Meskipun informasi dapat diperoleh melalui media-media lain seperti koran, majalah, radio, dan Internet, entah kenapa di Indonesia televisi tetap menjadi sarana perolehan informasi yang paling diminati oleh banyak kalangan. Hal ini bisa jadi diakibatkan oleh harganya yang terjangkau untuk mengonsumsinya, kemudahaan yang diperoleh dalam mencerna setiap pesannya, serta fungsi hiburan yang didapat dari televisi.
Coba bayangkan, berapa banyak harga yang harus keluar ketika kita mengakses informasi melalui Internet—modem dan perangkat komputer ataupun sewa warnet bukan lah hal yang murah meriah. Atau, ketika menggunakan radio, kita hanya mendapatkan hiburan audio tanpa visualnya. Begitu pula ketika membaca buku, koran, ataupun majalah, kita harus lebih fokus dalam mencerna setiap informasi yang dibaca.
Kalau melihat realita di atas, menonton televisi tentu menjadi sebuah alternatif utama dalam memperoleh informasi dan hiburan. Bentuknya yang audio-visual membuat kita lebih mudah mencerna isi pesannya. Bentuknya yang seperti ini pula, membuat kita merasa terhibur saat menontonnya.
Namun, sadarkah kita bahwa televisi telah membentuk sebuah budaya baru?
Seorang media theorist bernama Neil Postman, bercerita tentang pembentukkan budaya di Amerika. Di dalam bukunya yang berjudul Amusing Ourselves to Death, Postman mengatakan bahwa televisi telah membentuk budaya hiburan di Amerika. Semua hal yang seharusnya dikemas dengan serius, pada akhirnya dikemas secara hiburan.
Dahulu, sebelum televisi muncul, masyarakat terbawa oleh budaya menulis-membaca yang membuat mereka menjadi intelek. Kenapa? Karena barisan kata yang tersusun ke dalam beberapa kalimat membuat kita harus mencerna dengan baik jenis kalimatnya—aktif atau pasif, tunggal atau majemuk, misalnya. Proses mencerna jenis kalimat ini membuat kita berpikir secara kompleks dan mampu mengartikan ide-ide yang bersifat abstrak.
Bukan bermaksud untuk tidak memihak kepada televisi. Namun, pola konsumsi televisi di Indonesia tidak lagi berada di dalam kategori yang ‘pas’. Anak-anak di Indonesia menonton televisi sekitar tujuh – delapan jam dalam satu hari (YPMA, 2010). Melihat hal ini, dapat dikatakan bahwa hampir sepertiga waktu anak dihabiskan untuk menonton televisi. Padahal, banyak hal-hal lain yang dapat dilakukan oleh anak-anak, misalnya melakukan permainan yang melibatkan aktivitas fisik.
Terlalu banyak menonton televisi dapat menimbulkan dampak buruk pada karakter fisik dan psikis anak. Di dalam buku The Media Diet for Kids (2005), Teresa Orange dan Louise O’Flynn memaparkan beberapa perilaku yang didapat dari menonton televisi secara berlebihan. Perilaku itu antara lain:
- Perilaku Antisosial: gejalanya adalah tidak menghargai orang lain dan meniru perilaku buruk dari televisi.
- Apatis terhadap permainan: gejalanya adalah menjadi mudah bosan, selalu minta dihibur oleh orang dewasa, dan tidak dapat bermain jauh dari televisi.
- Dewasa dini: gejalanya adalah mengetahui seks secara samar-samar tetapi masih memiliki kebingungan tentang itu.
- Kondisi yang buruk: gejalanya adalah kecerobohan dan kurangnya koordinasi tubuh.
- Ketidakseimbangan energi: gejalanya adalah hiperaktivitas yang terjadi pada anak. (Orange dan O’Flynn, 2005)
Televisi merupakan early window bagi anak-anak. Yaitu sebuah jendela untuk mendekatkannya kepada dunia. Sayangnya, pemandangan dari jendela-jendela itu tidak semuanya baik untuk kesehatan dan perkembangan anak. Menonton televisi terlalu sering dapat membuat daya imajinasi anak berkurang. Hal ini diakibatkan dari penyajian televisi yang begitu sempurna—ada suara dan gambar.
Dahulu, anak-anak harus menggunakan imajinasinya ketika membaca dongeng di dalam buku cerita. Anak-anak memiliki kebebasan untuk menginterpretasikan setiap kata ke dalam imajinasinya. Sehingga, satu cerita bisa memiliki banyak interpretasi dan imajinasi yang berbeda-beda. Dengan cara seperti ini, imajinasi anak pun berkembang dengan baik.
Selain dapat menghambat perkembangan kemampuan imajinasi seorang anak, televisi juga dapat membuat anak menjadi pasif. Hal ini disebabkan oleh kehebatan televisi dalam menyajikan kontennya. Suara dilengkapi dengan gambar, begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya, kepasifan anak dalam menonton televisi pun akan mempengaruhi daya imajinasinya.
Adalah hal yang sangat wajar jika para orangtua mulai khawatir dengan dampak buruk dari televisi. Namun, saya rasa kekhawatiran ini tidak perlu ditunjukan dengan cara yang kasar, seperti memaki para praktisi penyiaran—hei, jika tidak ada televisi para praktisi penyiaran tidak bisa menghidupi keluarganya, kan?
Sebagai anggota keluarga dan masyarakat, kita dapat menunjukan kekhawariran dan keprihatinan kita terhadap konten televisi dengan cara-cara lainnya. Misalnya, mengatur pola menonton televisi, melakukan pendampingan, serta memilah dan memilih tayangan yang tepat untuk anak.
Jadi, sebagai konsumen televisi yang kritis, lebih baik kita memanfaatkan televisi sebaik-baikya dengan cara mengatur pola menonton televisi. Sisa waktu yang ada dalam sehari pun, dapat dimafaatkan untuk berkumpul dengan keluarga. Jangan takut, kita tidak akan ketinggalan informasi jika tidak menonton televisi selama 24 jam, kok. Ingat lah budaya membaca-menulis—kita bisa mendapatkan informasi melaui media baca-tulis.
No comments:
Post a Comment