A. Metode Bermain Konstruktif
- Metode Bermain KonstruktifPengertian Metode Bermain Konstruktif
Dalam pengertian umum, metode diartikan sebagai cara mengerjakan sesuatu. Dalam pengertian letterlijk, kata “metode” berasal dari bahasa Greek yang berarti dari “meta” yang berarti “melalui” dan “hodos” yang berarti jalan. Jadi metode berarti “ jalan yang dilalui”.[1] Dalam kamus besar bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai berikut:
“Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.”[2]
Metode mengandung implikasi bahwa proses
penggunaannya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran
metode itu adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan.[3] Pengertian bermain adalah melakukan suatu perbuatan untuk menyenangkan hati (dengan alat-alat tertentu atau tidak).[4] Sedangkan pengertian Konstruktif adalah bersifat membina, memperbaiki, dan membangun.[5]
Dengan demikian yang dimaksud dengan Metode Bermain Konstruktif adalah
cara bermain yang bersifat membangun, membina, memperbaiki, dimana
anak-anak menggunakan bahan untuk membuat sesuatu yang bukan untuk
bertujuan bermanfaat, melainkan ditujukan bagi kegembiraan yang
diperolehnya dari membuatnya.[6]
Yang dimaksud konstruktif adalah bahwasanya anak-anak membuat bentuk-bentuk dengan balok-balok, pasir, lumpur,
tanah liat, manik-manik, cat, pasta, gunting dan krayon. Sebagian besar
konstruksi yang dibuat merupakan tiruan dari apa yang dilihatnya dalam
kehidupan sehari-hari atau dari layar bioskop atau televisi. Menjelang
berakhirnya awal masa kanak-kanak, anakanak sering menambahkan
kreatifitasnya ke dalam konstruksi-konstruksi yang dibuat berdasarkan
pengamatannya dalam kehidupan sehari-hari.[7]
2. Teori-teori Permainan
Teori ini
dikembangkan oleh Schaller dan Lazarus, keduanya ilmuwan bangsa Jerman,
yang berpendapat bahwa permainan merupakan kesibukan untuk menenangkan
pikiran atau beristirahat. Orang melakukan kesibukan bermain bila mereka
bekerja ; maksudnya untuk mengganti kesibukan bekerja dengan kegiatan
lain yang dapat memulihkan tenaga kembali.[8] Maka disebut juga teori pemulihan tenaga.[9] Atau disebut juga teori Istirahat.[10]
- Teori Penglepasan
Teori ini berasal dari Herbert Spencer,
ahli pikir bangsa Inggris. Ia mengatakan bahwa dalam diri anak terdapat
kelebihan tenaga. Sewajarnya ia harus mempergunakan tenaga itu melalui
kegiatan bermain. Kelebihan tenaga itu harus dipergunakan, paling tidak
harus dilepaskan dalam kegiatan bermain-main. Dengan demikian dapat
mencapai keseimbangan dalam dirinya.[11] Teori ini disebut juga sebagai teori kelebihan tenaga (Krachtoverschot-theorie).[12]
- Teori Atavistis
Teori ini berasal dari Stanley Hall,
ahli psikologi bangasa Amerika, yang berpendapat bahwa di dalam
perkembangannya, anak melalui seluruh taraf kehidupan umat manusia.
Sebelumnya Hackel merumuskan pendapat ini berupa hukum biogenetis. Anak-anak
selalu mengulangi apa yang pernah dikerjakan atau diperbuat nenek
moyangnya sejak dari masa dahulu sampai kepada keadaan yang sekarang.
Karena alasan itulah maka teori ini dinamai atavistis. Dalam bahasa latin, atavus artinya nenek moyang. Jadi atavistis artinya
kembali kepada sifat-sifat nenek moyang di masa lalu. Dalam permainan
timbul bentuk-bentuk kelakuan seperti bentuk kehidupan yang pernah
dialami oleh nenek moyang.[13]
Hall yang banyak mendengarkan teorinya kepada Rousseau dan Darwin, memandang permainan berdasarkan teori rekapitulasi, yaitu
sebagai ulangan (rekapitulasi) bentuk-bentuk aktivitas yang dalam
perkembangan jenis manusia pernah memegang peranan yang dominan.
Menurut teori rekapitulasi perkembangan
individu (ontogenesa) adalah ulangan perkembangan jenis manusia
(filogenesa). Menurut Hall permainan merupakan sisa-sisa periode
perkembangan manusia waktu dulu tetapi yang sekarang perlu sebagai
stadium transisi dalam perkembangan individu.[14]
Teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai
tahapan kegiatan bermain yang mempunyai urutan yang sama seperti evolusi
mahluk hidup.[15]
- Teori Biologis
Teori ini berasal dari Karl Gross,
seorang bangsa Jerman. Selanjutnya Dr. Maria Montessori, pendidik
kenamaan bangsa Italia (1870-1952), mengembangkan teori biologis ini.
Permainan merupakan tugas biologis (hidup atau hayat). Dengan pedoman
pendapat itu, permainan di kalangan anak-anak mempunyai persamaan dengan
permainan dalam dunia binatang. Permainan merupakan latihan untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan kehidupan, juga dianggap
sebagai latihan jiwa dan raga untuk kehidupan dimasa yang akan datang.[16]
Dasar teori Groos adalah prinsip seleksi
alamiah yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Binatang dapat
mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai keterampilan yang diperoleh
melalui bermain. Bayi yang baru lahir juga binatang mewarisi sejumlah
instink yang tidak sempurna dan instink ini penting guna mempertahankan
hidup. Bermain bermanfaat untuk mahluk yang masih muda dalam melatih dan
menyempurnakan instinknya. Jadi tujuan bermain adalah sebagai sarana
latihan dan mengelaborasi keterampilan yang diperlukan saat dewasa
nanti.[17]
Montessori menyebut permainan ini sebagai
latihan fungsi-fungsi. Fungsi-fungsi dilatih dengan cara berlari-lari,
dengan cara berjingkrakjingkrak, dan sebagainya. Perasaan senang dalam
bermain ini dapat membantu dan mendorong untuk menimbulkan
kekuatan-kekuatan yang dibutuhkan.[18]
- Teori Psikologi Dalam
Teori ini berasal dari Sigmund Freud dan
Adler, kedua tokoh itu membahas permainan dari sudut pandang psikologi
dalam. Menurut Freud, permainan merupakan pernyataan nafsu-nafsu yang
terdapat di daerah bawah sadar, sumbernya berasal dari dorongan nafsu
seksual. Permainan merupakan bentuk dari pemuasan dari nafsu seksual
yang terdapat di komplek terdesak. Sedang menurut Adler, pernyataan
nafsu-nafsu yang terdapat di bawah sadar itu sumbernya berasal dari
dorongan nafsu berkuasa. Permainan merupakan usaha untuk menutup-nutupi
perasaan “harga diri kurang”.[19]
- Teori Fenomenologis
Profesor Kohnstamm, seorang sarjana
Belanda yang mengembangkan teori fenomenologi dalam pedagogik
teoritisnya menyatakan bahwa, permainan merupakan suatu fenomena atau
gej ala yang nyata, yang mengandung unsur-unsur permainan (spels feer).
Dorongan bermain merupakan dorongan untuk menghayati suasana bermain
itu. Yakni tidak khusus bertujuan untuk mencapai prestasi-prestasi
tertentu, akan tetapi anak bermain untuk permainan itu sendiri.
Jadi, tujuan permainan adalah permainan itu sendiri. Dalam suasana permainan itu terdapat:
1) Kebebasan
2) Harapan
3) Kegembiraan
4) Unsur Ikhtiar dan;
5) Siasat untuk mengatasi hambatan serta perlawanan.[20]
- Jenis- Jenis Permainan
H. Zetzer, seorang ahli psikologi bangsa
Jerman, meneliti permainan dikalangan anak-anak. Tokoh ini menyebutkan
jenis-jenis permainan sebagai berikut:
- Permainan Fungsi
Dalam permainan ini yang diutamakan
adalah gerakannya. Bentuk permainan ini gunanya untuk melatih
fungsi-fungsi gerak dan perbuatan.
- Permainan Konstruktif
Dalam permainan ini yang diutamakan
adalah hasilnya, ada pula yang disebut permainan destruktif. Bentuk
permainan ini lebih bersifat merusak.
- Permainan Reseptif
Sambil mendengarkan cerita atau
melihat-lihat buku bergambar, anak berfantasi dan menerima kesan-kesan
yang membuat jiwanya sendiri menjadi aktif.
- Permainan Peranan
Anak itu sendiri memegang peranan sebagai apa yang sedang dimainkannya.
- Permainan Sukses
Dalam permainan ini yang diutamakan
adalah prestasi, untuk kegiatan permainan ini sangat dibutuhkan
keberanian, ketangkasan, kekuatan dan bahkan persaingan.[21]
Menurut Drs. Agus Sujanto, jenis-jenis permainan adalah:
- Permainan Gerak atau Fungsi
Yang dimaksud adalah permainan yang mengutamakan gerak dan berisi kegembiraan di dalam bergerak.
- Permainan Destruktif
Yang dimaksud adalah permainan dengan
merusakkan alat-alat permainannya itu. Seakan-akan ada rahasia di dalam
alat permainannya dan ia mencari rahasia tersebut.
- Permainan Konstruktif
Yang dimaksud anak senang sekali
membangun, disusun balokbalok, satu dan sebagainya menjadi sesuatu yang
baru dan dengan itu si anak menemukan kegembiraannya.
- Permainan Peranan, atau ilusi
Yang dimaksud adalah permainan peranan yang di dalamnya, si anak menjadi seorang yang penting.
- Permainan Reseptif
Yang dimaksud adalah apabila orang tuanya
sedang menceritakan sesuatu, maka di dalam jiwanya si anak mengikuti
cerita dengan menempatkan dirinya sebagai tokohnya.
- Permainan Prestasi
Yang dimaksud adalah di dalam permainan
itu si anak berlomba-lomba untuk menunjukkan kelebihannya, baik
kelebihan dalam kekuatan, dalam keterampilan maupun dalam
ketangkasannya.[22]
- Fungsi Bermain
Sesuai dengan pengertian bermain yang
merupakan tuntutan dan bagi perkembangan anak usia TK, menurut Hartley,
Frank, dan Goldenson sebagaimana dikutip oleh Moeslichatoen, ada 8
fungsi bermain bagi anak:
- Memainkan apa yang dilakukan oleh orang dewasa
- Untuk melakukan berbagai peran yang ada dalam kehidupan nyata
- Untuk mencerminkan hubungan dalam keluarga dan pengalaman hidup yang nyata.
- Untuk menyalurkan perasaan yang kuat
- Untuk melepaskan dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima
- Untuk kilas balik peran-peran yang biasa dilakukan
- Mencerminkan pertumbuhan
- Untuk memecahkan masalah dan mencoba berbagai penyelesaian masalah.[23]
Sedangkan menurut Hetherington dan Parke
bermain juga berfungsi untuk mempermudah perkembangan kognitif anak.
Dengan bermain akan memungkinkan anak meneliti lingkungan, mempelajari
segala sesuatu yang dihadapinya. Bermain juga meningkatkan perkembangan
sosial anak. Dengan menampilkan bermacam-macam peran, anak berusaha
memahami peran orang lain dan menghayati peran yang akan diambilnya
setelah ia dewasa kelak.
Sejalan dengan Hetherington dan Parke di
atas, Dworetzky (1990) juga mengemukakan fungsi bermain dan interaksi
dalam permainan mempunyai peranan penting bagi perkembangan kognitif dan
sosial anak. Fungsi bermain tidak saja dapat meningkatkan perkembangan
kognitif dan sosial, tetapi juga perkembangan bahasa, disiplin,
perkembangan moral , kreatifitas dan perkembangan fisik anak. Beberapa
fungsi bermain antara lain:
- Mempertahankan keseimbangan
- Menghayati berbagai pengalaman yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari
- Mengantisipasi peran yang akan dijalani di masa yang akan datang
- Menyempurnakan keterampilan-keterampilan yang dipelajari
- Menyempurnakan keterampilan memecahkan masalah
- Meningkatkan keterampilan berhubungan dengan anak lain.[24]
B. Perkembangan keagamaan Anak
-
- 1. Pengertian Perkembangan Keagamaan Anak
Psikologi berasal dari kata Psyche dan Logos, masing-masing
kata itu mempunyai arti “jiwa” dan “ilmu”. Psikologi adalah ilmu yang
menyelidiki dan membahas tentang perbuatan dan tingkah laku manusia.
Dalam usaha memahami psikologi perkembangan, ada baiknya kita ketahui
apa yang dimaksud dengan perkembangan. Mulanya kata perkembangan berasal
dari biologi, kemudian pada abad ke-20 ini kata perkembangan digunakan
oleh psikologi. Karena penggunaannya pertamatama dalam biologi , pada
masa berikutnya ada ahli-ahli yang menyebut pertumbuhan, disamping kata
perkembangan, bahkan ada yang menyebut istilah itu untuk maksud yang
sama.[25]
Menurut Robert G Myers, dalam bukunya
“Toward a fair Start For Childern“, sebagaimana dikutip oleh Washington
P. Napitupulu, perkembangan anak tidak sama dengan pertumbuhan, walaupun
sebagaimana disarankan pada diskusi sebelumnya, istilah-istilah itu
berkaitan dan sering digunakan bergantian. Jika pertumbuhan digambarkan
oleh perubahan dalam ukuran, untuk perkembangan dicirikan oleh perubahan
di dalam kerumitan dan fungsi.[26]
Proses perkembangan akan berlangsung sepanjang kehidupan menusia,
sedang proses pertumbuhan sering kali akan berhenti bila seorang telah
mencapai kematangan fisik.[27]
Arti perkembangan anak menurut Robert G.
Mayers sebagaimana dikutip oleh Washington P. Napitupulu adalah suatu
proses perubahan di mana anak belajar menangani taraf-taraf yang semakin
rumit tentang gerakan, pemikiran, perasaan (emosi) dan hubungan dengan
orang lain.[28]
Sedangkan arti jiwa agama menurut Zakiah
Daradjat adalah pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah orang karena
cara seseorang berfikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku, tidak
dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam
konstruksi keyakinannya.[29]
Perkembangan jiwa keagamaan di sini dapat
diartikan sebagai proses perubahan keagamaan dalam diri seorang anak
terhadap sikap dan tingkah laku karena cara anak tersebut berfikir,
bersikap, bereaksi, bertingkah laku, tidak dapat dipisahkan dari
keyakinannya.
- 2. Teori-Teori Perkembangan
Pengertian teori di sini bukan sebagai
lawan praktek, melainkan sebagai anggapan pakar mengenai hakekat
perkembangan. Karena sebagai anggapan, maka walaupun mengenai hal yang
sama, yaitu perkembangan akan tetapi berbeda-beda antara pakar yang satu
dengan pakar yang lain. Adapun beberapa teori yang perlu dikemukakan di
sini adalah sebagai berikut:
- Teori Nativisme
(Latin, Nativus: Pembawaan).
Pelopor Nativisme adalah seorang filosof bangsa Jerman bernama Arthur
Schopenhauer (1788-1860). Menurut pendapatnya anak sejak lahir telah
memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang disebut sifat pembawaan.
Sifat-sifat itu tidak dapat dirubah dengan pengalaman, lingkungan atau
pendidikan.[30] Dan sifat bawaan inilah yang akan menentukan wujud keperibadian seorang anak.[31]
Kelompok atau aliran ini dijuluki aliran Pesimisme atau
aliran yang sangat pesimis terhadap hasil pendidikan dan lingkungan
dalam menentukan perkembangan, karena bayi lahir seolah sudah menjadi
barang jadi, yang tidak dapat diotak-atik dan sama sekali tidak
memperhitungkan pengaruh lingkungan, pengalaman, hasil belajar dan
pendidikan yang diperoleh anak setelah lahir, sehingga juga tidak
memperhitungkan fungsi sekolah atau pengaruh teman.
Menurut aliran ini berbagai keistimewaan
orang tua akan dapat begitu saja diturunkan kepada anaknya tanpa
pendidikan, sementara anak yang sudah berpembawaan buruk, juga tidak
akan ada gunanya dididik atau dilatih untuk menjadi baik. Aliran ini
tidak dipertahankan mengingat uraiannya kurang bisa dipertanggung
jawabkan.[32]
- Teori Empirisme
(Latin Emperia: Pengalaman).
Pelopor yang utama dari faham ini adalah seorang ahli filsafat Inggris
yang bernama John Locke (1632-1704). Faham ini bertentangan dengan faham
Nativisme dan berpendapat bahwa anak sejak lahir belum memiliki
sifat-sifat pembawaan apapun.[33] Dan perkembangan manusia sepenuhnya tergantung pada lingkungan atau pendidikan yang diperoleh. Aliran ini juga disebut dengan Optimisme karena
sangat optimis terhadap usaha pendidikan dalam memberi arah
perkembangan anak. Ajaran yang terkenal dalam aliran ini adalah “Tabula Rasa” yang
berarti meja lilin atau kertas kosong, artinya anak dilahirkan dalam
keadaan putih bersih, yang dapat diisi apa saja dengan belajar dan
pengalaman yang diperoleh.[34]
- Teori Konvergensi
Konvergensi (Converge: Memusatkan pada satu titik ; bertemu).[35]
Teori Konvergensi ini dipelopori oleh Louis William Stern (1871-1938)
yang juga psikolog dan filosof Jerman. Pendapatnya tentang teori ini
adalah bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah
integritas antara pembawaan dan lingkungan. Pembawaan
tak ada artinya bila tidak didukung pengalaman, kesempatan dan usaha
belajar, sebaliknya lingkungan juga tidak bermanfaat bila anak ternyata
tidak membawa kecenderungan yang potensial untuk dikembangkan.
Adanya teori dan tafsiran tentang kertas
putih (tabula rasa) dari teori Empirisme yang diperkenalkan oleh John
Locke mendasari keyakinan Ki Hajar Dewantoro sejak tahun 1940-an tentang
daya konvergensi antara dasar dan ajar. Dasar adalah kodratnya
anak-anak, sedangkan ajar adalah lingkungan pendidikan.[36]
Disini diutarakan pula tentang pandangan Islam terhadap hereditet dan lingkungan sebagai berikut:
1) Firman Allah SWT
Artinya: Katakanlah, “ Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”.(QS. Al-Isra’ ; 84)[37]
2) Sabda Nabi Muhammad saw:
Artinya: “Diriwayatkan dari Hajib bin
al-Walid diriwayatkan dari Muhammad bin Harbi dari Zabidi dari Zuhri
menceritakan kepadaku Said bin Musayyaib dari Abu Hurairah bahwasanya
dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tiap-tiap anak dilahirkan menurut
fitrahnya (bakatnya, orang tualah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau
Majusi)”.[38] (HR. Muslim)
- 3. Prinsip-Prinsip Perkembangan
Ciri-ciri perkembangan menunjukkan
gejala-gejala yang secara relatif teratur, sehingga terjadi adanya
pola-pola perkembangan yang sistematis. Atas dasar itu maka para ahli
merumuskan dalam bentuk prinsip perkembangan. Prinsip-prinsip
perkembangan itu kadang-kadang juga dipandang sebagai hukum-hukum
perkembangan. Beberapa prinsip-prinsip perkembangan yang perlu
dibicarakan di sini adalah:
- Perkembangan fungsi-fungsi jasmaniah dan fungsi-fungsi rohaniah berlangsung dalam proses satu kesatuan yang menyeluruh (integral).
- Setiap individu mempunyai kecepatan sendiri-sendiri dalam perkembangannya.
- Perkembangan seorang individu, baik keseluruhan, maupun setiap aspeknya, kelangsungannya tidak konstan, melainkan berirama.
- Proses perkembangan itu mengikuti pola tertentu.
- Proses perkembangan berlangsung secara bersambungan atau kontinyu.
- Antara aspek perkembangan yang satu dengan yang lain saling berkaitan atau saling berkorelasi secara bermakna.
- Perkembangan berlangsung dari pola-pola yang bersifat umum ke polapola yang bersifat khusus.[39]
Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya perkembangan anak menjelaskan bahwa prinsip-prinsip perkembangan tersebut meliputi:
- Perkembangan melibatkan adanya perubahan yang bersifat progresif, yang bertujuan agar manusia dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan dengan cara realistis diri dan pencapaian genetik.[40]
- Perkembangan awal lebih kritis dari perkembangan selanjutnya. Perkembangan merupakan proses kontinum, di mana perkembangan sebelumnya akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Maka kesalahan ataupun gangguan pada perkembangan awal akan terus mempengaruhi perkembangan-perkembangan berikutnya. Kondisi yang mempengaruhi perkembangan awal adalah hubungan pribadi yang menyenangkan, keadaan emosi, metode melatih anak, peran yang dini, struktur keluarga di masa kanak-kanak serta rangsangan lingkungan.[41]
- Perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar. Dalam kehidupan sering sulit dibedakan antara perubahan yang merupakan hasil belajar dengan perubahan karena kematangan, hasil dari keduanya sering terintegrasi. Hanya dapat ditandai bahwa perubahan karena belajar diperoleh dengan usaha sadar atau latihan. Pengaruh hubungan antara kematangan dan belajar adalah sebagai berikut:
1) Variasi pola perkembangan.
2) Kematangan membatasi perkembangan.
3) Batas kematangan yang dicapai.
4) Hilangnya kesempatan belajar membatasi perkembangan.
5) Rangsangan diperlukan untuk perkembangan sempurna.
6) Keefektifan belajar tergantung pada ketepatan waktu.[42]
- Pola perkembangan dapat diramalkan. Karena pola perkembangan manusia mengikuti pola umum, maka dengan melakukan pengamatan longitudinal sejak awal perkembangan anak, akan dapat diramalkan pola perkembangan berikutnya baik yang menyangkut pertumbuhan fisik ataupun perkembangan psikis.[43]
- Pola perkembangan mempunyai karakteristik yang dapat diramalkan, tidak hanya pola perkembangan yang dapat diramalkan, juga karakteristik tertentu dari tingkat perkembangan yang bisa diramalkan, baik dalam hal ukuran, dan kapan kematangan atau sering disebut dengan masa peka (masa yang paling tepat untuk mengembangkan kemampuan tertentu) akan muncul, perencanaan pendidikan, kesiapan untuk tahap berikutnya, perencanaan pekerjaan maupun untuk kepentingan adopsi.[44]
- Terdapat perbedaan individu dalam perkembangan. Meskipun perkembangan manusia mengikuti pola umum namun tempo dan irama perkembangan bersifat individual, pemahaman terhadap perbedaan irama dan tempo yang individual ini, bisa dipakai untuk landasan dalam menentukan harapan yang berbeda, dengan individualitas (perlakuan yang berbeda), pendidikan anak harus bersifat perseorangan, serta meramal adalah sulit.[45]
- Pada setiap periode perkembangan terdapat harapan sosial. Harapan sosial sering dipakai oleh kelompok masyarakat sebagai kriteria untuk menetapkan apakah perkembangan seseorang termasuk perkembangan yang normal atau tidak.
- Setiap bidang perkembangan mengandung bahaya yang potensial. Walaupun pola perkembangan bergerak normal, selalu perlu diwaspadai adanya gangguan baik yang berasal dari dirinya sendiri ataupun lingkungan. Gangguan akan dapat mempengaruhi penyesuaian phisik, psikhologis maupun sosial, akibatnya secara tidak sengaja memungkinkan anak mengubah pola perkembangan, sehingga menghasilkan daerah mendatar atau bahkan menurun pada grafik perkembangan anak. Bila tidak diwaspadai hal ini akan merugikan keseluruhan perkembangan anak.
- Kebahagiaan bervariasi pada berbagai periode perkembangan kebahagiaan merupakan pengalaman subyektif yang tidak mungkin digambarkan dengan ukuran dan prosedur obyektif. Subyektifitas rasa bahagia ini menyangkut perbedaan individual yang berbeda antara satu dengan yang lain, juga menyangkut subyektifitas pada setiap tahapan perkembangan.[46]
- 4. Periode-periode Perkembangan
Cara menyusun atau memberikan periodesasi
perkembangan tidak sama antara pakar yang satu dengan yang lain, ini
disebabkan oleh perbedaan pandangan yang mendasari cara pembagian itu.
Beberapa macam cara pembagian periode perkembangan yang didasarkan pada
dasar pandangan yang berbeda misalnya sebagai berikut:
- Periodesasi perkembangan berdasar pada ciri-ciri biologis
Yaitu berdasarkan ciri-ciri jasmaniah
yang menandai setiap masa pada periode itu. Periodesasi itu dikemukakan
oleh Aristoteles (3 84-322 S.M). Ia membagi ke dalam tiga masa (0-2 1
tahun) yaitu:
1) Masa anak kecil atau masa bermain (0-7 th)
2) Masa belajar atau masa sekolah rendah (7-14 th)
3) Masa remaja atau masa pubertas, yaitu masa peralihan dari masa anakanak menjadi dewasa (14-21th)
- Periodesasi perkembangan berdasar konsep didaktik
Periode ini dikembangkan oleh Amos
Comenius, seorang ahli pendidikan bangsa Cekoslovakia (1592-167 1) yang
termuat dalam bukunya Didactika magna (Didaktik yang agung), sebagaimana
dikutip oleh Ahmad Thantowi. Ia membagi perkembangan sejak lahir-usia
24 tahun, dalam empat masa, masing-masing meliputi enam tahunan yaitu:
1) Masa sekolah ibu (Scola Maferna), (0-6 th).
2) Masa sekolah bahasa ibu (Scola Vernacula), (6-12 th).
3) Masa sekolah latin (Scola Latena), (12-18 th).
4) Masa sekolah tinggi (Academia), (18-24 th).[47]
Rosseau, membagi periodesasi perkembangan menjadi empat masa yaitu:
1) Masa usia asuhan, (0-2 th).
2) Masa pendidikan jasmani dan latihan panca indera, (2-12 th).
3) Masa pendidikan akal, (12-15 th).
4) Masa pendidikan watak dan pendidikan agama.[48]
- Periodesasi perkembangan berdasarkan ciri-ciri psikologi
Ciri-ciri psikologis adalah ciri-ciri
kejiwaan yang menonjol, yang menandai masa pada periode itu. Periodesasi
seperti ini dikemukakan oleh Oswarl Kroch. Ciri-ciri psikologis yang ia
kemukakan, yang dipandang terdapat pada anak-anak yang pada umumnya
adalah pengalaman kegoncangan jiwa yang memanifestasikan dalam bentuk
Trotz atau sifat “keras kepala ”. Atas dasar ini ia menyusun periode perkembangan menjadi tiga masa yaitu:
1) Masa anak awal ; berlangsung sejak 0-3 tahun. Disebut juga trotz periode pertama, yaitu masa menentang.
2) Masa keserasian sekolah ; berlangsung dari 3-13 tahun, disebut juga trotz periode kedua, yaitu masa keserasian.
3) Masa kematangan ; berlangsung
dari usia 13-2 1 tahun, disebut juga trots periode ketiga, yaitu masa
kematangan, dari pada masa krisis.[49]
- Periodesasi perkembangan berdasarkan konsep tugas perkembangan.
Tugas perkembangan adalah pelbagai ciri
perkembangan yang diharapkan timbul dan dimiliki oleh setiap anak pada
setiap masa dalam periode perkembangannya. Periodesasi ini dikemukakan
oleh Robert J. Harighurt. Dalam bukunya yang berjudul Human Development and Education, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Thantowi. Ia membagi seluruh masa perkembangan menjadi masa sebagai berikut:
1) Masa bayi dan anak-anak (in fancy and Childhood); 0-6 tahun.
2) Masa sekolah atau pertengahan kanak-kanak (Middle Childhood); 6-12 tahun.
3) Masa remaja (Adolascence); 13-18 tahun.
4) Masa dewasa:
a) Masa mula dewasa (erdly adulthood), 18-30 tahun.
b) Masa usia pertengahan (middle age), 30-55 tahun.
c) Masa tua (latter maturity), 55 tahun keatas.[50]
- 5. Aspek Perkembangan Keagamaan Anak Usia Sekolah Dasar
Fitrah beragama ini merupakan disposisi
(kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk
berkembang. Namun mengenai arah dan kualitas perkembangan beragama anak
sangat bergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya. Hal ini
seperti yang telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad Saw: “ Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orang tuanyalah, anak itu menjadi yahudi,nasrani, atau majusi ”.
Hadis ini mengisyaratkan bahwa
faktor lingkungan (terutama orang tua) sangat berperan dalam
mempengaruhi perkembangan fitrah keberagamaan anak. Jiwa beragamaatau
kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan
dengan keimanan kepada Allah yang direfleksikan ke dalam peribadatan
kepadaNya, baik yang bersifat hablumminallah maupun hablumminannas.[51]
Perkembangan beragama seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor pembawaan dan lingkungan.
- Faktor Pembawaan (internal)
Dalam perkembangannya, fitrah beragama
ini ada yang berjalan secara alamiah, dan ada juga yang mendapat
bimbingan dari para rasul Allah Swt, sehingga fitrahnya itu berkembang
sesuai dengan kehendak Allah Swt.[52]
Keyakinan bahwa manusia itu mempunyai fitrah atau kepercayaan kepada
Tuhan didasarkan pada firman Allah surat Ar-Ruum ayat 30 sebagai
berikut:
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. Itulah agama lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,
(Ar-Ruum:30)[53]
- Faktor Lingkungan (eksternal)
Faktor pembawaan atau fitrah beragama
merupkan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun,
perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada factor luar
(eksternal) yang memberikan rangsangan yang memungkinkan fitrah itu
berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor eksternal itu adalah lingkungan
dimana individu itu hidup. Lingkungan itu adalah keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
- i. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan
utama bagi anak, oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan
kepribadian anak sangatlah dominan. Dalam hal ini, orang tua mempunyai
peranan yang sangat penting dalam menumbuhkan fitrah beragama anak.[54]
Orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak.
Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur
pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke
dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Sikap anak terhadap pendidikan
agama di sekolah sangat dipengaruhi oleh sikap orang tuanya.[55]
Dalam mengembangkan fitrah beragama anak dalam keluarga, ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian orang tua yaitu:
(a) Karena orang tua merupakan pembina
pribadi yang pertama bagi anak, dan tokoh yang diidentifikasi atau
ditiru anak, maka seharusnya dia memilki kepribadian yang baik
(berakhlakul karimah).
(b) Orang tua hendaknya memperlakukan anaknya dengan baik.
Karakteristik sikap orang tua yang baik:
(1) memberikan curahan kasih sayang yang ikhlas; (2) menghargai pribadi
anak; (3) mau mendengar pendapat atau keluhan anak; (4) memaafkan
kesalahan anak; (5) meluruskan kesalahan anak; (6) menerima anak
sebagaimana mestinya.
(c) Orang tua hendaknya memelihara hubungan yang harmonis antar anggota keluarga.
(d) Orang tua hendaknya membimbing,
mengajarkan agama terhadap anak, seperti: syahadat, sholat, berwudlu,
doa-doa, bacaan al-Quran dan lain-lain.[56]
Pentingnya peranan orang tua dalam
mengembangkan fitrah beragama anak ini, dinyatakan dalam surat at-Tahrim
ayat 6 sebagai berikut:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…..,(at-Tahrim:6)[57]
- ii. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidiksn
formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan
bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak agar mereka berkembang
sesuai dengan potensinya. Faktor yang menunjang perkembangan fitrah
beragama siswa adala:
(a) Kepedulian kepala sekolah, guru-guru dan staf sekolah lainnya terhadap pelaksanaan pendidikan agama di sekolah.
(b) Tersedianya sarana ibadah yang memadai dan memfungsikannya secara optimal.
(c) Penyelenggaraan kegiatan
ekstrakurikuler kerohanian bagi para siswa dan ceramah-ceramah atau
diskusi keagamaan secara rutin.
- iii. Lingkungan Masyarakat
Yang dimaksud lingkungan masyarakat di
sini adalah situasi atau kondisi interaksi social dan sosiokultural yang
secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama atau
kesadaran agama individu.[58]
Menurut Abin Syamsuddin Makmun
sebagaimana yang dikutip oleh Syamsu Yusuf LN, mengemukakan bahwa
kesadaran agama pada usia ini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(a) Sikap keagamaannya bersifat reseptif (menerima) meskipun banyak bertanya.
(b) Pandangan ketuhanannya bersifat anthropormorph (dipersonifikasikan).
(c) Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.
(d) Hal ketuhanan dipahamkan secara ideosyncritic (menurut
khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf berfikirnya yang masih
bersifat egosentrik (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya).[59]
Hendaknya setiap pendidik menyadari bahwa
dalam pembinaan pribadi anak sangat diperlukan pembiasaanpembiasaan
dan latihan-latihan yang cocok dan sesuai dengan perkembangan jiwanya.
karena pembiasaan dan latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu
pada anak, yang lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat,
akhirnya tidak tergoyahkan lagi, karena telah masuk menjadi bagian dari
pribadinya.[60]
Pembiasaan-pembiasaan tersebut diantaranya adalah akhlakul karimah, seperti
(a) mengucapkan salam; (b) membaca basmalah pada saat akan mengerjakan
sesuatu; (c) membaca hamdalah pada saat mendapatkan kenikmatan dan
setelah mengerjakan sesuatu; (d) menghormati orang lain; (e) memberi shodaqoh; (f)
memelihara kebersihan. Adapun doa-doa yang diajarkan: (a) doa sebelum
makan dan sesudahnya; (b) doa keluar dan masuk rumah; (c) doa mau
tidurdan bangun tidur; (d) doa untuk orang tua; (e) doa keselamatan di
dunia dan akhirat.
Untuk menanamkan nilai-nilai agama kepada
anak pada usia ini, orang tua menyekolahkannya ke SDN atau MI , apabila
orang tua tidak mempunyai kesempatan untuk mendidik anak, karena
kesibukan bekerja. SDN ATAU MI ini mempunyai peranan yang sangat
penting dalam mengembangkan kesadaran beragama anak, baik menyangkut
penghayatan dan pengamalan ibadah mahdloh (hablum minallah) maupun hablum minannaas.[61]
Mengenai pentingnya menanamkan
nilai-nilai agama kepada anak pada usia ini, Zakiyah Daradjat,
mengemukakan bahwa umur SDN kelas I adalah umur yang paling subur untuk
menanamkan rasa agama kepada anak, umur penumbuhan kebiasaan-kebiasaan
yang sesuai dengan ajaran agama, melalui permainan dan perlakuan dari
orang tua dan guru. Keyakinan dan kepercayaan guru TK itu akan mewarnai
pertumbuhan agama pada anak.[62]
- C. Pendidikan Agama Islam
- 1. Pengertian PAI
Sebelum membahas tentang penguasaan PAI,
terlebih dahulu akan diuraikan pengertian PAI, dasar dan tujuan PAI.
Berikut ini dikemukakan pendapat yang berkaitan dengan hal tersebut,
yaitu :
1) Abdul Rachman Shaleh
Pendidikan Agama Islam adalah “suatu
usaha yang berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik/murid agar
kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan
ajaran-ajaran agama serta menjadikannya sebagai way of live (jalan
kehidupan)”.[63]
2) M. Arifin
Pendidikan Agama Islam adalah “sistem
pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin
kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam”.[64]
3) Zakiah Daradjat
Pendidikan Agama Islam”merupakan
pembentukan pribadi muslim yang isi pribadi muslim itu adalah pengamalan
sepenuhnya ajaran Allah dan Rasul-Nya”.[65]
4) Zuhairini
Pendidikan Agama Islam yaitu “usaha untuk
membimbing kea rah pertumbuhan kepribadian peserta didik secara
sistematis dan pragmatis supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam,
sehingga tercapai kebahagiaan di dunia dan di akherat”.[66]
5) Departemen Agama RI
Pendidikan Agama Islam adalah suatu
proses penyampaian informasi yang kemudian diserap oleh masing-masing
pribadi, sehingga menjiwai cara berpikir, bersikap dan bertindak baik
untuk dirinya sendiri maupun hubungannya dengan Allah dan hubungannya
dengan manusia lain atau masyarakat serta makhluk lain dalam alam
semesta maupun lingkungannya dalam kedudukannya sebagai hamba Allah atau
khalifah Allah di bumi atau cendikiawan, ulama pelanjut para Nabi.[67]
6) GBPP
Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan
mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau
latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain
dalam hubungan kerukunan antara umat beragama dalam masyarakat untuk
mewujudkan persatuan nasional.[68]
7) Halimah ali Abu Rozak
Artinya: Pendidikan agama Islam
adalah sebuah perbuatan atau tingkah laku yang disengaja atau
tidak yang mana yyang mana perbuatan tersebut bisa menyempurnakan cara
atau jalan kepada berbagai tujuan yang tak terhingga (cita-cita) manusia
kepada sebuah pertumbuhan tujuan tersebut (menumbuh
kembangkan)[69]
Dari definisi Pendidikan Agama Islam di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah suatu
usaha berupa pengajaran, bimbingan dan latihan untuk mewujudkan agar si
terdidik menjadi manusia yang utuh dalam berbagai aspek
kehidupan, baik aspek jasmani dan rohani maupun aspek dunia dan akherat
dalam mengemban tugas sebagai khalifah di bumi berdasarkan
ajaran agama Islam.
- 2. Dasar dan Tujuan PAI
Dalam kontek ini yang dimaksud dasar
Pendidikan Agama Islam adalah alasan-alasan atau landasan
penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di sekolah.
1) Dasar Pendidikan Agama Islam
Al-Qur’an dan sunah Nabi adalah
sumber dan dasar pendidikan Islam yang orisinal. Bagi umat
Islam melaksanakan pendidikan khususnya Pendidikan Agama Islam
adalah wajib. Sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taubah
ayat 122, sebagai berikut :
Artinya: “Tidak sepantasnya bagi
orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. [70]
Dari ayat tersebut, Nabi menjelaskan dalam haditsnya :
Artinya: Khumaid Bin Abdirrahman
berkata: saya mendengar muawiyah sedang berkhutbah dia berkata:
saya mendengar Nabi SAW bersabda: “barang siapa dikehendaki Allah
untuk diberi kebaikan, maka orang itu diberi kepahaman dalam ilmu
agama.[71]
2) Tujuan Pendidikan Agama Islam
Sumber perumusan tujuan pendidikan di Indonesia
tidak lepas dari tujuan Negara. Seperti di ketahui bahwa salah
satu tujuan didirikannya Negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Hal ini tersurat dan tersirat dalam pembukaan UUD
1945 alinea ke-4.
Ada beberapa rumusan yang dikemukakan para ahli, berkaitan dengan tujuan pendidikan Islam, diantaranya :
1) Zuhairini
Tujuan Pendidikan Agama Islam adalah
“membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh,
beramal sholeh dan berakhlak mulia serta berguns bagi masyarakat, agama
dan Negara”.[72]
2) Muhammad ‘Athiyyah al-Ibrasyi
Tujuan Pendidikan Agama Islam yaitu “membentuk moral yang tinggi serta akhlak yang mulia”.[73]
3) H. M. Arifin
Tujuan Pendidikan Agama Islam adalah
“realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi
bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin, di
dunia dan akherat”.[74]
Dari beberapa pendapat di atas, maka
dapat diperoleh suatu kejelasan pengertian bahwa tujuan Pendidikan Agama
Islam adalah membentuk akhlak yang mulia serta berguna bagi masyarakat,
agama dan Negara.
- 3. Pengertian Penguasaan PAI
Untuk lebih memperjelas maksud dari penguasaan, berikut ini dikemukakan pendapat yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu :
1) Burhan Nurgiantoro
Penguasaan adalah “tingkatan yang
diharapkan dapat dicapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan belajar
yang telah dianalisis dan dipersiapkan dengan matang”.[75]
2) Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati
Penguasaan adalah “pencapaian taraf
penguasaan minimal yang ditetapkan untuk setiap unit bahan pelajaran
baik secara perorangan maupun kelompok, sehingga apa yang dipelajari
siswa dapat dikuasai sepenuhnya”.[76]
3) Muhammad Zein
Penguasaan adalah “ketentuan belajar
secara kelompok yang telah mencapai sekurang-kurangnya 85 % dari jumlah
siswa dalam kelompok yang bersangkutan telah memenuhi criteria
ketuntasan belajar secara perorangan”.[77]
4) Cece Wijaya
Penguasaan merupakan “proses belajar yang
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, minat dan sikap belajar siswa
yang positif terhadap materi pelajaran yang sedang dipelajari”.[78]
5) Henry Ehless
“The mastery student were brought to high levels of achievement on the prerequisites for each new learning task”.[79]
Penguasaan yang telah dicapai oleh siswa telah membawa ketingkat
prestasi lebih tinggi sebagai prasarat untuk menempuh tugas pembelajaran
yang baru.
Dari beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa penguasaan tidak akan lepas dari proses belajar. Oleh
karena itu penguasaan merupakan hasil yang dicapai oleh siswa setelah
melakukan proses belajar. Sedangkan hasil belajar itu sendiri akan
selalu terlihat dan dinyatakan serta diwujudkan dalam bentuk perubahan
tingkah laku.
Jadi yang dimaksud penguasaan Pendidikan
Agama Islam adalah hasil yang dicapai siswa setelah melakukan proses
belajar dalam bidang pelajaran Pendidikan Agama Islam.
- 4. Penguasaan PAI Kaitannya dengan Masteri Learning
Untuk menjelaskan Masteri Learning, penulis mengambil pendapat dari dua tokoh, yaitu :
1) Zuhairini
Mastery Learning adalah “suatu sistem belajar yang mengharapkan siswa dapat menguasai tujuan instruksional umum (basic learning obyectives) dari suatu satuan atau unit pelajaran secara tuntas”.[80]
2) Nasution
Mastery Learning adalah “penguasaan penuh terhadap bahan yang dipelajari sebagai tujuan proses belajar mengajar”.[81]
Dari dua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Mastery Learning merupakan
istilah yang digunakan untuk menjelaskan penguasaan pelajaran. Jadi tak
ada perbedaan antara keduanya, sehingga apabila membicarakan tentang
penguasaan. Pendidikan Agama Islam maka sama juga membicarakan mastery learning.
- 5. Bentuk-bentuk Penguasaan PAI
Pendidikan di sekolah merupakan
kesempatan yang sangat baik untuk membina anak setelah lingkungan
keluarga, pendidikan agama merupakan dasar bagi pembinaan sikap dan jiwa
agama pada anak. Apabila guru agama di sekolah mampu membina sikap
positif siswa terhadap agama dan berhasil dalam membentuk pribadi akhlak
siswa, maka untuk mengembangkan sikap tersebut pada masa selanjutnya
akan lebih mudah. Untuk itu perlu disusun suatu kurikulum pendidikan
agama untuk Sekolah Dasar yang sesuai dengan tingkat kejiwaan siswa
untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Adapun tujuan Pendidikan Agama di Sekolah Dasar adalah sebagai berikut :
1) Menanam dan menumbuhkan keimanan dalam jiwa murid-murid, tentang hal-hal berikut:
(a) Beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, dan Hari Akherat.
(b) Beriman tentang keadilan Allah dalam memberi pahala dan siksa.
2) Meningkatkan kepercayaan anak kepada al-Qur’an dan menggairahkan membaca serta menghafalnya.
3) Memperkenalkan kepada murid-murid, Nabi Muhammad Saw., Nabi-nabi dan Rasul-rasul serta ummat Islam umumnya.
4) Menjelaskan kepada murid-murid pentingnya mempelajari al-Qur’an dan Hadits.
5) Memperkenalkan pada murid-murid cara-cara beribadat dan menyediakan fasilitas-fasilitas untuk memungkinkan pelaksanaannya.
6) Memperkenalkan pada murid-murid tata pergaulan Islam
7) Memperkenalkan pada murid-murid hukum-hukum agama.[82]
Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) ruang lingkup Pendidikan Agama Islam(PAI) mencakup usaha untuk menjadikan:
1) Peserta didik dapat beribadah dengan baik dan benar.
2) Peserta didik dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, dan;
3) Peserta didik membiasakan diri melaksanakan akhlaqul karimah.[83]
- 6. Cakupan Materi Pendidikan Agama Islam
a) Memiliki pengetahuan Fungsional Dasar Agama
- Memiliki pengetahuan dasar tentang rukun iman secara mujmal.
- Memiliki pengetahuan dasar tentang iman kepada Allah dan sifat-sifatnya (Maha Esa, Pengasih, Penyayang, Mengetahui, Kuasa, Berkehendak, Pencipta, Pemberi Rezki, Mendengar, Penyelamat, Melihat, Berbicara, Besar, Kaya, Terdahulu, Kekal, Berdiri sendiri, Perkasa, Mulia dan Maha Tinggi).
- Memiliki pengetahuan dasar tentang sepuluh Malaikat dan tugasnya (Jibril, Mikail, Munkar, Nakir, Malik, Ridwan, Rakib, Atid, Israfil dan Izrail).
- Memiliki pengetahuan dasar tentang Rasul Allah dan kitabkitabnya.
- Memiliki pengetahuan dasar tentang hari akhir.
- Memiliki pengetahuan dasar tentang Qodho dan Qodhar.
- Memiliki pengetahuan dasar tentang Rukun Islam secara Mujmal (mengucapkan dua kalimat Syahadat, mengerjakan Shalat, menunaikan zakat, mengejarkan puasa Ramadhan, menunaikan Haji).
- Memiliki pengetahuan dasar tentang cara membaca Al-Qur’an tingkat awal.
- Memiliki pengetahuan dasar tentang akhlak (adab bekerja, adab terhadap ibu bapak, adab pergaulan, adab silaturrahmi, adab berpakaian, bepergian, syukur nikmat.
b) Menyakini ajaran agamanya dan menghormati orang lain beragama;
- Beriman dengan benar.
- Beribadah dengan baik dan benar.
- Berakhlak mulia
- Beramal saleh
- Mensyukuri nikmat Allah, dengan memelihara dan mengembangkannya
- Menghormati orang lain berlainan Agama.
c) Senang beribadah meliputi;
- Menunaikan shalat lima waktu dengan benar dan tertib
- Menunaikan shalat Jum’at dengan baik dan tertib
- Senang melakukan shalat berjamaah
- Senang melakukan sunah (Tarwih, Rawatib, Tahiyatul Masjid dan lainnya).
- Menunaikan ibadah puasa pada bulan Ramadhan sesuai dengan syarat rukun yang telah ditentukan.
d) Berbudi pekerti luhur meliputi;
- Senang bertukar bahasa dan berbuat baik terhadap orang lain (keluarga, tetangga dan teman)
- berbakti terhadap ibu bapak (mendo ’akan, membantu, menghormati, menjaga nama baik dan sebagainya).
- Senang kepada kebersihan (badan, pakaian, tempat ibadah, tempat tinggal atau lingkungan).
- Senang memelihara lingkungan hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan lainnya.
- Mematuhi peraturan yang berlaku (lalu lintas, tata tertib sekolah, lingkungan dan sebagainya).
- Senang mengucapkan kalimat-kalimat Toyyibah sesuai dengan penggunaannya (bekerja, makan, minum, menerima nikmat, musibah dan sebagainya)
- Senang melakukan kebiasaan yang baik dalam kehidupan sehari-hari di lingkunganya (bertamu, menerima tamu,
- berpakaian dan kesederhanaan).
- Menghormati identitas kebangsaan bangsa dan Negara RI (bendera, lambing Negara, lagu kebangsaan dan bahasa).
e) Mampu membaca kitab sucinya dan dapat memahaminya;
- Senang membaca al-Qur’an (sehabis shalat Magrib, malam jum’at dalam keadaan gelisah dan saat tertentu yang berguna)
- Hafal surat pendek antara lain; Al-Fatihah, Al-Asr, Al-Ikhlas, An-Nas, Al-Kautsar, An-Nasr, Al-Falaq, Al-Maun, Al-Fiil, Al-Kafirun, Al-Lahb, Al-Quraisy, Al-Qadr.
- Dapat menulis ayat-ayat tersebut pada nomor dua.
f) Giat bekerja, rajin belajar dan gemar berbuat baik
- Senang mengerjakan perbuatan yang baik tanpa diperintah orang lain, berprestasi dan berguna.
- belajar dengan tertib tanpa perintah dan berusaha mencapai hasil yang baik atau berprestasi.
- Senang membantu, mengunjungi dan mendo’akan temannya yang kena musibah.
- Senang menyantuni yatim piatu, fakir miskin dan orang lemah (teman atau panti asuhan)
- Ikut serta memelihara tempat ibadah dan lingkungan hidup, sekolah dan tempat tinggalnya.
g) Mampu mensyukuri nikmat Allah SWT.
- Senang memelihara kebersihan, kesehatan jasmani dan rohani,
- Mampu memelihara dan menggunakan milik pribadi dan bersama dengan hemat dan berguna.
- Mampu menggunakan ilmu dan ketrampilan yang dimiliki untuk kebaikan.
- Senang memelihara dan menggunakan dengan baik milik bersamaa atau untuk kepentingan umum (telepon umum, tanda lalu lintas, nama jalan, jembatan dan sebagainya).
h) Mampu menciptakan suasana rukun hidup beragama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
- Tidak mengganggup orang lain beribadah.
- Tidak mengganggu dan merusak tempat ibadah
- Mampu bergaul dalam kehidupan sehari-hari dengan orang yang berbeda agama, namun tetap menghormati keyakinan agama masing-masing.
- Mampu bergaul dengan orang yang berbeda agama dalam kehidupan bermasyarakat bangsa dan bernegara.
- 7. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penguasaan PAI
Penguasaan Pendidikan Agama Islam (PAI)
merupakan hasil dari sebuah proses belajar. Sebagai suatu proses, tentu
ada berbagai faktor yang berpengaruh dan terlibat di dalamnya. Menurut
Muhaimin, faktor yang mempengaruhi pembelajaran Pendidikan Agama Islam
adalah :
- Kondisi pembelajaran agama Islam, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan metode dalam meningkatkan hasil pembelajaran PAI. Faktor kondisi ini berinteraksi dengan pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode pembelajaran PAI.
- Metode pembelajaran Pendidikan Agama Islam, yaitu sebagai caracara tertentu yang paling cocok untuk dapat digunakan dalam mencapai hasil-hasil pembelajaran PAI yang berada dalam kondisi pembelajaran tertentu.
- Hasil pembelajaran agama Islam, yaitu mencakup semua akibat yang dapat dijadikan indikator tentang nilai dari penggunaan metode pembelajaran PAI di bawah kondisi pembelajaran yang berbeda.[84]
Sedangkan Ngalim Purwanto membedakan faktor yang mempengaruhi belajar menjadi dua golongan, yaitu :
- Faktor yang ada pada diri orang itu sendiri yang disebut juga dengan faktor individu, meliputi : Faktor kematangan/ pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi dan faktor pribadi.
- Faktor yang ada di luar individu yang disebut faktor social, meliputi : Faktor keluarga atau keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang dipergunakan dalam mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia dan motivasi sosial.[85]
Kemudian menurut Muhibbin Syah, faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
- Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan yang muncul dari dalam siswa sendiri yang meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa, antara lain :
a) Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/intelegensi siswa.
b) Yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap.
c) Yang bersifat psikomotor (ranah
karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat indera penglihat dan
pendengar (mata dan telinga).
- Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa yang meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitarnya yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa, antara lain :
a) Lingkungan keluarga
b) Lingkungan perkampungan/masyarakat, dan;
c) Lingkungan sekolah.[86]
Dari tiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi proses belajar mengajar adalah sebagai berikut :
1) Faktor Intern
a) Kondisi fisik, kesehatan jasmani
b) Kondisi psikis, meliputi: Bakat, minat, kecerdasan, motivasi dan kecakapan atau kemampuan kognitif.
2) Faktor Ekstern
a) Guru/Pengajar sebagai Pembina siswa belajar
b) Sarana dan prasarana pembelajaran
c) Lingkungan social siswa di sekolah
d) Kurikulum sekolah.
- D. Metode Bermain Konstruktif dalam Belajar dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Keagamaan Anak.
Bermain memberi pengaruh yang sangat
besar bagi perkembangan diri anak, baik secara fisik maupun mental.
Beberapa pengaruh bermain bagi perkembangan anak adalah sebagaimana yang
dijelaskan oleh Hurlock sebagai berikut:
- Perkembangan fisik.
Bermain berguna untuk mengembangkan otot
dan melatih seluruh bagian tubuh. Bermain juga berfungsi untuk
menyalurkan tenaga yang berlebihan yang bila dibiarkan dapat mengganggu
kesehatan fisik dan mental anak.
- Dorongan berkomunikasi.
Melalui aktivitas bermain, anak terdorong
untuk berbicara dan berkomunikasi dengan teman lain. Dan tanpa disadari
anak belajar mengungkapkan pikiran dan perasaannya pada orang lain,
serta belajar memahami pembicaraan orang lain.
- Penyaluran energi emosional yang terpendam
Bermain merupakan sarana bagi anak untuk
menyalurkan berbagai ketegangan yang disebabkan oleh pembatasan
lingkungan terhadap perilaku mereka. Dengan demikian bermain merupakan
terapi cepat dan murah bagi pengembalian kondisi psikis anak yang
terganggu.
- Penyaluran bagi kebutuhan dan keinginan yang tidak terpenuhi
Tidak semua kebutuhan dan keinginan anak
dapat terpenuhi. Keinginan yang tidak terpenuhi dalam dunia riil dapat
dikompensasikan melalui kegiatan bermain.
- Sumber belajar
Melalui kegiatan bermain, anak belajar berbagai hal, baik bersifat fisik maupun pengembangan mental.
- Rangsangan kreatifitas
Dalam bermain, anak bebas memilih dan bebas berekplorasi. Maka bermain dapat mengembangkan kreatifitas anak sedemikian rupa.
- Perkembangan wawasan diri
Dengan bermain anak mengetahui tingkat
kemampuannya dibandingkan dengan temannya bermain. Ini memungkinkan
mereka untuk mengembangkan konsep dirinya dengan lebih pasti dan nyata.
- Belajar bersosialisasi dan bermasyarakat
Semakin tambah usia, anak akan cenderung
bermain semakin banyak teman, dengan demikian secara otomatis anak akan
belajar bersosialisasi dan berinteraksi.
- Belajar standart moral
Melalui kegiatan bermain, anak belajar hal-hal yang dapat diterima oleh lingkungan, dan hal-hal yang ditolak.
10. Belajar bermain sesuai dengan peran jenis kelamin
Anak belajar di rumah dan di sekolah
mengenai apa saja peran jenis kelamin yang disetujui. Akan tetapi,
mereka segera menyadari bahwa mereka juga harus menerimanya bila ingin
menjadi anggota kelompok bermain.
11. Perkembangan ciri keperibadian yang diinginkan
Secara pelan dan pasti keperibadian anak akan terbentuk melalui kegiatan bermain.[87]
Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat ditegaskan pengaruh dari kegiatan bermain yaitu: Secara fisik,Mengembangkan kemampuan otot dan kesehatan tubuh, Secara psikis, Mengembangkan berbagai aspek keperibadian dan sikap mental.[88]
- E. Pendekatan dan Strategi Pengembangan Kreativitas Anak Melalui Bermain Konstruktif
Allah telah menciptakan semua makhluknya berdasarkan fitrahnya. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT. :
Artinya: “Tetaplah atas fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada ciptaan Allah”. (QS. Ar-Ruum ayat 30).[89]
Merujuk pada ayat di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya membawa potensi beragama
yang lurus, dalam konteks ayat ini berarti bahwa fitrah keagamaan akan
melekat pada diri manusia untuk selamanya, walaupun tidak diakui atau
diabaikannya.[90]
Meskipun pada dasarnya fitrah manusia beriman, namun ia mempunyai dua
potensi yang merupakan perwujudan dari fitrah manusia yakni potensi baik
dan buruk sebagaimana disebutkan dalam surat al-Syams ayat: 8.[91]
Perwujudan dari fitrah manusia berupa
potensi baik dan buruk. Kedua potensi tersebut akan berkembang sesuai
dengan perkembangan dirinya. Pengembangan secara maksimal potensi yang
baik dan mengeliminir potensi yang buruk adalah tugas dan tanggung jawab
pendidikan.
Manusia dilahirkan dengan membawa potensi yang dapat dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah fi al-a rdh yang
dapat memakmurkan bumi dan melestarikannya dan lebih jauh lagi,
mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya, sesuai dengan tujuan
penciptaannya. Sebagaimana Firman Allah SWT:
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhan berfirman
kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi” (QS. Al-Baqarah : 30).[92]
Dalam surat lain, Allah SWT. berfirman:
Artinya: “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi”. (QS. Al-An`am : 165).[93]
Fitrah manusia tidak terbatas pada fitrah
keagamaan saja, tetapi juga fitrah jasadiah dan fitrah akliah
sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad bin ‘Asyur sebagaimana dikutip
Quraish Shihab menyatakan bahwa:
“Fitrah adalah bentuk sistem yang
diwujudkan Allah SWT. pada setiap makhluk. Fitrah yang diwujudkan pada
manusia adalah apa yang diciptakan Allah SWT pada manusia yang berkaitan
dengan jasmani da akalnya (serta ruhnya).”[94]
Jadi, fitrah inilah (jasadiah dan akliah)
di antaranya kreativitas memiliki kemungkinan berkembang dan meningkat
dengan upaya-upaya pengembangan serta lingkungan yang mendukung melalui
pendidikan, baik formal maupun nonformal. Pengembangan kreativitas
peserta didik seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari setiap
tujuan mata pelajaran yang diberikan di sekolah, membekali siswa dengan
kreativitas, berarti memberi mereka peralatan yang diperlukan untuk
hidup dan berkembang yang tidak hanya pada masa kini, tetapi juga untuk
masa yang akan datang.
Hal ini dimaksudkan, bahwa pendidikan
seharusnya membuat anak mampu memahami dan menghayati materi yang
diberikan bukan sekedar hafal kata-kata guru atau hafal isi diktat dan
ketika menjawab pertanyaan sama persis dengan kata guru atau diktat,
namun minimalnya siswa mampu mencerna maksud dan dapat mengekspresikan
idenya tanpa mengurangi esensi dari makna pertanyaan. Oleh karena itu,
berfikir kritis dan divergen perlu dibiasakan sejak dini. Siswa akan
dianggap hebat jika mereka mampu berfikir kritis dan kreatif, terlebih
jika mereka sudah mampu menciptakan sesuatu yang dapat disebut dengan
hasil inovasinya. Hanya pertumbuhan dan perkembangan kreativitas, kritis
dan inovasi bagi siswa inilah yang akan sanggup mengantarkan mereka ke
kancah persaingan bebas dalam era globalisasi.[95]
Namun dunia pendidikan kita selama ini terlanjur tertata dalam pola dan model yang serba seragam, sarwatunggal, serba satu dan dikuatkan pula dengan pendekatan sentralistik yang mengkibatkan matinya kreativitas, baik siswa maupun guru.
Fenomena yang demikian perlu disikapi
dengan merekonstruksi semua aspek yang terkait guna pengembangan
kreativitas melalui pendidikan yang humanistik dan direalisasikan lewat
penerapan cara-cara baru yang dapat membentuk pribadi yang kritis,
inovatif dan kreatif, sehingga siswa bisa survive di masa yang akan datang.
Berbicara mengenai sekolah sebagai salah
satu institusi pendidikan formal, maka tidak terlepas dari kurikulum.
Untuk itu, perlu adanya strategi khusus yang diterapkan dalam rangka
pengembangan kreativitas anak dengan tetap menjadikan kurikulum sebagai
standar minimal dalam pencapaian tujuan pembelajaran.
- Pendekatan dalam Pengembangan Kreativitas Anak
Ada dua pendekatan yang dapat diterapkan dalam proses pengembangan kreativitas yaitu :
- Pendekatan Humanistik
Pendekatan ini mengacu pada teori yang
dikemukakan oleh Maslow (1908–1970) yang menyatakan bahwa manusia
mempunyai naluri-naluri dasar yang menjadi nyata sebagai kebutuhan.
Kebutuhan harus dipenuhi dalam urutan hierarki tertentu[96]
dari mulai kebutuhan tingkat rendah kepada kebutuhan tingkat tinggi
(aktualisasi diri dan estetik). Dalam hal ini, proses perwujudan diri (self realization) erat kaitannya dengan kreativitas. Maslow menyatakan bahwa semua orang yang mengaktualisasikan diri (self actualizers) adalah kreatif, baik secara arstistik maupun ilmiah dia percaya banyak cara menyelesaikan masalah.[97]
Dengan demikian, kreativitas akan berkembang seumur hidup karena
manusia akan selalu memenuhi kebutuhannya dengan berperilaku dan
berfikir kreatif.
Kaitan kreativitas dengan proses
pembelajaran di sekolah merupakan salah satu sarana bagi anak didik
untuk mengaktulisasikan diri sesuai dengan potensinya. Sehingga dengan
pendekatan ini kreativitas anak dapat dirangsang sedemikian rupa,
sehingga bisa tumbuh secara manusiawi.
Adapun manfaat dari pedekatan ini adalah:
a) Guna menumbuhkan motivasi
intrinsik anak karena dengan adanya kesadaran dalam diri akan mendorong
pengembangan kreativitasnya.
b) Menanamkan sifat optimis pada diri anak bahwa ia dapat berkreasi b. Pendekatan Konstruktivistik
Tokoh pendekatan ini antara lain Wilson,
Duffy, Knuth. Pendekatan ini menekankan, bahwa pengetahuan harus
dibangun sendiri oleh anak didik berdasarkan pada pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya.[98]
Kreativitas akan meningkat dengan adanya
keragaman pengalaman dan pengetahuan, maka memperluas pengalaman dengan
keterlibatan multimodalitas, pengakuan akan kemanfaatan yang lebih luas
dari kecerdasan ganda dan penerapan gaya belajar dapat menambah
kemungkinan timbulnya solusi baru bagi permasalahan dan produk
pemikiran.[99]
Misi utama dari pendekatan ini adalah
membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya melalui proses
pembelajaran secara mandiri, sedangkan manfaat dari pendekatan ini
adalah:
a) Untuk menumbuhkan keaktifan dan sifat mandiri pada diri siswa.
b) Untuk menciptakan hubungan yang interaktif antara guru dan siswa.
- Strategi dalam pengembangan kreativitas anak
Dalam pengembangan kreativitas dibutuhkan
strategi tertentu dan lingkungan yang mendukung. Sehubungan dengan hal
itu, maka perlu ditinjau kembali empat aspek kreativitas, yakni:
pribadi, pendorong, proses dan produk atau lebih dikenal dengan
“strategi 4P”.
- Pribadi
Kreativitas merupakan ekspresi dari
keunikan individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ungkapan
kreatif inilah yang mencerminkan orisinalitas dari individu, dari
ungkapan pribadi inilah diharapkan timbul ide-ide baru dan produk-produk
yang inovatif. Sebagai seorang guru / pendidik hendaknya dapat
menghargai dan membantu menemukan dan mengembangkan bakat tersebut.[100]
Dan menerima anak sebagaimana adanya, tanpa syarat dan tuntutan apapun
dan memberikan kepercayaan padanya bahwa pada dasarnya ia mampu dan
baik.
Menurut Conny Semiawan ciri-ciri dari pribadi yang kreatif adalah sebagai berikut:
- Mempunyai daya imajinasi yang kuat
- Mempunyai inisiatif
- Mempunyai minat yang luas
- Bebas dalam berfikir (tidak kaku dan terhambat)
- Bersifat ingin tahu
- Selalu ingin mendapat pengalaman-pengalaman baru
- Percaya pada diri sendiri
- Penuh semangat (energetic)
- Berani mengambil risiko
- Berani dalam pendapat dan keyakinan (tidak ragu-ragu dalam menyatakan pendapat meskipun mendapat kritik dan berani mempertahankan pendapat yang menjadi keyakinannya).[101]
Agar perilaku kreatif dapat terwujud dan
kreativitasnya berkembang, maka ciri-ciri tersebut hendaknya mendapat
perhatian lebih dalam pembinaan anak didik.
- Pendorong (Press)
Dalam mewujudkan dan mengembangkan bakat
kreatif anak diperlukan dorongan (motivasi), baik dari dalam diri
(motivasi internal) maupun dari lingkungan sekitar yang berupa suasana
kondusif, apresiasi, pujian dan lain sebagainya (motivasi eksternal).[102]
Kedua motivasi tersebut sama-sama
diperlukan. Oleh karena itu, pendidik harus berupaya memupuk dan
meningkatkan dorongan eksternal dan internal anak. Akan tetapi perlu
diwaspadai jangan sampai dorongan eksternal yang berlebihan atau tidak
pada tempatnya akan melemahkan dorongan internal dalam diri anak, sebab
bagaimanapun juga motivasi dari dalam diri sendiri memiliki peran
penting dalam mengembangkan kreativitas diri, dan lingkungan hanya
sebagai fasilitator dalam pengembangan kreativitas tersebut.
Kondisi lingkungan yang dapat memupuk
kreativitas konstruktif adalah di mana anak merasa aman dan bebas untuk
mengungkapkan dan mewujudkan diri. Menurut Utami Munandar bahwa rasa
aman ini dapat tercipta jika pendidik memenuhi syarat berikut:
- Dapat menerima anak didik sebagaimana adanya dengan segala kekuatan dan kelemahannya dan tetap menghargainya.
- Dapat memahami anak didik dan memberikan pengertian dengan mencoba menempatkan diri dalam situasi anak dan melihat dari sudut pandang anak.
- Tidak memberikan nilai terlalu cepat terhadap anak didik. Dalam situasi sekolah memang pemberian nilai tidak dapat dihindari namun dapat diusahakan agar pemberian nilai bukan merupakan ancaman, karena ancaman akan menimbulkan sikap atau keinginan mempertahankan diri.[103]
Berbeda dengan hal di atas, sekarang
banyak orang tua bahkan para pendidik masih memprioritaskan pencapaian
prestasi akademik, anak dikatakan sukses (berhasil) jika mampu
mendapatkan nilai yang tinggi dan meraih peringkat (ranking) teratas di
kelasnya, meskipun ada sebagian pendidik menyadari betapa pentingnya
kreativitas, agar anak tetap “survive” di masa mendatang. Namun
permasalahannya adalah dengan adanya kurikulum yang ketat dan kelas
dengan jumlah murid yang banyak, maka tidak ada waktu untuk pengembangan
kreativitas. Untuk itu hendaknya, diantisipasi sejak dini supaya
pengembangan kreativitas tetap mendapat tempat yang proporsional dengan
perencanaan pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan kreativitas
serta penciptaan lingkungan belajar yang nyaman dan menunjang.
Penciptaan lingkungan yang aman dan bebas telah diajarkan oleh Islam sebagaimana sabda Rasul:
Artinya: “Dari Anas ibn Malik ra. dari
Nabi saw. bersabda: “Permudahlah mereka dan jangan kamu persulit, dan
gembirakanlah mereka dan janganlah berbuat yang menyebabkan mereka lari
darimu”. (HR. Bukhari)[104]
Dari hadits di atas, jelas bahwa
Rasulullah mengajarkan agar seorang guru menciptakan suasana gembira dan
mempermudah anak dalam belajar mengajar sehingga anak bisa merasakan
pembelajaran yang menyenangkan dan dapat mengembangkan dirinya.
- Proses
Untuk mengembangkan kreativitas, anak
perlu diberi kesempatan untuk kreatif. Pendidik hendaknya dapat
memberikan rangsangan pada anak untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan
kreatif, dan pendidik hanya sebagai mediator yang menyediakan sarana
prasarana yang diperlukan anak diberi kebebasan untuk berekspresi baik
melalui tulisan, gambar, dan sebagainya. Dan pendidik jangan terlalu
cepat menuntut hasilnya, sehingga membatasi.
Melihat kenyataan di atas, variasi
kegiatan yang kreatif sangat besar perannya dalam menunjang pengembangan
kreativitas dan untuk menghindari rasa bosan pada diri anak, sehingga
anak menjadi lebih bersemangat. Dalam berfikir kreatif (kegiatan
kreatif) melalui sebuah proses, semakin proses tersebut semakin tinggi
mutunya. Ada empat tahapan proses berfikir kreatif sebagaimana
diungkapkan oleh Wallas:
- Tahap persiapan (preparation) merupakan tahap awal berupa pengenalan masalah, pengumpulan data-informasi yang relevan, melihat hubungan antara hipotesis dengan kaidah-kaidah yang ada tetapi belum sampai menemukan sesuatu baru menjajagi kemungkinan-kemungkinan.
- Tahap pematangan (incubation) merupakan tahap menjelaskan membatasi, membandingkan masalah dengan proses inkubasi atau pematangan ini diharapkan ada pemisahan mana hal-hal yang benar-benar penting dan mana yang tidak, mana yang relevan dan mana yang tidak.
- Tahap pemahaman (illumination) merupakan tahap pencarian dan menemukan kunci pemecahan, menghimpun informasi dari luar untuk dianalisis dan disintesiskan, kemudian merumuskan beberapa keputusan.
- Tahap pengetesan (verification) merupakan tahap mentes dan membuktikan hipotesis, apakah keputusan yang diambil tepat atau tidak.[105]
Kreativitas sebagai proses mental yang
unik yang dapat menghasilkan sesuatu yang baru berbeda dan orisinil
mencakup jenis pemikiran spesifik yang oleh Guilford disebut divergent thinking, yaitu
proses berfikir yang melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang
atau menguraikan suatu masalah atas beberapa kemngkinan pemecahan.
Karakteristik pemikirankreatif tersebut
menurut Guilford berkaitan erat dengan lima ciri yang menjadi sifat
kemampuan berfikir, yaitu:
- Kelancaran (fluency), yaitu kemampuan memproduksi banyak gagasan.
- Keluwesan (flexibility), yaitu kemampuan untuk mengajukan berbagai pendekatan atau jalan pemecahan masalah.
- Keaslian (orisinility), yaitu kemampuan untuk melahirkan gagasangagasan asli sebagai hasil pemikiran sendiri.
- Penguraian (elaborasi), yaitu kemampuan memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan dan menguraikannya secara terperinci.
- Perumusan kembali (redefinition), yaitu kemampuan untuk mengkaji suatu persoalan melalui cara dan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah lazim sehingga dapat mengambil keputusan sesuai situasi yang dihadapinya.[106]
Untuk itu pengembangan kreativitas tidak
dapat dilakukan dengan kegiatan belajar yang bersifat ekspositori
melainkan dengan kegiatan belajar discovery / inquiry. Dengan
demikian, pendidik hendaknya menciptakan suasana belajar yang lebih
banyak memberikan kesempatan untuk berfikir kreatif, mengembangkan
gagasan atau konsep-konsep siswa sendiri dan melakukan berbagai
percobaan. Keadaan demikian inilah, menuntut pula sikap yang lebih
demokratis, terbuka, bersahabat dan percaya terhadap siswa.
- Produk
Keadaan yang memungkinkan seseorang untuk
menciptakan produk-produk kreatif dan bermanfaat adalah kondisi pribadi
dan lingkungan. Sejauhmana kedua aspek tersebut, mendorong seseorang
untuk melibatkan diri dalam proses kegiatan kreatif.
Dengan dimilikinya bakat dan ciri-ciri
pribadi kreatif oleh anak dan dengan dorongan (internal maupun
eksternal) untuk bersibuk diri secara kreatif, maka produk-produk
kreatif yang bermakna dengan sendirinya akan timbul. Sebagai pendidik
hendaknya menghargai produk kreativitas anak dan mengkomunikasikannya
dengan orang lain, sehingga anak akan lebih termotivasi.
Dengan memperhatikan 4P (person, press, process, product) dan
menyikapinya dengan bijaksana diharapkan kreativitas anak dapat
dikembangkan secara optimal, karena itu merupakan salah satu indikator
keberhasilan pendidikan yang mampu melaksanakan salah satu tugasnya,
yaitu menciptakan orang-orang yang mampu melakukan sesuatu yang baru,
tidak hanya mengulang apa yang telah dikerjakan oleh generasi
sebelumnya. Mereka adalah orang-orang yang kreatif, menemukan sesuatu
yang belum pernah ada atau mengkombinasikan sesuatu yang sudah ada
menjadi hal yang baru. Hal ini dinyatakan oleh Piaget bahwa:
“The principal goal of education is
to create men who are capable of doing new things, not simply of
repeating what other generations have done, men who are creative,
inventive, and discoverers”.[107]
Pembahasan tentang kreativitas sering
kali diidentikan dengan intelegensi (kecerdasan) kreatif, namun tidak
demikian kenyataannya, banyak anak yang pandai dan mencapai keberhasilan
akademik tetapi hanya sedikit yang dapat menunjukkan cara berfikir
kreatif yang tidak sekedar “memberikan yang diinginkan guru”. Antara
kreativitas dan intelegensi memang terdapat perbedaan jika mengacu pada
teori Guilford tentang “structure of intellect”. Intelegensi
lebih mengarah pada cara berfikir konvergen, yaitu berfikir memusat
dengan penekanan pada jawaban tunggal yang paling tepat. Sedangkan
kreativitas lebih berkenaan dengan cara berfikir divergen (menyebar),
maksudnya proses berfikir menyebar dengan penekanan pada segi keragaman
jumlah dan kesesuaian.[108]
Sejauh ini, beberapa penelitian yang
dilakukan menunjukkan adanya keterkaitan antara kreativitas dan
intelegensi sampai pada tingkat tertentu. Hubungan ini merupakan suatu
keharusan karena kreativitas tidak dapat berfungsi dalam kekosongan,
artinya kreativitas membutuhkan “pengetahuan” yang diterima sebelumnya
dan ini tergantung pada kemampuan intelektual seseorang. Seseorang tidak
akan mampu berkreasi pada bidang yang ia tidak tahu sama sekali.
Namun kreativitas tidak hanya di bidang
ilmu dan seni, penyelesaian masalah atau penemuan cara baru dalam
menghadapi segala persoalan termasuk kreativitas.[109]
Berdasarkan hasil studi Betzels dan
Jackson mengemukakan bahwa tidak ada hubungan antara kreativitas dan
intelegensi. Jadi orang yang mempunyai IQ yang tinggi mungkin
kreativitasnya randah atau sebaliknya. Hal itu menunjukkan bahwa
kreativitas dan inteligensi adalah dua ranah kemampuan manusia yang
berbeda dalam sifat dan orientasinya.
Terlepas dari persoalan cerdas dan
kreatif, dalam pengembangan keativitas ada tiga faktor yang harus
diperhatikan sebagaimana dikemukakan oleh Devis sebagaimana dikutip oleh
Slameto, yaitu:[110]
a) Sikap individu
Mencakup tujuan untuk menemukan gagasan
“serta produk”. Dalam pemecahan baru. Untuk tujuan ini ada hal-hal yang
perlu diperhatikan :
- Pemberian perhatian khusus bagi pengembangan kepercayaan diri anak didik sebagai seorang guru harus mampu menanamkan rasa kepercayaan diri anak didik sedini mungkin agar pengembangan gagasan, produk-produk dan pemecahan masalah dapat terwujud. Dengan rasa percaya diri anak didik akan merasa aman secara psikologis, sehingga ia dapat memecahkan masalah kreatif.
- Membangkitkan rasa ingin tahu anak didik, karena rasa ingin tahu merupakan titik pangkal bagi anak untuk berkreasi.
b) Kemampun dasar yang diperlukan
Meliputi berbagai kemampuan berfikir konvergen dan divergen.
c) Tehnik-tehnik yang digunakan dalam pengembangan kreativitas anak:
- Melakukan tehnik “inquiry” (pencaritahuan). Dengan tehnik ini memungkinkan siswa menggunakan semua proses mental untuk menemukan konsep atau prinsip ilmiah.
- Menggunakan tehnik “brainstorming” (sumbang saran). Dengan ini anak didik dapat mengemukakan ide-idenya dengan bebas dan tetap terbuka menerima gagasan orang lain.
- Memberikan penghargaan bagi prestasi kreatif. Dengan diterimanya penghargaan oleh anak didik akan mempengaruhi konsep diri siswa yang positif.
- Meningkatkan pemikiran kreatif melalui banyak media. Penyajian bahan pembelajaran perlu dikemas semenarik mungkin dengan didukung penggunaan media yang representatif untuk merangsang kemampuan berfikir kritis dari kreatif.
- F. Manajemen Kelas yang Berorientasi pada Pengembangan Kreativitas Anak Sekolah Dasar
Kelas merupakan bagian atau unit sekolah
terkecil dan sebagai wahana paling dominan bagi terselenggaranya proses
belajar mengajar. Kedudukan kelas yang begitu penting mengisyaratkan
bahwa tenaga kependidikan, terutama guru haruslah profesional dalam
mengelola kelas. Karena gurulah yang bersentuhan langsung dengan siswa,
maka ia harus memiliki kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan
proses belajar mengajar guru harus mampu me-manage kelas dengan
baik dan memahami bahwa kelas adalah ujung tombak dan basis proses
pendidikan, sehingga terciptalah pembelajaran yang efektif dan efisien.
Pada hakikatnya konsep dari manajemen itu
bersifat netral dan universal. Karakteristik tugas pokok dan fungsi
institusi lembagalah yang membuat replika manajemen menjadi berbeda,
maka dari itu konsep manajemen dapat ditransfer pada institusi yang
bervariasi atau berbeda tugas pokok dan fungsinya.
Kata “manajemen” awalnya hanya populer
dalam dunia bisnis. Sedangkan dalam dunia pendidikan lebih dikenal
dengan istilah administrasi. Namun jika dilihat dari fungsi organiknya
administrasi dan manajemen hampir sama. Meskipun ada ahli yang
membedakan dan menyatakan bahwa manajemen merupakan inti dari
administrasi. Istilah administrasi umumnya digunakan manakala merujuk
pada proses kerja manajerial tingkat puncak (top management) yang
dilihat dari konteks keorganisasian. Sedangkan istilah manajemen
merujuk pada proses kerja manajerial yang lebih operasional.
Terry mendefinisikan “manajemen dari
sudut pandang fungsi organiknya, yaitu manajemen adalah proses
perencanaan pengorganisasian, aktuasi, pengawasan baik sebagai ilmu
maupun seni untuk mencapai tujuan yang ditentukan”.[111]
Kaitannya dengan manajemen kelas perlu disinggung sedikit tentang kelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kelas didefinisikan “sebagai ruang tempat belajar di sekolah”.[112] Sedangkan dalam The Concise Oxford Dictionary disebutkan bahwa kelas (class) adalah group of students taught together atau location when this group meets tobe taught.[113] Hal
ini sejalan dengan pandangan didaktik, secara umum yang mendefinisikan
kelas sebagai sekelompok siswa yang pada waktu yang sama menerima
pelajaran yang sama dari guru yang sama. Maksudnya disini adalah kelas
dengan sistem pengajaran klasikal dalam pelaksanaan pengajaran secara
tradisional.[114]
Merujuk pada pengertian manajemen dan
kelas, maka manajemen kelas dapat didefinisikan sebagai proses
mengorganisasikan sumber daya kelas bagi terciptanya pembelajaran yang
efektif dan efisien meliputi proses perencanaan, pengorganisasian
aktuasi dan pengawasan. (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi).
Manajemen kelas dapat diamati dari aspek
pembelajaran, kegiatan guru dan komunikasi dalam kelas yang efektif.
Manajemen yang efektif muncul dari kejelasan struktur kelas yang
diciptakan.[115]
Jadi, guru selaku manajer kelas bertanggung jawab terhadap terciptanya
proses pembelajaran yang efektif dan efisien, meliputi
pengendalian/pengontrolan perilaku siswa, pemberian kebebasan bagi anak
didik dan pemodifikasian sikap (behavioral modification) anak didik dan penciptaan suasana sosioemosional,[116] yang positif dalam kelas.
Manajemen kelas sebenarnya menggambarkan
situasi ketrampilan guru dalam merancang, menata dan mengatur kurikulum
menjabarkannya ke dalam prosedur proses pembelajaran serta sumber-sumber
belajar. Selain itu, juga dalam kaitannya menata lingkungan belajar
yang merangsang untuk tercapainya suasana pembelajaran yang menyenangkan
bagi siswa. Adapun tujuannya adalah untuk memfasilitasi kegiatan
belajar mengajar secara maksimal, untuk mencapai tujuan pembelajaran,
memberi kemudahan dalam mendukung sumber-sumber belajar, serta
membangkitkan gairah belajar siswa.
Adapun desain manajemen kelas yang berorientasi pada pengembangan kreativitas anak meliputi:
- Pengaturan fisik kelas
Untuk menciptakan suasana kelas dan
belajar yang nyaman, perlu penataan ruangan yang baik. Baik dalam artian
indah dipandang, enak dirasa dan memperlancar proses belajar mengajar.
- Pengaturan fisik dalam kelas meliputi pengaturan tempat duduk, dengan mempertimbangkan aspek kemudahan bagi anak untuk terlibat dalam diskusi kelas. Pengaturan ruang kelas menjadi ruang sumber yang mendukung para siswa untuk membaca menjajaki dan meneliti, misalnya dipasang gambar-gambar, alat-alat laboratorium, perpustakaan mini dan alat-alat yang memungkinkan siswa dapat melakukan kegiatan konstruktif.[117]
- Penempatan siswa juga mempertimbangkan aspek psikologis anak, sehingga dapat berpengaruh pada belajarnya.
- Pencahayaan dan ventilasi yang cukup.
- Rasio perbandingan guru dan murid ideal.
- Pengelolaan proses belajar mengajar
Dalam Proses Belajar Mengajar suasana pembelajaran diusahakan sehangat mungkin dan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Suasana pembelajaran diusahakan sehangat
mungkin, sehingga anak merasa nyaman dan aman. Dengan demikian, anak
akan merasa bebas untuk mengembangkan pikiran kreatifnya, anak tidak
tertekan dan berani mengembangkan pikiran-pikiran yang bersifat
eksploratif.
- Persiapan guru
Guru perlu mempersiapkan diri untuk
menjadi fasilitator yang bertugas mendorong siswanya untuk mengembangkan
ide, inisiatif dalam menjajaki tugas-tugas baru.
- Sikap guru
Sikap terbuka menerima gagasan dan
perilaku siswa tidak memberikan celaan dan hukuman. Memperlakukan siswa
dengan adil dan obyektif, tidak pilih kasih dan ada upaya untuk bersikap
positif terhadap kegagalan yang dihadapi siswa dan berusaha membangun
siswa menyadari kesalahan dan sebab kegagalannya.
- Metode pengajaran
Metode atau tehnik belajar kreatif
berorientasi pada pengembangan potensi berfikir kreatif siswa yakni
mengaktifkan fungsi berfikir divergen, siswa dilibatkan secara aktif
dalam masalah yang nyata dan menantang dalam setiap kegiatan belajar
mengajar.[118]
Dalam manajemen kelas, peran guru
sangatlah penting. Untuk itu, guru harus memiliki kemampuan dan
ketrampilan dalam memanaj kelas guna menciptakan proses belajar mengajar
yang efektif. Keterampilan manajemen kelas (classroom management skill) menduduki posisi primer dan menentukan keberhasilan proses pembelajaran (teaching succes). Kinerja
manajemen kelas yang efektif memungkinkan lahirnya roda penggerak bagi
penciptaan pemahaman diri, evaluasi diri dan internalisasi kontrol diri
pada kalangan siswa.
Demi terciptanya situasi belajar mengajar
yang nyaman dan efektif, maka guru harus dapat mengimplementasikan
sederetan dimensi yang luas dari diagnostik, pengajaran manajerial,
keterampilan, merajut perilaku pada konteks situasi khusus hingga
kebutuhan-kebutuhan spesifik menurut momennya situasi yang demikian
menegaskan bahwa kemampuan dalam bidang manajemen. Dalam hal ini,
manajemen kelas merupakan salah satu syarat guru yang efektif.
Kinerja manajemen kelas yang efektif,
antara lain tercermin dalam bentuk keberhasilan guru dalam mengkreasi
lingkungan belajar secara positif (creating positive learning environment) dan memberdayakan siswa (empowering student) serta mengembangkan potensi dasarnya secara berkelanjutan.[119]
Kaitannya dengan pengembangan kreativitas
anak, guru selaku manajer kelas diharapkan dapat menciptakan “suasana
kelas” yang dapat memacu kreativitas anak untuk tumbuh dan berkembang
dalam kegiatan belajarnya. Dengan kata lain guru dituntut agar dapat
menciptakan kondisi kegiatan pembelajaran yang mengembangkan kreativitas
anak.
Berbicara tentang perkembangan
kreativitas, maka tidak bisa telepas dari fungsi otak. Otak manusia
dibagi menjadi dua, yaitu otak kiri dan otak kanan. Otak kiri memiliki
kemampuan berfikir sintesis, sedangkan otak kanan diyakini mempunyai
kemampuan berfikir untuk menyatukan bagian-bagian konsep secara
menyeluruh dan efektif untuk membentuk imajinasi, sehingga menjadi
manusia kreatif.[120]
Tanpa mengesampingkan fungsi otak kiri yang sangat penting, pemakaian
otak kanan hendaknya dirangsang sehingga ada keseimbangan antara
keduanya.
Namun realitasnya, pendidikan saat ini
lebih condong untuk memakai otak kiri dan memberi porsi yang kecil untuk
kreativitas. Padahal kreativitas perlu diberi ruang gerak dan terus
menerus dirangsang supaya berkembang. Dorongan positif membuat anak
berkembang optimal, dorongan ini harus berupa rangsangan bukan paksaan.
Dalam lingkup sekolah, guru bertanggung jawab atas perkembangan
kreativitas anak.
Dengan kata lain, guru memiliki tugas
untuk membantu mengembangkan kreativitas anak, tanpa mengabaikan
keberadaan kurikulum guru tetap dapat memodifikasi pembelajaran dan
secara kreatif demi terciptanya situasi belajar yang merangsang
berkembangnya kreativitas anak sehingga anak tidak hanya pandai secara
kognitif tetapi sekaligus kreatif.
[1] H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), cet. III, hal. 97
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 652
[3] H.M. Arifin, Op.cit., hal. 98
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 580-58 1
[5] Ibid., hal. 457
[6] Elizabeth B. Hurlock, Child Development, Med. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih, Perkembangan Anak, Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 1997), Cet. V, hal. 330
[7]
Elizabeth B.Hurlock, Development Psycology A Life-Span Apprroach,
Istiwidiyanti, Soejarwo, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1999) Cet. VII, Hal.
122
[8] Zulkifli L, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), cet. IX, hal. 39
[9] Abu Ahmadi dan Zul Afdi Ardian, Ilmu Jiwa Anak, (Bandung: Armico, 1989), hal. 79
[10] Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), cet vii, hal. 29
[11] Zulkifli L, Loc. Cit.
[12] Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), (Bandung: Mandar Maju, 1995_, cet. V, hal. 118
[13] Zulkifli L., Loc. Cit.
[14] F.J. Monks, A.M.P.Knoers, Ontwikkelings Psykologie Inleiding tot de verschillende Deelgebieden, Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), cet. 11, hal. 132- 133
[15] Mayke S. Tedjasaputra, Bermaian, Mainan dan Permainan Untuk Pendidikan Usia Dini, (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), cet. I, hal. 4
[16] Zulkifli L., Op.cit., hal. 40
[17] Mayke S. Tedjasaputra, Op.cit., hal. 5
[18] Zulkifli L., Loc,cit
[19] Ibid, hal. 40
[20] Kartini Kartono, Op.cit., hal. 121
[21] Zulkifli L., Op.cit., hal. 42-43.
[22] Agus Sujanto, Op.cit., hal. 32
[23] Moeslichatoen R., Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), cet. I, hal. 33-34
[24] Ibid., hal. 34-3 6
[25] Zulkifli, Op. cit, hal. 4
[26] Robert G. Myers, Toward a fair Start For Childern, Washington P. Napitupulu , Masanya Untuk Anak- Semasa Kecil: Menuju Awal yang Adil Bagi Anak-anak, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992) hal. 27
[27] Hj. Endang Poerwanti, Nur Widodo, Perkembangan Peserta Didik, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), cet. II, hal. 27
[28] Robert G Mayers, Loc. cit
[29] Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 2
[30] Ahmad Thantowi, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Angkasa, 1993), hal. 25
[31] Abu Ahmadi, Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), Cet. I, Hal. 21
[32] Endang Poerwanti, Nur Widodo, Op.Cit., hal. 55
[33] Ahmad Thantowi, Op.Cit., hal. 25-26
[34] Endang Poerwanti, Nur Widodo, Op.Cit., hal. 55-56
[35] Abu Ahmadi, Munawar Sholeh, Loc. Cit.
[36] Endang Poerwanti, Nur Widodo, Op.Cit., hal. 56-57
[37] R.H.A. Soenarjo, Al- Quran dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hal. 437.
[38] Imam Muslim, Shohih Muslim juz II, (Beirut Libanon: Darul Kutub al-Alamiyah), hal. 458.
[39] Ahmad Thantowi, Op.Cit., hal. 30 – 32
[40] Elizabeth B. Hurlock, Op.Cit., hal. 23
[41] Ibid., hal. 25-27
[42] Ibid., hal. 28-29.
[43] Ibid., hal. 31.
[44] Ibid., hal. 33.
[45] Ibid., hal. 3 5-37.
[46] Ibid., hal. 40-42.
[47] Ahmad Thantowi, Op.Cit., hal. 34-35.
[48] Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), cet. I, hal. 22.
[49] Ahmad Thantowi, Op.Cit., hal. 35.
[50] Ibid., hal. 36
[51] Syamsu Yusuf LN., Op. Cit., hal. 136.
[52] Ibid, hal. 137
[53] R.H.A. Soenarjo dkk, Op. Cit, hal. 645
[54] Syamsu Yusuf LN., Op. Cit., hal. 137-138
[55] Zakiah Daradjat,. Op. Cit., hal. 56
[56] Syamsu Yusuf LN,. Op. Cit,. hal. 138-139
[57] R.H.A. Soenarjo dkk, Op. Cit., hal. 951
[58] Syamsu Yusuf LN., Op. Cit., hal. 140-141.
[59] Ibid, hal. 176-177
[60] Zakiah Daradjat, Op. Cit., hal. 61-62
[61] Syamsu Yusuf Ln., Op. Cit., hal. 177-178
[62] Zakiah Daradjat, Op. Cit., hal. 111
[63] Abdul Rachman Shaleh, Didaktik Pendidikan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 19.
[64] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 10.
[65] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 17.
[66] Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan Agama, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 10.
[67] Departemen Agama RI., Islam untuk Disipilin Ilmu Pendidikan, (Jakarta: 1997), hlm. 127.
[68] GBPP, Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Depdikbud, 1993), hlm. 1.
[69] Halimah Ali Abu Razak, al-Madkhal ila at tarbiyyah, (Makkah: Ad-Dar al-Su’udiyyah li an-Nasyr wa at-Tauzi’,1998), hlm.11
[70] Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Tanjung Mas Inti, 1992), hlm. 302.
[71] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Dar al-Fikr (Libanon: Beirut, 1981), hlm. 45.
[72] Zuhairini, dkk., Methodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1981), hlm. 45.
[73] Muhammad ‘Athiyyah al-Ibrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 22.
[74] M. Arifin, op.cit., hlm. 40.
[75]
Burhan Nurgiantoro, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, Sebuah
Pengantar Teoritis dan Pelaksanaannya, (Yogyakarta: BPFE, 1981), hlm.
63.
[76] Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar, (Bnadung: Remaja Rosda Karya, 1993), hlm. 96.
[77] Muhammad Zein, Methodologi Pengajarn Agama, (Yogyakarta: AK Group dan Indra Buana, 1995), hlm. 239.
[78]
Cece Wijaya, Pengajaran Remedial Sebagai Sarana Pengembangan Mutu
Sumber Daya Manusia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), hlm. 96.
[79] Henry Ehless, Crucial Issues in Education, (New York: CBS Colegge Publishing, 1981), hlm. 157
[80] Zuhairini, dkk., Metodologi Pengajaran Agama, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 138.
[81] Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 36.
[82] Dirjen Binbagan, Metodologi Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: 1984), hlm. 244.
[83] Marasudin Siregar, Metodologi Pengajaran Agama, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 1999), hlm. 1.
[85] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hlm. 103.
[86] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hlm. 173.
[87] Menurut Alizabeth B. Hurlock yang dikutip oleh Hibana S. Rahman dalam bukunya Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,PGTKI Press, 2002 hal. 86-89.
[88] Hibana S. Rahman, Op. Cit., hal. 89.
[89] R.H.A. Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsiran al-Qur’an, 1971), hlm. 645.
[90] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), Cet. 3, hlm. 24.
[91] Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm. 40.
[92] RHA, Soenarjo, op. cit., hlm. 13.
[93] Ibid, hlm. 217.
[94] M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 285.
[95] Agus Maimun, et.al., Profil Pendidikan Agama Islam Model Sekolah Umum Tingkat Dasar, (Jakarta : Depag RI, 2003), hlm. 29-30.
[96] Menurut Maslow (1908–1970) kebutuhan naluriah secara hierarki dibagi menjadi 6 urutan, yaitu: (1) kebutuhan faali yang
diperlukan untuk mempertahankan hidup (misal: makanan, minuman, air,
udara dan sebagainya); (2) kebutuhan akan rasa aman; (3) kebutuhan akan sense of belonging dan
cinta; (4) kebutuhan akan penghargaan dan harga diri; (5) kebutuhan
aktualisasi diri dan (6) kebutuhan estetik. Keempat kebutuhan pertama
disebut dengan kebutuhan “deficiency” karena menuntut untuk
dipuaskan sampai tidak dirasakan sebagai kebutuhan lagi. Sedangkan
kebutuhan akan aktualisasi diri dan estetik yang disebut dengan
kebutuhan ‘being ”.
[97] Abraham H. Maslow, Motivation and personality, (USA: RR Donnelley and Sons Company, 1970), hlm. 254 – 255.
[98] Bob Samples, Open Mind / Whole Mind: Parenting and Teaching Tomorrow’s Children Today (Revolusi
belajar untuk anak: panduan belajar sambil bermain untuk membuka
pikiran anak-anak anda) diterjemahkan oleh Rasmani Astuti, (Bandung:
Kaifa, 2002), hlm. 160.
[99] S.C. Utami Munandar, Kreativitas…, op.cit., hlm. 45.
[100] Conny Semiawan, dkk, Memupuk Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah Menengah, (Jakarta: Gramedia, 1990), hlm. 10-11.
[101] Utami Munandar, Kreativitas…, op.cit., hlm. 68.
[102]S.C. Utami Munandar, Mengembangkan …, op. cit., hlm. 98.
[103] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut Darul Kutubil Ilmiyah,1992, hlm. 978.
[104] Nana Syaodih Sukmadinata, op.cit., hlm. 105.
[105] Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003) hlm. 108-109.
[106] Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 126.
[107] John L. Vogel, Thingking About Psychology, (Chicago: Nelson Hall Inc, 1985), hlm. 192.
[108] Haber Audrey, Fundamentals of Psychology, (USA: Newberg Award Record Inc, 1986), hlm. 156.
[109]Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mengaruhnya (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), Cet. 4, hlm. 154-159.
[110] Ibid., hlm. 164.
[111] Anton M. Moeliono dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 408.
[112] H.W. Fowler and F.G. Fowler, The Concise Oxford Dictionary, (New York: Oxford University Press, 1990), hlm. 207.
[113]Suharsini Arikunto, Pengelolaan Kelas (Sebuah Pendekatan Evaluatif), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), cet. 4, hlm. 17-18.
[114] Rasdi Ekosiswoyo, Manajemen Kelas, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1996), hlm. 6.
[115]
Iklim sosioemosional ini berkaitan dengan hubungan interpersonal antar
siswa yang sehat dan dinamis, penuh kasih sayang, toleransi, empati,
saling pengertian dan bebas dari prasangka. Sehingga setiap individu
dalam kelas merasa aman dalam belajar dan dapat mengambil manfaat dari
suasana sosioemosional yang dikembangkan upaya-upaya penciptaan iklim
sosioemosional antara lain : penciptaan rasa kebersamaan, pengembangan
rasa tanggung jawab, universalitas pemberlakuan aturan dan pendesainan
ruangan yang menyenangkan. (Lihat, Sudarwan Danim, op. cit., hlm. 172).
[116]Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), hlm. 119.
[117] Ibid., hlm. 119-120.
[118] Sudarwan Danim, op. cit., hlm. 189.
[119] Endah Irmawati, “Kreativitas itu Modal Dasar Anak”, dalam Surya, (Surabaya 6 Juni 2004), hlm. 20.
[120] Anton M. Moeliono dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 408.
No comments:
Post a Comment