Monday, January 2, 2012

Paradigma

Sudahkah anda menemukan keempat item dalam gambar itu? Jika belum, coba lagi lebih keras.
Seorang manajer sebuah bank yang diminta menemukan empat item itu mesti mencoba hingga dua kali. Akhirnya ia bilang, "Oke, saya sudah menemukannya." Ketika ia ditanya bagaimana ia menemukan empat item itu, ia tersenyum lalu mengatakan, "Pada penglihatan kedua saya mengubah cara pandang saya."

Ia tak lagi fokus pada gambar setiap item, tapi menarik pandangannya hingga matanya melihat keseluruhan gambar. Penemuan FLY dalam gambar itu menunjukkan bagaimana sudut pandang berperan dalam melihat sesuatu. Dan sudut pandang itu akan mempengaruhi bagaimana kita bersikap. Ketika pertama diminta menemukan empat item itu, Pak Manajer awalnya berkeras perintah gambar itu salah. Ia keukeuh hanya bisa menemukan tiga item. "Ini hanya potongan gambar, bukan huruf," katanya. Jelas, ia memakai paradigmanya sendiri dalam melihat gambar itu. Salahkah?
Dalam kasus ini kesalahannya hanya 50 persen. Ia hanya benar separuh. Cara dia melihat membatasi cara pandangnya terhadap gambar itu. Sementara manajer lain langsung bisa menunjukkan empat item itu pada permintaan pertama. Sebab itu, paradigma setiap orang berbeda-beda.

Paradigma adalah sebuah modal setiap individu, setiap kelompok, mencapai visi. Organisasi, bahkan setiap kita, pasti atau harus punya visi. Karena itu setiap anggota kelompok harus menyesuaikan paradigmanya lebih dulu untuk bisa menggapai visi organisasinya.
Untuk menantangnya biasanya kita harus mencapai peran pemimpin sebagai panutan lebih dulu. Jika ini sudah dicapai, biasanya paradigma kita akan teruji apakah sesuai dengan visi organisasi atau bahkan menjauhkannya. Jika yang terjadi yang kedua, segeralah berbenah, anda sedang dihadapkan pada sebuah tantangan pokok menjadi seorang pemimpin: berubah.

Hasil survei Stephen Covey, penulis buku laris "8 Kebiasaan", menyebutkan organisasi yang tak berhasil menggapai visinya karena tersandung masalah, sebagian besar bukan karena peliknya masalah yang mereka hadapi, melainkan cara organisasi itu memandang masalahnya. Tak ada masalah yang tak bisa dipecahkan, tentu saja. Tapi ada selalu ada banyak jalan mencapi Roma, bukan?

Mahatma Gandhi memilih tetap tinggal di Afrika Selatan meski ia mendapat perlakuan rasial. Ia menolak kembali ke India, meski peluang itu ada, lalu hidup tenang dan makmur sebagai pengacara kaya. Dan pilihan itu, pilihan menghadapi masalah yang ia hadapi, kelak membawanya menjadi seorang pemimpin kharismatis yang disegani dan dikenang dunia.

Ahimsa, filsafat kelembutan itu, hampir menjadi ideologi ketika dunia sedang rusuh oleh ide-ide, perang, dan dipenuhi sikap jahiliah: manusia memakan manusia. Dengan ahimsa pula, Gandhi bisa meredam kekerasan, meski ironisnya ia meninggal karena sebuah kekerasan: bom bunuh diri seorang Hindu yang gerah karena Gandhi juga membela kaum Muslim. Paradigma yang dipakai Gandhi kemudian diakui sebagai sebuah jalan yang tepat. India mungkin tak mencapai dan melahirkan seorang Gandhi andai saja kekerasan saat itu dilawan dengan kekerasan.

Bagaimana kita mesti mengubah paradigma kita dulu, dengan sadar akan sepenuhnya potensi yang kita miliki, sebelum membangun. Menurut Stephen Covey, dalam memecahkan masalah seringkali bukan masalahnya itu yang terlampau rumit dan berat, masalah biasanya muncul karena bagaimana cara memandang masalah itu.

Perubahan paradigma seringkali menyangkut sesuatu yang sangat kecil, yang remeh, tapi bisa berakibat sesuatu yang punya dampak luas dan besar. Dunia berubah setelah Copernicus mengajukan sebuah antitesis atas teori Ptoleumeus bahwa dunia ini persegi. Teori kuman mengubah dunia kedokteran soal diagnosa, dan seterusnya. Paradigma, sekecil apapun itu, bisa menghasilkan perubahan. Seorang pemimpin akan selalu mengasah paradigmanya sesuai perkembangan zaman, bahkan melampauinya.
Butir-butir pikiran Hatta atau Soekarno, Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, dan pemikiran pendahulu Indonesia, hingga kini kian relevan. Mereka telah mendapatkan paradigma Indonesia hingga buah pikiran mereka melampaui zamannya.
Tentunya sang Pemimpin mengetahui atas paradigma para bawahannya agar mendapat unjuk kerja yang maksimal dan memperkecil suatu permasalahan. Anggap juga sebuah sekolah yang memiliki banyak masalah tentu akan merepotkan bahkan hanya menuntaskan masalah tersendiri. sedangkan pekerjaan bidang lain masih banyak yang harus diselesaikan. Mulai target prestasi siswa, Pola KBM, program kegiatan sekolah dan masih banyak sekali. Paradigma jangan hanya melihat satu sisi saja namun tentu perbedaan ada yang konstruktif dan bisa membawa kebaikan dalam pendidikan. Ketika prestasi siswa mempunyai hambatan tentu perlu ada bahan evaluasi secara keseluruhan bukan hanya satu pelajaran yang menganggap pelajaran A sulit bahkan kurang mengenakan sehingga hasil tidak tercapai. Padahal dari masing pelajaran berbeda penilaian, Inilah yang akhirnya paradigma bukan harus disetujui satu kesepakatan namun bisa luas makna perbedaan persepsi dalam satu pelajaran entah kondisinya/metode/ sarananya yang bisa jadi bahan evaluasinya.
Jadi Paradigma tetntu kata-kata Fly melihat sesuatu ada yang mengatakan tidak mempunyai kata namun sebenarnya mempunya kalimat makna tergantung pesepsi yang mana yang menjadi alasan dari setiap visi pemimpin dan bawahannya.

Agi Rachmat & Dian Parikesit, S.Pd

No comments: