidak di dunia, insya Allah di akhirat.
Kedua, selalu merasa kurang
Seorang muslim, tidak boleh merasa puas dengan apa-apa yang telah ia lakukan. Selain sebagai bentuk etika kepada Allah, sikap ini juga kita perlukan sebagai penyambung amal-amal kebajikan. Artinya, dengan merasa kurang, kita akan terdorong untuk terus beramal dan beramal. Kelak, yang kita bawa pulang kepada Allah bukanlah kekayaan dunia.
Meski kita membutuhkan dunia seperlunya. Bila kita menyadari, bahwa amal-amal kita sajalah yang akan menemani kita di akhirat, tentu secara akal sehat kita harus memperbanyak kumpulan amal-amal itu. Apapun bentuk-nya, dan seberapapun besarnya.
Terlebih, bila kita menyadari betapa beratnya tantangan hidup. Dunia ini seperti hutan belantara yang gelap. Yang tidak punya cahaya dan tidak tahu jalan pasti akan tersesat. Lentera kehidupan dan cahaya itu adalah iman kepada Allah. Sedang minyak atau bahan bakarnya adalah amal-amal shalih. Dengan lentera itu kita tidak akan salah jalan. Kita bisa menghindari jurang yang berbahaya. Iman yang tidak dinyalakan oleh amal, tidak akan bisa menerangi hidup, karena ia akan semakin redup, hingga akhir-nya padam. Maka, setiap kali berbuat kebaikan, sedikit demi sedikit, ingatlah bahwa ia akan menambah minyak bagi lentera tersebut.
Ketiga, carilah kesegaran baru
Kadangkala, datang rasa malas atau bosan untuk terus melakukan sebuah kebaikan tertentu. Manusia memang tidak akan luput dari pasang surut semangat, naik turun iman, dan irama hati yang kadang berubah-ubah. Keadaan ini bisa berpengaruh terhadap kesinambungan sebuah amal. Mula-mula mungkin mengurangi amal tersebut, tetapi bila dibiarkan bisa-bisa ia membuatnya terhenti.
Menghadapi kenyataan tersebut, salah satu cara yang mungkin bisa kita lakukan adalah mencari kesegaran baru. Maksudnya, kita mencoba menyegarkan kembali jiwa dan raga. Bisa dengan cara mengubah kebiasaan yang rutin dengan sesuatu yang baru. Menyela kegiatan-kegiatan yang monoton dengan kegiatan baru. Mungkin rekreasi, olah raga, silaturrahmi, bermain bersama anak-anak, atau yang lainnya.
Kesegaran di sini tentu harus dalam batas yang halal. Banyak perkara-perkara halal yang disediakan Allah dalam hidup ini. Cobalah, dan ambil kesegaran barunya untuk memberi semangat hidup dan gairah beramal yang baru. Setiap kita umum-nya mengenali karakter diri kita masing-masing. Termasuk, mengenali kapan saat-saat kejenuhan dan rasa bosan itu datang. Bahkan, sebagian orang sangat mengerti, apa penyebabnya, Atau bahkan ada yang menyadari dan memahami implikasi dari setiap kondisi yang ia lakoni terhadap pasang surutnya semangat beramal tersebut. Maka, berdasar karakter tersebut, tinggal kita pilih apa kesegaran baru yang ingin kita ambil. Sesudah itu, tentu, kita kembali lagi berkarya dan beramal.
Keempat, mohonlah pertolongan
Yang utama dan pertama tentu memohon pertolongan kepada Allah. Dengan do’a, kepasrahan dan bertaqarrub kepada-Nya. Taqarrub adalah persembahan untuk Allah, sebagai modal untuk memohon kepada-Nya. Seperti dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa salah satu contoh memohon pertolongan adalah dengan sabar dan menunaikan shalat.
Dalam konteks kemanusiaan, meminta pertolongan kepada sesama saudara muslim juga kita perlukan. Hidup ini terlalu berat untuk dijalani seorang diri, bahkan meskipun oleh seorang mukmin. Demikian juga upaya menjaga kesinambungan amal. Kalaulah tidak seperti itu, tentu Rasulullah tidak begitu sering menekankan pentingnya hidup berjama’ah, sebuah bentuk lain dari menolak kesendirian. Sebab, seperti perumpamaan yang disampaikan Rasulullah, serigala itu akan memangsa domba-domba yang sendirian.
Meminta tolong kepada teman, saudara, keluarga, orang-orang shalih, bisa bermacam bentuknya. Bisa dengan meminta nasehat dari mereka, menimba pengalaman, atau saling berbagi. Intinya, bagaimana agar amal-amal yang kita tabung bisa terus berjalan, meski sedikit demi sedikit.
Akhirnya, kita memang harus menyadari, bahwa jalan kebajikan itu beribu jumlahnya. Tak jadi soal mana yang kita pilih. Itu memberi kesempatan bagi segala macam orang untuk beramal, termasuk kepada kita. Tinggal bagaimana amal itu dijaga nafas-nafasnya, agar ia tidak berhenti kecuali bersamaan dengan berhentinya nafas-nafas kita. Wallahu’alam.