Pernah lihat binatang koala?
Atau paling tidak, tahu tentu yang namanya koala.
Si koala ini adalah binatang khas dari Australia.
Dia tenar sekali disana karena bentuknya memang lucu dan mengemaskan. Coklat gelap warnanya dan wajahnya lugu banget gitu.
Dia tenar sekali disana karena bentuknya memang lucu dan mengemaskan. Coklat gelap warnanya dan wajahnya lugu banget gitu.
Si koala ini punya karakter pemalas. Menurut penelitian, si koala adalah salah satu
binatang paling malas di dunia ini.
Konon dia tidur 22 jam dalam sehari!
Konon dia tidur 22 jam dalam sehari!
Hebat ya… Padahal dalam satu hari hanya ada 24 jam, dimana dengan
kata lain, ya hanya 2 jam tok si koala bangun dan beraktifitas.
Dia hidup di batang sebuah pohon. Kalau mau makan pun dia malas
bergerak dan hanya mau bergeser sedikit untuk mengambil makanan yang
sudah tersedia saja di sekitar dia. Bergerak paling banyak dia lakukan
hanya kalau sedang melakukan hubungan seks.
Itulah mungkin kenapa si koala kemudian mendapat titel sebagai binatang pemalas.
Ya memang begitulah karakternya… Mana bisa berubah lagi?
Tetapi bagaimana ceritanya kalau dengan karakter seorang manusia?
Apa masih berubah?
Dalam satu bulan belakangan ini saya banyak sekali mendapat kalimat
yang sama dari waktu ke waktu terus-menerus, “Ya memang begitu kok
karakternya. Mana bisa berubah lagi...”
Dahi saya kok jadi berkerut ya.
Apa iya manusia itu bisa sama disejajarkan seperti seekor koala, yang nota bene masuk ke dalam spesies binatang, dan tidak bisa berubah?
Dahi saya tambah berkerut nih sekarang kayaknya…
Saya yakin tidak ada yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang manusia.
Yang dibutuhkan lagi-lagi hanya seonggok, segepok, segumpal keyakinan dan kemauan. Dan saya yakin semua pasti sudah pernah mendengar kalimat tersebut sebelumnya dalam beragam percakapan, dalam beragam artikel, dalam beragam hal.
Yang dibutuhkan lagi-lagi hanya seonggok, segepok, segumpal keyakinan dan kemauan. Dan saya yakin semua pasti sudah pernah mendengar kalimat tersebut sebelumnya dalam beragam percakapan, dalam beragam artikel, dalam beragam hal.
Masalahnya sekarang seberapa besar keyakinan dan kemauan kita untuk berubah??
Kalau keyakinan dan kemauan itu cukup besar, rasanya tidak ada yang tidak mungkin.
Kalau keyakinan dan kemauan itu cukup besar, rasanya tidak ada yang tidak mungkin.
Saya tidak percaya dengan kalimat tadi, ‘Ya sudah karakter. Mana bisa
berubah lagi’. Menurut saya itu adalah sebuah alasan yang dangkal
sekali.
Karakter pemarah, karakter pemalas, karakter tukang ngaret, karakter
defensif, karakter pembohong, karakter pembual, karakter egois, karakter
kompulsif, karakter penakut, karakter depresif, karakter manipulatif
dan beribu-ribu karakter lainnya SEMUA BISA BERUBAH.
Saya berani mempertaruhkan semua milik saya untuk kalimat saya tersebut : semua karakter BISA BERUBAH.
Pertanyaannya ‘hanya’lah, mau tidak si manusia itu berubah?
Kalau sudah mau berubah, pertanyaan selanjutnya (& yang paling penting) mau tidak dia berjuang untuk berubah????
Pertanyaannya ‘hanya’lah, mau tidak si manusia itu berubah?
Kalau sudah mau berubah, pertanyaan selanjutnya (& yang paling penting) mau tidak dia berjuang untuk berubah????
Perubahan bukan hal yang mudah dan dapat dicapai dalam waktu satu malam.
Saya pun tidak pernah bilang itu akan menjadi hal yang mudah serta cepat dicapai seperti orang makan cabai lalu langsung pedas.
Saya pun tidak pernah bilang itu akan menjadi hal yang mudah serta cepat dicapai seperti orang makan cabai lalu langsung pedas.
Perubahan itu mungkin perlu dilakukan dengan usaha yang maha gigih
sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, setakar demi setakar.
(Saya menyadari hal tersebut dari pengalaman pribadi).
Kebayang sudah berapa puluh tahun mungkin si karakter telah mengendap dan mengalir lancar dalam diri.
Kebayang pula sudah berapa puluh tahun kita telah terbiasa menjalankan karakter tersebut.
Kebayang pula sudah berapa puluh tahun kita telah terbiasa menjalankan karakter tersebut.
Seperti kalau misalnya si koala yang juga sudah turun temurun dari
nenek moyang begitulah adanya. Hal yang mustahil rasanya untuk merubah
si koala.
Tetapi sekali lagi, apa iya kita sama sejajar dengan si koala?
Bagaimana kabarnya dengan atribut ‘kemanusiaan’ yang melekat pada manusia seperti otak, kepintaran, intensi dan kemauan bebas?
Apa tidak ada gunanya semua untuk menghasilkan keadaan yang lebih baik?
Bagaimana kabarnya dengan atribut ‘kemanusiaan’ yang melekat pada manusia seperti otak, kepintaran, intensi dan kemauan bebas?
Apa tidak ada gunanya semua untuk menghasilkan keadaan yang lebih baik?
Banyak orang mengatakan ingin berubah dan akan berubah.
Tetapi tidak banyak orang yang benar-benar berjuang mewujudkan perubahan itu.
Tetapi tidak banyak orang yang benar-benar berjuang mewujudkan perubahan itu.
Setiap orang juga tentunya pernah kena teguran, tamparan dan bahkan cacian.
Tetapi tidak banyak orang yang bisa belajar dari teguran, tamparan dan cacian tersebut serta menjadikannya sebagai wake up call.
Tetapi tidak banyak orang yang bisa belajar dari teguran, tamparan dan cacian tersebut serta menjadikannya sebagai wake up call.
Mungkin dulu pernah ada penelitian atau percobaan yang ingin membuat
si koala lebih aktif, lebih gesit dan lebih banyak bergerak (he3x…
mungkin lho ya. Siapa tahu memang pernah ada penelitian atau percobaan
itu).
Namun tampaknya tidak sukses tuh karena si koala tetap lah si koala.
Lalu bagaimana dengan kita?
Apakah kita tetaplah kita yang sama dengan si koala???
Atau kita masih bisa menggunakan atribut ‘kemanusiaan’ kita untuk berjuang dan berubah menghasilkan keadaan yang lebih baik?
Mudah-Mudahan kita semua tidak menjadi
contoh keburukan bagi orang lain. Mudah-mudahan anak-anak kita tidak
mencontoh perilaku buruk yang pernah khilaf kita, para orang tuanya
lakukan. Dan mudah-mudahan pula anggota lingkungan masyarakat kita tidak
menjadikan kita sebagai salah satu figur keburukan, akibat perilaku
buruk yang kita lakukan.
Alangkah ruginya dalam hidup yang cuma
sekali-kalinya ini dan orang lain meniru keburukan kita, naudzubillah.
Ingatlah bahwa jika kita berperilaku buruk dan tidak bermoral, maka
ketika orang berbicara, akan berbicara tentang keburukan kita. Apalagi
jika orang lain mencontoh perilaku buruk itu, berarti kita juga akan
memikul dosanya.
Namun seandainya justru orang atau
masyarakat di sekitar kita yang berperilaku kurang baik, maka sudah
sewajarnya bila kita menekadkan diri untuk mengubahnya menuju arah
kebaikan. Lalu, bagaimana cara mengubah orang menjadi lebih baik secara
efektif ?
Salah satu caranya adalah dengan kekuatan
suri tauladan atau menjadi contoh terlebih dahulu. Jika ingin mengubah
orang lain, maka pertanyaan pertama yang harus dilakukan adalah sudah
pantaskah kita menjadi contoh kebaikan akhlak bagi orang lain? Sudahkah
kita menjadi suri tauladan bagi apa yang kita inginkan ada pada diri
orang lain itu?
Rasulullah SAW gemilang menyeru ummat ke
jalan-Nya, mengubah karakter ummat dari zaman kegelapan menuju jalan
penuh cahaya yang ditempuh hampir 23 tahun. Salah satu pilar strategi
keberhasilannya adalah karena Rasul memiliki kekuatan suri tauladan yang
sungguh luar biasa. Yakinlah bahwa cara paling gampang mengubah orang
lain sesuai keinginan kita adalah dengan cara menjadikan diri kita
sebagai media atau contoh yang layak ditiru.
Karenanya, jangan bercita-cita memiliki
anak yang santun, lembut, kalau kesantunan dan kelembutan itu tidak ada
dalam diri orang tuanya. Jangan bercita-cita punya anak yang tahu etika,
kalau cara mendidik yang dilakukan orang tuanya tidak menggunakan
etika. Sangat mustahil akan terwujud ketika para pimpinan ingin
anggotanya berdisiplin, padahal disiplin itu bukan bagian dari diri
pimpinannya. Contoh sederhana, mengapa penataran P4 gagal menjadi pedoman hidup
yang jadi acuan bangsa Indonesia ? Karena tidak ada contoh tauladannya.
Siapa sekarang pemimpin bangsa ini yang paling Pancasilais ? Susah
mencarinya. Seumpama mata air di pegunungan yang sudah keruh tercemar.
Kalau dari sumbernya sudah keruh, walau yang di bawah di
bening-beningkan juga tidak akan bisa. Di hilir menjadi keruh karena di
hulunya juga keruh.
Orang tua ingin anak-anaknya tidak
merokok padahal ternyata orang tuanya perokok berat, bagaimana mungkin ?
Para guru ingin murid-muridnya tidak mengganja, padahal ganja itu
awalnya dari rokok, dan ternyata para guru merokok di depan
murid-muridnya. Jangan-jangan kita yang menjerumuskan mereka ?
Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat
(RSKO) Jakarta ada sebuah contoh menarik tentang mengapa anak-anak
menjadi seorang perokok atau pengganja. Di salah satu dindingnya
tergantung sebuah potret seorang ibu yang sedang menimang-nimang
bayinya, dan ternyata si ibu ini melakukannya sambil merokok. Tidak bisa
tidak. Perilaku si Ibu ini merupakan contoh bagi si bayi yang ada
dipangkuannya.
Ah, Sayang sekali kita terlalu
banyak menuntut pada orang lain, padahal sebenarnya yang paling layak
kita tuntut adalah diri kita sendiri. Para guru bertanggung jawab kalau
para murid akhlaknya menjadi jelek. Karena mungkin akhlak Pak Gurunya
dan Akhlak BU Gurunya kurang baik. Lihat moral para mahasiswa yang
bejat, kumpul kebo, mengganja, dan sebagainya. Tidak usah heran,
lihatlah akhlak para dosennya, moral para dosennya yang mungkin tidak
jauh berbeda. Santri di pondok-pondok jadi turun ibadahnya, jelek
akhlaknya, jarang tahajutnya, lihat saja akhlak para ustadnya. Di kantor
karyawan sering datang terlambat, kinerjanya tidak optimal, kasus
kehilangan meningkat, lihat saja akhlak pimpinannya. Pimpinan mencuri,
karyawan pun akan mencontohnya dengan mencuri pula.
Oleh karena itu, pertanyaan yang harus
selalu kita lakukan adalah sudahkah diri kita ini menjadi contoh
kebaikan atau belum ? Omong kosong kita bicara masalah disiplin atau
masalah aturan, kalau ternyata kita sendiri belum membiasakan diri untuk
berdisiplin atau taat aturan. Sehebat apapun kata-kata yang terlontar
dari mulut ini, perilaku yang terpancar dari pribadi kita justru akan
jauh berpengaruh lebih dahsyat daripada kata-kata.
Bersiap-siaplah untuk menderita bagi
seorang ayah yang tidak bisa menjadi contoh kebaikan bagi anak-anaknya.
Bersiaplah untuk memikul kepahitan bagi seorang ayah yang tidak dapat
menjadi suri tauladan bagi keluarga dan keturunannya. Bersiap-siaplah
untuk menghadapi perusahaan yang ruwet dan rumit kalau seorang atasan
tidak menjadi contoh bagi karyawannya. Bersiaplah menghadapi kepusingan
jikalau seorang pimpinan tidak menjadi contoh bagi yang dipimpinnya.
Ingat, jangan mimpi mengubah orang lain
sebelum diawali dengan mengubah diri sendiri. Allah SWT, dengan tegas
menyatakan kemurkaannya bagi orang yang menyuruh berperilaku apa-apa
yang sebenarnya tidak ia lakukan.
“Sungguh besar kemurkaan di sisi ALLAH bagi orang yang berkata-kata apa-apa yang tidak diperbuatnya” (QS Ash Shaaf 21 : 3).
Bukan tidak boleh berkata-kata, tapi kemuliaan akhlak pribadi akan jauh lebih memperjelas kata-kata kita. Dan menjadi contoh juga tidak akan
efektif kecuali contoh itu penuh keikhlasan. Karena ada pula yang
memberi contoh tapi riya, ingin dipuji, ingin dinilai orang lain hebat,
ingin dihormati, dan ingin dihargai. Kalau tujuannya seperti ini, tidak
akan berarti apa-apa. Hati hanya bisa disentuh oleh hati lagi. Contoh
yang tidak ikhlas tidak akan dicontoh oleh orang lain. Contoh yang
karena pujian, over acting tidak akan masuk kepada hati orang lain.
Contoh haruslah dilakukan dengan ikhlas. Jangan berharap atau bahkan
berpikir untuk dipuji dan dihormati.
Selalulah tanya pada diri ini contoh apa
yang akan kita tunjukkan dalam hidup yang sekali-kalinya ini. Apakah
contoh tauladan kebaikan ? Ataukah malah sebaliknya contoh tauladan
keburukan ? Naudzhubillah.
Apakah contoh pribadi yang matang
ataukah malah pribadi yang kekanak-kanakan? Karenanya menjadi suatu
keharusan bagi seorang ayah, seorang ibu, seorang pemimpin, dan bagi
siapa pun untuk memberikan contoh terbaik dari dirinya. Hidup cuma
sekali dan belum tentu panjang umur. Akan menjadi suatu yang sangat
indah jikalau kenangan dan warisan terbesar bagi keluarga dan lingkungan
sekitar adalah terpancarnya cahaya pribadi kita yang layak di tauladani
oleh siapa pun. Semuanya tiada lain adalah buah dari mulianya akhlak
No comments:
Post a Comment