Hari ini ketinggalan Internet....nggak zamannya. Belakangan pendidikan karakter menjadi ‘heboh’ tak berujung dalam dunia
pendidikan kita. Banyak pihak berlomba menyampaikan pernyataan tentang
betapa pentingnya hal itu. Maka, pemerintah pun tergopoh-gopoh mencoba
menuangkan itu dalam kebijakan pendidikan sehingga muncullah
sisipan-sisipan aneh dalam kurikulum kita bahkan hal yang lucu dalam kurikulum Indonesia.
Kalau diamati, pendidikan karakter yang disisip-sisipkan sedemikian
rupa kiranya jauh dari harapan. Tidak semua guru memperhatikan itu. Kalaupun diperhatikan bukan tidak mungkin mereka justru
menyampaikannya/mengimplementasikannya dalam bentuk hafalan. Sebuah
‘jebakan batman’ dalam pengajaran, yang sayangnya selalu berulang dan
berulang seperti halnya yang menimpa pendidikan budi pekerti.
Pendidikan karakter sebaiknya dilaksanakan dengan mengambil
kenyataan-kenyataan yang paling dekat siswa. Misalnya
kebiasaan-kebiasaan siswa yang berpotensi dalam pembentukan karakter
mereka yang kurang baik. Misal kata, kebiasaan siswa sembunyi-sembunyi
menggunakan HP saat pelajaran bahkan mengganggu ketika belajar.
Ketika kita menemukan siswa bermain HP secara sembunyi-sembunyi di
kelas, kita mungkin saja marah dan kemudian menyita HP tersebut. Bisa
jadi, urusan itu tidak berhenti di situ saja, melainkan bisa panjang
hingga ke guru BK dan bahkan Kepala Sekolah. Apalagi bila ternyata orang
tua kurang menyadari bahwa perbuatan anaknya merugikan anaknya
sendiri, kemudian turut campur. Urusan bisa menjadi berlarut dan menguras
energi semua pihak.
Sebenarnya, ada cara yang bisa kita lakukan tanpa memancing persoalan.
Sebelumnya, kita bisa membuat semacam ‘perjanjian permainan’ dengan para
siswa. Kita bisa mengatakan bahwa HP boleh digunakan manakala ada
komando dari guru. Ini dengan tujuan memberikan ruang kepada siswa untuk
menggunakan HP-nya dan tidak semata-mata mengekangnya demi alasan
ketertiban semata. Tentu, perjanjian ini harus diikuti kesepakatan
tentang sanksi dan hadiah yang bisa didapatkan siswa.
Pengaturan semacam itu, dengan nama kesepakatan bersama, akan
mendidik/membiasakan siswa untuk mengerti bahwa haknya tidak dibekap
tetapi juga tidak bebas begitu saja. Mereka akan terdidik untuk mengerti
kapan saat dan tempat yang tepat untuk menggunakan HP-nya dengan efektif. Ini seperti
yang orang Jawa bilang “empan wektu, empan papan’(tahu waktu dan tahu
situasi).
Di samping itu, pembiasaan semacam ini juga akan mendidik mereka untuk
apa sebaiknya HP mereka digunakan. Tentu, guru hanya akan meminta siswa
menggunakan HP-nya (terutama internet) untuk hal-hal positif dan
berkaitan dengan pembelajaran. Dengan demikian, guru berperan
mengarahkan siswa untuk mencari apa saja yang mereka butuhkan dan tidak
membiarkan siswa menggunakan HP (internet) semau-maunya.
Namun perlu kewaspadaan bagi siswa, tidak hanya HP tapi justru merajalela dengan menggunakan Gadget/ smartphone sebagai dalih agar bisa fokus belajar. Jika sekian lama tidak mempunyai aturan dan kesepakatan bersama antara orang tua dan anak maka akan terjadinya karakter anak dibentuk oleh Gadget/internet. Anak yang semaunya bermain bahkan seutuhnya tidak mengenal waktu akan merugikanwaktu bahkan prestasi anak jika tidak mempunyai kesepakatan bersama. Dengan efektifitas anak bisa belajar maka prosedur aturan rumah, sekolah bahkan santai pun mempunyai kewajiban untuk mematuhi auran sesuai kesepakatan bersama. Namun yang lebih penting adalah anak bisa menggunakan gadget yang positif dan bermanfaat buat masa depannya untuk meraih cita-citanya.
No comments:
Post a Comment