“Mereka
menghendaki untuk memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka,
tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir
benci .“ (At-Taubah: 32; ash-Shaf: 8)
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian hingga kalian murtad dari agama kalian jika mereka mampu.” (Al-Baqarah: 217)
Satu hal penting yang kurang mendapat perhatian secara proporsional dari kaum muslimin adalah adanya perang pemikiran atau ghazwul fikri. Bahkan tidak sedikit muballigh atau da’i yang belum mengetahuinya. Kalaupun mengetahui, kurang menyadari akan bahayanya bagi Islam dan umatnya. Mudah-mudahan uraian singkat ini, dapat menjadi wasilah (sarana) untuk menambah wawasan dan menggugaj kesadaran kita, sehingga dapat beramal dan berdakwah dengan bijak.
Secara sederhana, ghazwul fikri dapat diartikan sebagai perang pemikiran atau perang intelektual. Namun karena luasnya pembahasan, maka ada pula yang mengartikan (menerjemahkannya) sebagai invasi pemikiran, perang ideologi, perang budaya, perang urat syaraf, dan perang peradaban.
Dalam arti luas ghazwul fikri adalah cara atau bentuk penyerangan yang senjatanya berupa pemikiran, tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, propaganda,dialog dan perdebatanyang menegangkan serta upaya lain pengganti pedang, bom dan persenjataan lainnya. Ia merupakan perang non konvensional, baik cara, sarana, alat, tentara, target maupun sasarannya.
Namun demikian ghazwul fikri tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian integral (yang tak terpisahkan) dari metode perang (uslub qital) yang bertujuan untuk memurtadkan kaum muslimin dari agamanya, atau jika tidak tercapai, setidaknya mendangkalkan keagamaan seseorang atau masyarakat. Ia bukan merupakan tahapan peperangan, akan tetapi sebagai pelengkap dan peyempurna, alternatif dan pelipatgandaan cara peperangan dan penyerbuan orang-orang kafir terhadap Islam dan umatnya.
Dalam sejarah kontemporer, penerapan ghazwul fikri dilakukan oleh orang-orang kafir (Yahudi, Nasrani, musyrikin, dll.). Cara tersebut dilakukan setelah mereka gagal menaklukan dunia Islam melalui perang konvensional pada Perang Salib. Kekalahan telak yang mereka alami menimbulkan kesadaran barubagi mereka, bahwa menaklukan Islam diperlukan penyerbuan yang sifatnya non militer (non konvensional).
Orang pertama yang menyadari perlunya metode baru untuk menghancurkan atau menaklukan dunia Islam adalah Louis XIV, raja Perancis yang tertawan di Al-Manshuriyah pada Perang Salib VII. Ia menyerukan untuk melipatgandakan serbuan terhadap kaum muslimin. Dalam memoarnya ia menulis,
“Setelah melalui perjalanan panjang, segalanya telah menjadi jelas bagi kita. Kehancuran kaum muslimin dengan jalan konvensional adalah mustahil. Karena mereka memiliki manhaj yang jelas dan, yang tegas diatas konsep jihad fii sabilillah. Dengan manhaj ini, mereka tidak akan pernah mengalami kekalahan militer.”
Karena itu, lanjutnya, “Barat harus menempuh jalan lain (bukan militer). Yaitu jalan ideologi dengan mencabut akar manhaj dan mengosongkannya dari kekuatan, kenekatan dan keberanian. Caranya tidak lain adalah dengan menghancurkan konsep-konsep dasar Islam dengan berbagai ta'wil dan tasykik.”
Melihat kecilnya kemungkinan untuk dapat menghancurkan Islam, maka Samuel Martinus Zwemer, seorang Yahudi yang telah masuk Kristen dan menjadi tokoh, menurunkan targetnya. Ia mengatakan, “Tujuan kita bukan mengkristenkan umat Islam, target kita adalah menjauhkan kaum muslimin dari Islam. Ini yang harus kita capai walaupun mereka tidak bergabung dengan kita.”
Strategi atau uslub ghazwul fikri seperti itu sebenarnya sudah dipraktekan oleh orang-orang munafik dan orang-orang zindik pada awal Islam, yang kita kenal sebagai gembong munafik dan pembuat fitnah besar pada masa Nabi SAW., salah satunya Abdullah bin Ubay bin Salul. Menurut Anwar Al-Jundi, yang pertama melancarkan ghazwul fikri setelah Abdullah bin Ubay bin Salul adalah Abdullah bin Saba’ dan Abdullah bin Muqoffa’ beserta kaum zindik.
Ghazwul Fikri sebagai sebuah strategi atau metode baru dalam menyerbu dunia Islam, baru dikenal kira-kira pada paro awal abad ini. Para aktivis gerakan Islam, baru menyadari adanya ghazwul fikri setelah banyak korban yang berjatuhan. Mereka telah melakukan penyelidikan, antara lain adalah Dr. Abdussatar Fathullah Said, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Dr. Anwar Jundi, Dr. Abdul Marzuq Shabur. Di Indonesia, seseorang yang banyak mengkaji ghazwul fikri yaitu Ustadz Abu Ridho, Lc.
Target Ghazwul Fikri
Menurut Ali Abdul Halim Mahmud, ghazwul fikri merupakan suatu upaya untuk menjadikan:
Satu hal penting yang kurang mendapat perhatian secara proporsional dari kaum muslimin adalah adanya perang pemikiran atau ghazwul fikri. Bahkan tidak sedikit muballigh atau da’i yang belum mengetahuinya. Kalaupun mengetahui, kurang menyadari akan bahayanya bagi Islam dan umatnya. Mudah-mudahan uraian singkat ini, dapat menjadi wasilah (sarana) untuk menambah wawasan dan menggugaj kesadaran kita, sehingga dapat beramal dan berdakwah dengan bijak.
Secara sederhana, ghazwul fikri dapat diartikan sebagai perang pemikiran atau perang intelektual. Namun karena luasnya pembahasan, maka ada pula yang mengartikan (menerjemahkannya) sebagai invasi pemikiran, perang ideologi, perang budaya, perang urat syaraf, dan perang peradaban.
Dalam arti luas ghazwul fikri adalah cara atau bentuk penyerangan yang senjatanya berupa pemikiran, tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, propaganda,dialog dan perdebatanyang menegangkan serta upaya lain pengganti pedang, bom dan persenjataan lainnya. Ia merupakan perang non konvensional, baik cara, sarana, alat, tentara, target maupun sasarannya.
Namun demikian ghazwul fikri tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian integral (yang tak terpisahkan) dari metode perang (uslub qital) yang bertujuan untuk memurtadkan kaum muslimin dari agamanya, atau jika tidak tercapai, setidaknya mendangkalkan keagamaan seseorang atau masyarakat. Ia bukan merupakan tahapan peperangan, akan tetapi sebagai pelengkap dan peyempurna, alternatif dan pelipatgandaan cara peperangan dan penyerbuan orang-orang kafir terhadap Islam dan umatnya.
Dalam sejarah kontemporer, penerapan ghazwul fikri dilakukan oleh orang-orang kafir (Yahudi, Nasrani, musyrikin, dll.). Cara tersebut dilakukan setelah mereka gagal menaklukan dunia Islam melalui perang konvensional pada Perang Salib. Kekalahan telak yang mereka alami menimbulkan kesadaran barubagi mereka, bahwa menaklukan Islam diperlukan penyerbuan yang sifatnya non militer (non konvensional).
Orang pertama yang menyadari perlunya metode baru untuk menghancurkan atau menaklukan dunia Islam adalah Louis XIV, raja Perancis yang tertawan di Al-Manshuriyah pada Perang Salib VII. Ia menyerukan untuk melipatgandakan serbuan terhadap kaum muslimin. Dalam memoarnya ia menulis,
“Setelah melalui perjalanan panjang, segalanya telah menjadi jelas bagi kita. Kehancuran kaum muslimin dengan jalan konvensional adalah mustahil. Karena mereka memiliki manhaj yang jelas dan, yang tegas diatas konsep jihad fii sabilillah. Dengan manhaj ini, mereka tidak akan pernah mengalami kekalahan militer.”
Karena itu, lanjutnya, “Barat harus menempuh jalan lain (bukan militer). Yaitu jalan ideologi dengan mencabut akar manhaj dan mengosongkannya dari kekuatan, kenekatan dan keberanian. Caranya tidak lain adalah dengan menghancurkan konsep-konsep dasar Islam dengan berbagai ta'wil dan tasykik.”
Melihat kecilnya kemungkinan untuk dapat menghancurkan Islam, maka Samuel Martinus Zwemer, seorang Yahudi yang telah masuk Kristen dan menjadi tokoh, menurunkan targetnya. Ia mengatakan, “Tujuan kita bukan mengkristenkan umat Islam, target kita adalah menjauhkan kaum muslimin dari Islam. Ini yang harus kita capai walaupun mereka tidak bergabung dengan kita.”
Strategi atau uslub ghazwul fikri seperti itu sebenarnya sudah dipraktekan oleh orang-orang munafik dan orang-orang zindik pada awal Islam, yang kita kenal sebagai gembong munafik dan pembuat fitnah besar pada masa Nabi SAW., salah satunya Abdullah bin Ubay bin Salul. Menurut Anwar Al-Jundi, yang pertama melancarkan ghazwul fikri setelah Abdullah bin Ubay bin Salul adalah Abdullah bin Saba’ dan Abdullah bin Muqoffa’ beserta kaum zindik.
Ghazwul Fikri sebagai sebuah strategi atau metode baru dalam menyerbu dunia Islam, baru dikenal kira-kira pada paro awal abad ini. Para aktivis gerakan Islam, baru menyadari adanya ghazwul fikri setelah banyak korban yang berjatuhan. Mereka telah melakukan penyelidikan, antara lain adalah Dr. Abdussatar Fathullah Said, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Dr. Anwar Jundi, Dr. Abdul Marzuq Shabur. Di Indonesia, seseorang yang banyak mengkaji ghazwul fikri yaitu Ustadz Abu Ridho, Lc.
Target Ghazwul Fikri
Menurut Ali Abdul Halim Mahmud, ghazwul fikri merupakan suatu upaya untuk menjadikan:
- Bangsa yang lemah atau sedang berkembang, tunduk kepada Negara penyerbu.
- Semua Negara, Negara Islam khususnya, agar selalu menjadi pengekor setia negara-negara maju, sehingga terjadi ketergantungan di segala bidang.
- Semua bangsa, bangsa Islam khususnya, mengadopsi ideology dan pemikiran kafir secara membabi buta dan serampangan, berpaling dari manhaj Islam, Alqur’an dan Sunnah.
- Bangsa-bangsa mengambil system pendidikan dan pengajaran negara-negara penyerbu.
- Umat Islam terputus hubungannya dengan sejarah masa lalu, sirah Nabinya dan salafussaleh.
- Bangsa-bangsa atau Negara-negara yang diserbu menggunakan bahasa penyerbu.
- Ghazwul fikri sebagai upaya melembagakan moral, tradisi, dan adat-istiadat bangsa penyerbu di negara yang diserbunya.
Tampaknya
ghazwul fikri itu telah mempengaruhi jalan pikiran dan moralitas bangsa
yang diserbunya. Tidak sedikit kaum muslimin yang mengalami kekalahan
mental. Misalnya gejala islamophobi, rasa rendah diri, dan meragukan
ajaran Islam dengan berbagai dalih.
Apa yang dikatakan oleh Zwemer, sebagaimana dikemukakan diatas, betul-betul mereka wujudkan. Orang-orang kafir menyerang seluruh konsep Islam dan kehidupan kaum muslimin (termasuk sejarahnya). Hampir seluruh ajaran Islam dan aplikasinya dijadikan sasaran tembak ghazwul fikri.
Untuk mencapai target atau sasaran, sebagaimana digambarkan diatas, setidaknya ada tujuh komponen yang mereka jadikan objek serangan untuk dirusak atau dihancurkan, yaitu:
Apa yang dikatakan oleh Zwemer, sebagaimana dikemukakan diatas, betul-betul mereka wujudkan. Orang-orang kafir menyerang seluruh konsep Islam dan kehidupan kaum muslimin (termasuk sejarahnya). Hampir seluruh ajaran Islam dan aplikasinya dijadikan sasaran tembak ghazwul fikri.
Untuk mencapai target atau sasaran, sebagaimana digambarkan diatas, setidaknya ada tujuh komponen yang mereka jadikan objek serangan untuk dirusak atau dihancurkan, yaitu:
- Alqur’an dan Sunnah yang merupakan sumber atau dasar berfikir, bersikap dan beramal umat Islam;
- Bahasa Arab sebagai bahasa agama (Alqur’an, diin) dan ilmu pengetahuan;
- Sirah (sejarah) Rasulullah SAW sebagai suri tauladan utuh dan abadi bagi umat Islam;
- Kebudayaan Islam sebagai produk pemikiran (ijtihad) para ulama dan mujtahid;
- Sastra Arab;
- Warisan (turats) Islam; dan
- Sejarah Islam.
Cara dan Sarana
Ambisi besar orang-orang kafir (Yahudi, Nasrani, musyrik, dll.) yang didukung dengan semangatdendan membara untuk menaklukkan dunia Islam, mengantarkan mereka melakukan apa saja (menghalalkan segala cara). Diantaranya terlihat dengan sangat jelas dalam Protokolat Zionis Internasional yang dihasilkan di Bazel, Swiss, 1897.
Menurut para pakar yang mengkaji ghazwul fikri, ada beberapa cara atau taktik yang sering dilakukan oleh para penyerbu (orang kafir), antara lain:
Ambisi besar orang-orang kafir (Yahudi, Nasrani, musyrik, dll.) yang didukung dengan semangatdendan membara untuk menaklukkan dunia Islam, mengantarkan mereka melakukan apa saja (menghalalkan segala cara). Diantaranya terlihat dengan sangat jelas dalam Protokolat Zionis Internasional yang dihasilkan di Bazel, Swiss, 1897.
Menurut para pakar yang mengkaji ghazwul fikri, ada beberapa cara atau taktik yang sering dilakukan oleh para penyerbu (orang kafir), antara lain:
- Tasykik, yaitu menimbulkan keragu-raguan dan penangkalan dalam jiwa kaum muslimin terhadap agamanya.
- Tasywih, yaitu pengaburan. Caranya dengan penggambaran buruk tentang Islam untuk menghilangkan kebanggaan kaum muslimin terhadap Islam.
- Tadzwiib, yaitu pelarutan, pencampuradukan atau talbis antara pemikiran dan budaya Islam dengan pemikiran dan budaya Jahiliyah (kufur).
- Taghrib, atau pembaratan (westernisasi), yaitu mendorong kaum muslimin untuk menyenangi dan menerima pemikiran, kebudayaan, gaya hidup dan apa saja yang dating dari Barat.
Cara lain yang lebih praktis dalam melakukan ghazwul fikri adalah penyebaran sekularisme (‘ilmaniyah), nasionalisme (wathoniyah), penyebaran pornografi, memperbanyak tempat-tempat maksiat dan hiburan, penyebaran miras dan narkoba, dan lain-lain.
Adapun sarana (wasa’il) yang digunakan untuk memadamkan cahaya (agama) Allah atau merusak citra Islam maupun menaklukan dunia Islam melalui apa saja yang dapat mereka pergunakan. Yang cukup menonjol antara lain:
Adapun sarana (wasa’il) yang digunakan untuk memadamkan cahaya (agama) Allah atau merusak citra Islam maupun menaklukan dunia Islam melalui apa saja yang dapat mereka pergunakan. Yang cukup menonjol antara lain:
- Penguasaan dan pemanfaatan lembaga atau instansi pemerintah;
- Pembuatan, penguasaan dan pemanfaatan media elektronika, fil, lagu, dll.);
- Pendidikan yang hampir semua perangkatnya berkenaan dengan pendidikan yang mereka kuasai. Misalnya kurikulum, system manajemen dan kepemimpinan, lembaga pendidikan, filsafat pendidikan, dll.;
- Organisasi social kemasyarakatan atau LSM dengan berbagai program dan kegiatannya; dan
- Forum-forum, seperti seminar, diskusi, dialog antar iman, dan semacamnya.
Sekedar Contoh
Barat dengan berbagai lembaga dan wadah kegiatannya, banyak memberikan fasilitas beasiswa studi gratis ke luar negeri. Pemuda dan pemudi yang cerdas darai negeri muslim ditawari untuk kuliah di universitas-universitas mereka yang favorit di luar negeri.
Di bidang ilmu-ilmu social, mereka dipilihkan ke program studi yang rentang terhadap ghazwul fikri, misalnya filsafat, antropologi, sosiologi, dll. Mereka ‘dikader’ untuk menjadi ahli dibidang tersebut, kemudian dipulangkan ke negeri masing-masing. Harapannya, dapat menjadi pelaku utama dalam ghazwul fikri atau merusak Islam dari dalam (pada umumnya berkedok pembaharuan atau modernisasi).
Untuk pemuda-pemudi yang betul-betul brilian, diarahkan ke jurusan yang mereka butuhkan. Mereka ‘dikader’ untuk dipekerjakan di negeri mereka sendiri. Artinya tidak untuk dipulangkan ke negeri asalnya. Mereka inilah yang kemudian sering termasuk dalam brain drain (pelarian intelektual).
Semua yang mereka ‘kader’ akan ‘dikondisikan sedemikian rupa dengan segala cara sehingga rusak dan luntur rasa keagamaan (Islam)nya, luntur akidah, akhlak dan rusak pemikirannya. Mereka didekatkan dengan lawan jenisnya yang cantik atau tampan, diajaknya minum-minum, jalan-jalan, kumpul kebo, dll., diajak diskusi secara kontinyu dengan tema-tema ynag dapat menggiring kepada pelecehan dan perendahan Islam oleh orang-orang tertentu yang lihai, dan dipaksa membuat karya tulis dengan literatur yang telah ditentukan.
Akhirnya setelah studinya selesai dan pulang ke negerinya, si pelajar atau mahasiswa tersebut menjadi orang yang telah tercerabut dari akar budaya dan keislamannya; menjadi orang yang semakin permisif terhadap batas-batas syar’i. Bahkan yang lebih mengerikan adalah keberanian mereka untuk merombak hukum-hukum Islam. Misalnya mengatakan ‘tidak sreg’ dengan hukum waris 2:1, mengatakan bahwa tidak semua orang non-muslim itu kafir, mengatakan semua agama itu sama, dan lain-lain yang bertentangan dengan Alqur’an dan Sunnah.
Bahaya Ghazwul Fikri
Korban ghazwul fikri memang tidak ada yang luka atau terbunuh (mati secara fisik). Namun ghazwul fikri sesungguhnya jauh lebih berbahaya daripada perang konvensional. Dalam perang fisik, konsekuensi seseorang yang paling berat adalah akan mati, yang berarti kehilangan tokoh atau pasukan, kerusakan pada umumnya berupa kerugian materi. Akan tetapi dalam ghazwul fikri yang terserang adalah jiwa, mentalitas dan pemikirannya. Secara fisik, korban ghazwul fikri masih segar bugar.
Jika yang menjadi korban ghazwul fikri adalah seorang tokoh terkemuka dan berpengaruh, maka racun ghazwul fikri itu segera menjalar secara cepat, karena tokoh tersebut akan diikuti dan ditiru oleh pengikut dan penggemarnya. Akhirnya, secara tidak sadar masyarakat terjerumus kedalam jurang kehidupan yang semakin jauh dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Mereka menjadi manusia yang sekuler, sinkretis, materialis, pragmatis dan hedonis. Dengan kata lain mereka telah tercerabut jati dirinya dari akidah Islam, semangat keislaman, dan kemauan untuk memperjuangkan Islam maupun umatnya. Na’udzubillahi min dzalik.
Mengingat begitu besarnya bahaya dan akibat ghazwul fikri bagi kehidupan umat Islam, maka perlu bagi kaum muslimin, khususnya para da’i, muballigh dan cendekiawan muslim untuk memahami ghazwul fikri dan aplikasinya dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sebab tanpa mengerti hakikat dan keberadaannya, tidak akan dapat menghindari serangan ghazwul fikri, dan otomatis tidak bias melawannya. Mudah-mudahan dengan demikian itu, janji Allah untuk liyundzirahu ‘aladdiini kullih atau ‘izzul Islam wal muslimin segera menjadi kenyataan.
Hasbunallahu wa ni’mal wakiil.
Barat dengan berbagai lembaga dan wadah kegiatannya, banyak memberikan fasilitas beasiswa studi gratis ke luar negeri. Pemuda dan pemudi yang cerdas darai negeri muslim ditawari untuk kuliah di universitas-universitas mereka yang favorit di luar negeri.
Di bidang ilmu-ilmu social, mereka dipilihkan ke program studi yang rentang terhadap ghazwul fikri, misalnya filsafat, antropologi, sosiologi, dll. Mereka ‘dikader’ untuk menjadi ahli dibidang tersebut, kemudian dipulangkan ke negeri masing-masing. Harapannya, dapat menjadi pelaku utama dalam ghazwul fikri atau merusak Islam dari dalam (pada umumnya berkedok pembaharuan atau modernisasi).
Untuk pemuda-pemudi yang betul-betul brilian, diarahkan ke jurusan yang mereka butuhkan. Mereka ‘dikader’ untuk dipekerjakan di negeri mereka sendiri. Artinya tidak untuk dipulangkan ke negeri asalnya. Mereka inilah yang kemudian sering termasuk dalam brain drain (pelarian intelektual).
Semua yang mereka ‘kader’ akan ‘dikondisikan sedemikian rupa dengan segala cara sehingga rusak dan luntur rasa keagamaan (Islam)nya, luntur akidah, akhlak dan rusak pemikirannya. Mereka didekatkan dengan lawan jenisnya yang cantik atau tampan, diajaknya minum-minum, jalan-jalan, kumpul kebo, dll., diajak diskusi secara kontinyu dengan tema-tema ynag dapat menggiring kepada pelecehan dan perendahan Islam oleh orang-orang tertentu yang lihai, dan dipaksa membuat karya tulis dengan literatur yang telah ditentukan.
Akhirnya setelah studinya selesai dan pulang ke negerinya, si pelajar atau mahasiswa tersebut menjadi orang yang telah tercerabut dari akar budaya dan keislamannya; menjadi orang yang semakin permisif terhadap batas-batas syar’i. Bahkan yang lebih mengerikan adalah keberanian mereka untuk merombak hukum-hukum Islam. Misalnya mengatakan ‘tidak sreg’ dengan hukum waris 2:1, mengatakan bahwa tidak semua orang non-muslim itu kafir, mengatakan semua agama itu sama, dan lain-lain yang bertentangan dengan Alqur’an dan Sunnah.
Bahaya Ghazwul Fikri
Korban ghazwul fikri memang tidak ada yang luka atau terbunuh (mati secara fisik). Namun ghazwul fikri sesungguhnya jauh lebih berbahaya daripada perang konvensional. Dalam perang fisik, konsekuensi seseorang yang paling berat adalah akan mati, yang berarti kehilangan tokoh atau pasukan, kerusakan pada umumnya berupa kerugian materi. Akan tetapi dalam ghazwul fikri yang terserang adalah jiwa, mentalitas dan pemikirannya. Secara fisik, korban ghazwul fikri masih segar bugar.
Jika yang menjadi korban ghazwul fikri adalah seorang tokoh terkemuka dan berpengaruh, maka racun ghazwul fikri itu segera menjalar secara cepat, karena tokoh tersebut akan diikuti dan ditiru oleh pengikut dan penggemarnya. Akhirnya, secara tidak sadar masyarakat terjerumus kedalam jurang kehidupan yang semakin jauh dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Mereka menjadi manusia yang sekuler, sinkretis, materialis, pragmatis dan hedonis. Dengan kata lain mereka telah tercerabut jati dirinya dari akidah Islam, semangat keislaman, dan kemauan untuk memperjuangkan Islam maupun umatnya. Na’udzubillahi min dzalik.
Mengingat begitu besarnya bahaya dan akibat ghazwul fikri bagi kehidupan umat Islam, maka perlu bagi kaum muslimin, khususnya para da’i, muballigh dan cendekiawan muslim untuk memahami ghazwul fikri dan aplikasinya dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sebab tanpa mengerti hakikat dan keberadaannya, tidak akan dapat menghindari serangan ghazwul fikri, dan otomatis tidak bias melawannya. Mudah-mudahan dengan demikian itu, janji Allah untuk liyundzirahu ‘aladdiini kullih atau ‘izzul Islam wal muslimin segera menjadi kenyataan.
Hasbunallahu wa ni’mal wakiil.
No comments:
Post a Comment