1. Pengaruh TV Pada Anak-anak kita
Anggit Hernowo dalam satu presentasinya di LK3 mengatakan survai menemukan 25% dari bayi (usia di bawah 1 tahun) sudah jadi sasaran televisi. Lanjutnya 92% dari semua anak-anak sudah menonton berbagai macam jenis siaran. Saya yakin 92% iklan ditonton anak-anak. Karena semua iklan sangat menarik, mulai dari musik, warna-warninya, kata-katanya. Semua menarik. TV memang tidak bisa kita hindari. Kita harus “bersahabat” dengan TV. Bagaimana agar TV tidak menjadi perusak bagi anak kita? Sebagai orang tua kita harus tetap waspada karena program yang kita tonton tanpa kita sadari dapat memberi efek negatif kepada kita, seperti paku dan palu, yang semakin lama akan mengancam. Selain di media TV, ada radio, majalah dan tabloid yang sudah banyak dilihat anak-anak yang lumayan besar. Anak-anak usia 4 tahun ke atas sudah 100% nonton TV. Sejauh mana mereka mengerti?
Anggit Hernowo lebih lanjut mengingatkan kita bahwa jika anak-anak terus melihat iklan mereka akan kena pengaruh buruknya. Kita tidak sadar selama melihat iklan apa saja yang dipukulkan acara TV ke dalam otak anak-anak itu? Bagaimana pengaruhnya pada perasaan mereka setiap kali iklan atau acara itu terus-menerus ditanamkan dalam perasaan mereka? Sementara, berapa jamkah waktu kita yang efektif bersama anak-anak kita dan mempengaruhi mereka. Bisakah kita bayangkan apa saja yang sudah tertanam dalam hati, otak, dan perasaan mereka? Apa yang ditonton anak-anak pada jam-jam 15.00-21.00? Film, sinetron, telenovela, berita. Kita juga harus mewaspadai berita. TV sekarang menayangkan berita yang berdarah-darah. Anak saya yang umur 10 tahun lihat tukang copet dikeroyok. Dia berkomentar, “Syukurluh digebukin, siapa suruh nyopet!” Dia tidak punya kepekaan lagi. Dia berpikir, orang jahat boleh dipukuli. Perhatikanlah. isi infotainment saat ini adalah artis-artis yang kawin-cerai. Baru bercerai, kawin lagi, rebutan harta gono-gini dan seterusnya. Rata-rata itu saja isinya. Itulah yang dilihat anak-anak kita. Nilai-nilai apa yang kira-kira bisa mereka ambil? Jangan-jangan dia punya pikiran, begitulah orang dewasa yang sudah menikah. Mama-papaku gimana, yah? Apakah mereka selingkuh? Apakah mereka akan bercerai juga? Kalau mereka cerai, apakah akan rebutan harta gono-gini juga?
2. Pengaruh Game dan Internet
Di samping TV anak anak kita sangat dipengaruhi game dan internet. Tidak ada yang mudah jika anak sudah terlibat jauh dengan masalah kecanduan game dan internet. Tidak ada jalan pintas. Kecanduan itu sendiri berarti ada sesuatu yang sudah terikat begitu dalam.
Perkembangan teknologi jaringan tanpa kabel membuat kita dengan mudah mengakses internet dari mana saja tanpa ketergantungan terhadap saluran telepon. Disatu pihak ini sangat positif untuk perkembangan pengetahuan dan informasi, dilain pihak dampak negatif yang ditimbulkan juga besar. Kita tidak bisa membendung perkembangan teknologi. Teknologi akan terus berjalan, makin hari makin canggih, dan akan membentuk komunitas tersendiri. Pengaruh perkembangan Teknologi dan Informasi akan juga mempengaruhi gaya hidup kita.
Apa yang harus kita lakukan bila kita mempunyai anak didik yang sudah terlanjur masuk kedalam ketergantungan pada media yang tidak sehat? Pertama, mengutamakan pendampingan yang penuh kasih dari ortu. Kehadiran dan keterlibatan bersama anak. Menyediakan waktu terbaik bersama mereka. Kita belejar mengenali mainan dan tontonan mereka lalu secara bertahap kita mengalihkan mereka kepada hal yang lebih positif. Kedua, kita melibatkan mereka pada kegiatan positif seperti ikut klub olahraga dan lainnya.
Yang terpenting dalam membina remaja adalah menanam nilai-nilai kebenaran pada anak. Kalau anak-anak kita sudah menerima nilai-nilai kebenaran, maka dia bisa membedakan apa yang salah dan apa yang benar, terutama saat dia menghadapi banjirnya informasi media audio-visual yang sangat menggoda.
Hati-hati jika anak terlalu banyak menonton televisi atau game. Jika anak remaja kita melihat video game, buku komik, televisi, ia akan sangat terpengaruh. Akibatnya akan kehilangan fokus pada segala yang bersifat teks, seperti pelajaran sejarah, matematika, dan lain-lain. Tontonan televisi misalnya, sangat membuat perhatian anak mudah teralihkan dari satu isu ke isu lainnya karena banyak intervensi iklan di dalam setiap film. Jika seorang anak sudah terbiasa main game atau menonton terlalu lama, ketika guru memnta dia membaca buku teks untuk dibaca dia akan cepat mengantuk karena tidak menarik. Dia sudah terbiasa dengan gambar bergerak.
Menurut Martin Elvis , Game dan film kekerasan yang diserap anak anak kita juga telah melenyapkan empati dalam diri anak kita. Media seperti video game dan digital game justru bermuatan makna-makna agresivitas yang hanya menciptakan Kecerdasan Destruktif. Perasaan empati justru lenyap di dalam dunia game yang cenderung mengutamakan kecepatan, rasionalitas dan ketepatan.
Kita perlu mewaspadai, banyak game anak menonjolkan unsur kekerasan. Akibatnya mereka menganggap kekerasan itu adalah hal yang biasa. Selain itu dunia maya membuat anak akan bisa menciptakan dunianya sendiri di dalam komputer. Dia menjadi enggan mau bergaul dengan teman-teman. Jangan heran anak enggan berkomunikasi dengan keluarga, atau bepergian dengan orang tua. Game telah menjadi sahabat baiknya.
Hal penting lainnya adalah jangan sampai anak terlalu lama bermain game. Buatlah kesepakatan dengan anak berapa lama mereka boleh bermain game dan internet. Intinya, batasi. Namun untuk itu ada harga yang harus kita bayar. Kita harus meluangkan (menyediakan) waktu terbaik kita untuk menemani anak-anak. Berkomunikasi dengan mereka, bermain bersama remaja kita. Apakah itu bermain catur, halma, ulartangga, monopoli, dan sebagainya. Mengajak anak berolahraga. Komunikasi seperti ini dapat menjadi hiburan pengganti yang menyenangkan anak, dan lebih membantu pertumbuhan emosi anak. Daripada membiarkan anak berlama lama di depan televisi atau bermain game, sediakanlah waktu anda bermain dengan mereka.
Martin Elvis dalam salah satu seminarnya menegaskan ada lima hal besar yang tidak bisa dilakukan oleh media terhadap anak-anak kita:
a. Media tidak dapat menyebut nama, tidak mempunyai perhatian secara pribadi, anak kita dianggap sebagai konsumer. Inilah kesempatan kita, anak kita adalah satu pribadi yang unik, kita bisa memanggil namanya, memperhatikan dia, menatap matanya, berkomunikasi secara pribadi dengan dia.
b. Media tidak dapat memangku anak kita.
c. Media tidak bisa memeluk anak kita, tidak bisa membacakan buku cerita sebelum tidur.
d. Media tidak pernah mendengarkan anak kita. Kita diberikan anugerah untuk bisa mendengarkan curhat anak kita.
e. Media tidak bisa menaikkan anak ke tempat tidur lalu mengajaknya berdoa.
3. Tidak semua film TV dapat ditonton anak-anak.
Untuk anak yang lebih besar, misalnya kelas 1-3 SD, orangtua biasanya kesulitan menentukan lamanya menonton film atau bermain playstation, apalagi kalau si anak hanya dengan pembantu saja. Orangtua juga harus menyeleksi film atau bacaan yang sesuai dengan usianya. Ini tidak mudah. Apalagi jika tidak ada otoritas yang mengawasi.
Film kartun pun belum tentu sesuai dengan usia mereka. Komik-komik Doraemon, Crayon Sinchan, atau Donal Bebek sekalipun, banyak memuat kalimat-kalimat yang kasar dan tidak patut diperkenalkan pada anak-anak di bawah 10 tahun. Apalagi, anak-anak di bawah 10 tahun memiliki daya ingat yang kuat terhadap apa yang mereka lihat dan baca.
Bagaimana agar anak-anak kita yang duduk di SD disiplin dengan aturan-aturan yang kita buat, sekalipun kita tidak di rumah? Maksudnya, mereka mandi pukul 4.30 sore, lantas belajar, makan malam pukul 7. Saat Anda tiba di rumah, berikan waktu kepada anak-anak untuk menceriterakan kegiatan mereka seharian. Lantas tanpa disuruh, mereka tidur pukul 8.30.
4. Perlu Waktu dan Kesempatan
Berapa banyak waktu yang diperlukan untuk melatih anak disiplin? Siapa yang menjalankannya?
Ini pertanyaan yang sulit dijawab, terutama oleh orangtua yang supersibuk. Dalam suatu wawancara TV seorang artis mengatakan, “Bagi saya, yang penting kualitas waktu pertemuan dengan anak. Untuk apa sehari-harian dengan anak, tapi nggak ngapa-ngapain?”
Bagi orang yang sibuk, ini mungkin semacam defence mechanism (mekanisme pertahanan diri). Mungkin, kalau ditanya lebih jauh akan ketahuan bahwa bagi si Artis toh ada baby sitter yang mengurusi anak-anaknya. Jika kita hanya memikirkan kualitas waktu, kita cenderung mendikte anak dengan sejumlah peraturan, tanpa anak bisa belajar dari orangtuanya cara menerapkan peraturan itu.
“Buanglah sampah di tempatnya!” perintah Mama. Melani bertanya, “Mengapa sampah harus dibuang di tempatnya?”
“Jangan lama-lama main playstasion!” kata Pak Budi.
“Lho, si Albert (teman sekelas yang juga tetangganya) kok boleh?” balas Edo. Rupanya, tanpa setahu Pak Budi, Edo (7 tahun) tiap hari bermain di rumah si Albert.
Siapa yang harus menjawab? Orangtua memberi peraturan, tetapi tidak ada waktu untuk menjelaskan atau menjawab pertanyaan. Makin lama makin banyak “mengapa” yang muncul dari anak-anak. Sebab itu, orangtua harus berusaha memberi waktu sebanyak mungkin untuk menjelaskan kepada anak-anak mengapa dan bagaimana disipin dijalankan. Kadang-kadang, anak-anak berusaha menenangkan hati kita, “Udah, deh, Pa, Ma. Beres. Papa dan Mama pergi aja tenang-tenang. Nggak usah kuatir.”
Seharusnya orangtua mulai waspada jika anak-anak merasa tidak membutuhkan mereka lagi. Lebih baik hentikan semua kegiatan kantor atau pelayanan yang membutuhkan waktu lebih lama dari jam kerja. Mungkin itulah sebenarnya saat anak-anak paling membutuhkan kita. Jangan dikira, kalau anak-anak sudah mandiri (bisa mengurus diri sendiri), mereka dapat dibiarkan begitu saja.
Tips: Mendampingi Anak Menonton dan Bermain Game
1. Usahakan mendisiplin waktu anak menonton sejak masih kecil
2. Buat kesepakatan jenis film yang bisa ditonton dan jumlah waktu yang bisa digunakan anak
3. Sedapat mungkin dampingi anak menonton
4. Temani anak memilih jenis game yang mereka beli di toko
5. Diskusikan dengananak dampak setiap game yang mereka mainkan
6. Usahakan anak bermain di rumah, bukan di warnet, untuk mencegah hal yang tidak diinginkan
No comments:
Post a Comment