Saturday, October 9, 2010

Komunikasi orang tua Anak



Ketika menghadapi lawan bicara yang bermasalah, kita perlu untuk break sebentar dan bertanya pada diri sendiri “Masalah siapakah ini ?“

Kita tidak mungkin menjadi Super Problem Solver, semua kita coba untuk kita tangani sendiri sehingga akhirnya anak tidak belajar untuk mandiri. Anak tidak bisa menalikan sepatunya, ibu yang akan membantu. Anak bertengkar dengan temannya, ibu akan segera mendatangi anak itu bahkan mungkin orangtuanya untuk menyelesaikan masalah. Anak tidak bisa masuk ke sekolah favorit, orang tua akan menggunakan segala cara agar si anak dapat memasuki sekolah tersebut. Begitu terus, orang tua yang menyelesaikan semua permasalahan anak.

Bagaimana anak bisa mandiri jika selalu orang tua yang turun tangan? Bahkan dia akan mempelajari bahwa walaupun itu masalah orang lain, dia bisa ikut campur mengurusi.

Kita seharusnya mengajari anak untuk bertanggung jawab dan menyelesaikan masalahnya sendiri serta tidak ikut campur dengan urusan orang lain. Selanjutnya anak akan belajar mandiri. Ada empat pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada diri sendiri untuk dapat menentukan masalah siapakah ini.

1. Apakah tingkah laku anak mengganggu hak (kita) pribadi sebagai manusia?
2. Apakah tingkah laku anak mengganggu keselamatan dirinya atau orang lain?
3. Apakah tingkah laku anak mengganggu keselamatan harta benda kita?
4. Apakah anak tidak mampu menyelesaikan masalahnya karena usianya yang masih kecil?

Jika dari semua pertanyaan tersebut jawabannya adalah YA, maka itu berarti masalah tersebut adalah masalah orang tua solusinya adalah PESAN SAYA. Jika jawabannya adalah TIDAK, maka merupakan masalah anak dan solusinya adalah MENDENGAR AKTIF.

PESAN SAYA

Dalam berbicara dengan anak, seringkali kita menggunakan bahasa kamu, padahal dengan cara ini justru tidak menyampaikan akibat yang ditimbulkan oleh perilaku anak dan berpusat pada kesalahan anak serta cenderung tidak membedakan antara anak sebagai pribadi dan perilakunya. Hal ini akan membuat anak merasa direndahkan, disudutkan dan disalahkan dan akibatnya anak akan mudah merasa dendam/benci.

Jika menggunakan PESAN SAYA maka lebih menekankan perasaan orang tua sebagai akibat dari perilaku anak, jadi anak akan mengerti bahwa perilakunya mempunyai akibat kepada orang lain. Dengan PESAN SAYA, anak akan merasa nyaman tetapi sadar akan akibat perilakunya tersebut.

Contoh situasi:

Ibu masuk ke kamar anak dan melihat kamar sangat berantakan, buku berserakan, mainan bertebaran, pakaian bergantungan dimana-mana. Si anak sendiri sedang asyik membaca komik di tempat tidur tanpa terganggu dengan keadaan kamar

Pesan Kamu : “Ya ampun, Kakak….kok malah asyik baca sih… Coba lihat kamarmu berantakan gini, sudah dibilang berkali-kali…kamar itu mesti rapi. Kamu kok ga dengerin Ibu sih…”

Pesan Saya : “ Kakak…Ibu tuh merasa kesal kalau melihat kamarmu berantakan begini karena jadi kelihatan sumpek, kotor dan terutama lagi bisa jadi sarang nyamuk”

Coba perhatikan beda antara Pesan Kamu dan Pesan Saya.

Pertama kali tentukan dulu masalah siapa ini dengan menjawab 4 pertanyaan di atas, untuk kasus di atas, saya yakin semua setuju bahwa kondisi itu merupakan masalah orang tua. Jadi clue kalimat dalam pesan saya adalah: Ibu merasa ……....kalau kamu…….…..karena…….….

Atau kalimat lain yang sejenis, yang jelas poin kalimatnya adalah penekanan perasaan orang tua terhadap kondisi yang terjadi dan jangan lupa jelaskan alasannya kenapa. Karena saya yakin anak sekarang tidak mudah menerima pendapat orang tua jika tidak disertai alasan yang logis. Ingat juga bahwa dalam menyampaikan Pesan Saya tersebut kita melandasinya dengan perasaan kasih, tegas dan tidak merusak harga diri dan perasaan anak.

Waktu pelatihan tersebut Ibu Rani memberi contoh kejadian yang dialaminya dengan anak bungsunya. Waktu itu si Bungsu pulang terlambat dari sekolah tanpa pemberitahuan. Sejam pertama Bu Rani merasa masih bisa terima karena mungkin saja terlambat akibat macet Dua jam terlambat mulai merasa khawatir karena takut terjadi apa-apa. Tiga jam-empat jam berikutnya berubah jadi jengkel dan selanjutnya marah. Sambil menunggu di depan pintu dengan kemarahan yang memuncak, Bu Rani berusaha menghapus kemarahannya dengan membayangkan betapa sangat sayangnya beliau kepada si anak. Dia mengingat-ingat hal yang indah-indah dari si anak sehingga ketika sang anak muncul di depan pintu Ibu Rani langsung memeluk si anak dan mengucapkan:

“Aduh sayang…ibu khawatir dan takut sekali kalau kamu pulang terlambat tanpa pemberitahuan begini karena mungkin saja terjadi apa-apa sama kamu sedangkan ibu tidak bisa menghubungi siapa-siapa. Lain kali jangan lupa untuk memberitahu Ibu ya”.

Ibu Rani selalu memberi contoh kejadian nyata antara si bungsu dengan dirinya karena dulu beliau sengaja terjun ke bidang parenting ini karena ingin membesarkan si bungsu dengan cara yang benar. Hasilnya adalah si bungsu yang saat ini sudah SMP menjadi anak dengan rasa empati yang tinggi dan selalu berkomunikasi dengan kedua orang tuanya sehingga diharapkan dengan kondisi pergaulan yang seperti sekarang ini si anak dapat menjadi pribadi yang tangguh dan peka.

MENDENGAR AKTIF

Jika dalam penentuan masalah, jawaban dari empat pertanyaan di atas adalah tidak maka merupakan masalah anak sehingga ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan yaitu membantu (sejauh mana?) dan membiarkan si anak mengatasinya sendiri. Nah, dalam menanggapi anak inilah kita melakukan MENDENGAR AKTIF artinya berusaha mendengar tidak hanya dengan telinga tapi juga dengan mata dan hati. Dengan demikian yang kita lakukan adalah pemahaman empatik, memahami dari sudut pandang anak bukan dari yang kita lihat atau kita pikirkan.

Mendengar aktif akan sangat tepat digunakan jika:

* Anak sedang bermasalah dan menunjukkan emosi yang kuat (marah, sedih, menangis)
* Emosi anak tidak cukup kuat, namun bisa kita rasakan perasaannya sedang tidak nyaman
* Kita ingin menolak permintaan anak
* Ketika kita tidak menerima “ejekan atau cap” yang diberikan anak ( misalnya:”aku benci sama Mama..”)

Dengan mendengar aktif, kita membantu anak untuk mengenali, menerima, mengerti dan sadar akan perasaannya sendiri. Selain itu dapat membantu mereka mengatasi perasaann dan masalahnya, sehingga mereka dapat mengekspresikan perasaannya secara tepat dan dapat diterima. Pada akhirnya mereka pun akan belajar untuk peduli dan memahami orang lain.
Pada saat kita melakukan Mendengar Aktif, kita sebagai orang tua harus mampu menghargai perasaan dan apa yang diucapkan anak, terbuka terhadap makna dibelakang kata dan bahasa tubuhnya dan mau mengerti dan memahami apa yang dialami anak.

Hal yang paling utama adalah perhatian penuh kepada anak, artinya jangan sambil melakukan pekerjaan lain dan lakukan kontak mata. Carikan kata yang paling menggambarkan perasaan anak, dengan rumus: Kamu …………… (perasaan) karena …………(alasan).

Satu hal lagi, jangan menggunakan 12 gaya populer.

Contoh kasus misalnya dari dialog yang saya contohkan di tulisan pertama.

I. Mendengar Biasa

Menggunakan 12 gaya popular terutama mengkritik,menasehati, memberi peringatan/ mengancam

Anak : “Aku benci sama Ibu Guru”

Ibu : “Eh, kok ngomongnya gitu sih. kamu harus hormat pada gurumu”.

Anak : “Ibu Guru bikin aku malu. Masak aku dimarahin di depan teman-teman..”

Ibu : “Bu Guru marah pasti karena kamu berbuat salah, ya kan?”

Anak : “Aku kan cuma mau pinjam selembar kertas.”

Ibu : “Kamu tidak membawa kertas? Itulah hukumannya kalau kamu tidak mempersiapkan peralatan sekolah di malam hari. Berapa kali Ibu harus mengingatkanmu untuk selalu menyiapkan peralatan sekolahmu sebelum berangkat? Kalau saja kamu turuti kata-kata Ibu pasti hal itu ga akan terjadi.”

Anak : “Ah, Ibu cerewet..”

Ibu : “Jangan bicara seperti itu pada Ibumu..!”

Anak : “Iya,iya aku yang salah, aku teruus yang salah, ibu yang benar. Ah..Ibu ga pernah ngerti perasaanku.”





II. Mendengar Aktif

Menerima dan merefleksikan perasaan dan harapan anak

Anak : “Aku benci sama Ibu Guru”

Ibu : “Kamu kedengarannya sedang kesal ya?”

Anak : “Bu Guru marah-marah di depan temanku dan ga jelas alasan marahnya”.

Ibu : “Waaah, kamu pasti malu dan kesal ya”.

Anak : “Bu Guru marah karena aku lupa bawa kertas.”

Ibu : ”Oooo, begitu.. Terus gimana?”

Anak : “Ya..kadang-kadang aku memang lupa bawa perlengkapan sekolah.”

Ibu : “Dan sebenarnya kamu ga ingin lupa kan?”

Anak : “Ya, Bu. Makanya mulai besok, aku akan mempersiapkan dulu semua peralatan sekolah di malam hari. Jadi ga akan ketinggalan lagi”

Ibu : “Kelihatannya kamu sudah menemukan jawaban untuk masalahmu itu.”

Anak : “Ya, Bu. Terimakasih ya.”

Bagaimana menurut Anda setelah membaca contoh di atas?

Dengan menggunakan 12 gaya popular, perasaan anak tidak diakui dan membuat anak untuk berhenti menceritakan apa yang dialaminya, karena tanggapan orang tua selalu menidakkan perasaan yang dialaminya. Anak akan merasa daripada disalahkan terus oleh orang tua lebih baik baginya untuk tidak bercerita. Dan mandeglah komunikasi orang tua dan anak.

Dengan mendengar aktif maka, perasaan anak diakui dan orang tua dapat mengarahkan dengan benar apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa ikut serta memutuskan, orang tua juga dapat mengarahkan anak untuk memutuskan sendiri langkah apa yang harus diambil untuk mengatasi masalahnya.

Sebagai latihan Anda dapat memecahkan masalah yang ada dalam contoh 12 gaya popular untuk diselesaikan apakah melalui PESAN SAYA atau MENDENGAR AKTIF.

Selanjutnya praktek yang paling nyata adalah bagaimana Anda melakukan komunikasi aktif dengan orang-orang yang Anda sayangi dengan menggunakan teori di atas. Saya sendiri pun masih dalam tahap belajar, seringkali apa yang saya lakukan masih kembali lagi menggunakan 12 gaya popular (bagaimanapun reflek yang sudah seumur hidup nempel ya gaya itu). Namun dengan membaca kembali modul seperti yang saya lakukan sekarang, membuat saya teringat lagi untuk melakukan yang lebih baik. Bukankah kita ingin membangun generasi mendatang yang jauh lebih baik? Tidak usah terlalu jauh, cukuplah dimulai dari lingkungan terdekat.

Jika Anda tanya apa yang saya dapat dengan metode di atas diterapkan di sekolah dan di rumah ? Anak-anak saya menjadi mudah untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan dan terutama sekali adalah si sulung yang sangat pandai berempati (bahkan guru-gurunya mengatakan bahwa si sulung sangat mudah diajak berkomunikasi dan sangat mengerti terhadap orang lain, baik itu guru maupun teman sebaya). Anak kedua pun menjadi mudah berbicara padahal sebelumnya dia seringkali tantrum sampai saya kewalahan mengatasinya.
Semoga bisa bermanfaat…

No comments: