Wednesday, October 20, 2010
Sekolah Jadi Penjara Bagi Anak
"Sistem pendidikan kita memperlakukan anak seperti robot. Anak ke sekolah harus membawa koper berisi begitu banyak buku, sampai di rumah masih harus mengerjakan PR. Habis itu terus teler,"
Padahal, katanya, bermain merupakan salah satu unsur penting dalam tumbuh kembang fisik, intelektual, dan mental anak.
Sistem pendidikan yang kaku dan mengekang seperti itu, menganggap otak anak-anak kosong, sehingga harus dijejali dengan berbagai hafalan materi pelajaran.
Karena sekolah sudah seperti penjara bagi peserta didik, maka ketika guru mengumumkan siswa bisa pulang lebih awal karena guru akan rapat, reaksi spontan siswa adalah kegirangan.
"Mereka bergembira karena bisa lepas sejenak dari penjara," karena beban di sekolah berat, tidak mengherankan bila sebagian anak pada saat ini ada yang mengidap fobia sekolah (school phobia), yang manifestasinya bisa bermacam, misalnya merasa sakit, tidak enak badan, dan lainnya.Beban berat tersebut tidak hanya dialami siswa di Indonesia, tetapi dihadapi siswa bangsa-bangsa lain yang ingin mengejar kemajuan, terutama bangsa-bangsa di Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan lainnya.
"Mereka stres menghadapi situasi sekolah dan lingkungan yang begitu menekan, sehingga ada yang nekat bunuh diri. Padahal semua anak ingin bersekolah dalam situasi gembira. Kurikulum pendidikan dasar di Indonesia terlalu padat, sehingga kurang memberi ruang ekpresi dan kreativitas bagi peserta didik. Padahal, pendidikan nasional bertujuan mengembangkan segenap potensi peserta didik, bukan ingin menciptakan robot atau bebek-bebek (penurut, red).
Menurut dia, kreativitas dengan kedisiplinan seseorang bisa berjalan beriring karena itu keliru bila kebebasan dan kreativitas identik dengan ketidakdispilinan.
"Kecerdasan intelektual (IQ) bukan segala-galanya. Masih ada banyak kecerdasan yang bisa dikembangkan untuk tumbuh kembang anak," katanya.
Ilustrasi lima tokoh nasional yang memiliki prestasi istimewa di bidangnya masing-masing. B.J. Habibie yang ahli pesawat terbang, Rudy Hartono (juara tujuh kali berturut-turut All England), Rudy Salam (aktor), Rudi Hadisuwarno (tata rias), dan Rudy Choirudin (kuliner).
"Jadi, spektrum kecerdasan itu sangat luas. Rudi Hadisuwarno ketika kecil hobi menggunting-gunting kertas, lantas belakangan mahir gunting rambut," Kepala Biro Kerja Sama dan Pemasyarakatan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Neni Sintawardani, mengemukakan Finlandia merupakan negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia.
Padahal, katanya, di negara itu siswa hanya menempuh belajar di sekolah 30 jam per minggu, sedangkan di Korsel 50 jam dan siswa Indonesia menghabiskan waktu di sekolah jauh lebih banyak dibanding murid Finlandia.
"Finlandia bisa sukses karena guru-gurunya berkualitas. Yang menjadi guru adalah lulusan terbaik SMA. Gaji mereka tidak fantastis, tapi profesi mereka sangat dihargai," kata Neni.Kunci sukses lain Finlandia, katanya, guru di negeri itu tidak pernah mengritik siswa yang gagal, tetapi terus mendorong siswa bisa bekerja independen. "Kegagalan siswa juga menjadikan guru introspeksi. Apa yang salah dengan sistem pembelajaran," katanya.
Apa yang dimaksud pendidikan yang membebaskan? Membebaskan anak untuk berkreasi, mengekspresikan perasaannya, dan sebagainya. Intinya tidak membebani anak dan tidak menjadikan sekolah itu seperti penjara. Ketika anak mendengar “hari ini boleh pulang, kerena ibu guru mau rapat,” mereka bilang “horeee, bebas!” Ini karena sekolah kita laksana penjara. Seharusnya sekolah itu membebaskan ide-ide kreatif
mereka.
Sistem pendidikan kita sudah membebaskan? Belum! Kesadaran bahwa pendidikan itu untuk anak, belajar itu hak bukan kewajiban, itu masih minim. Sekarang anak-anak
lebih banyak diperlakukan seperti robot; harus nurut, anak untuk kurikulum, sarat kekerasan, dan kadang sekedar mengejar nilai bukan proses. Ini sangat merugikan bagi pengembangan kreativitas dan kemandirian anak.
Pendidikan yang membebaskan itu seperti apa? Seperti home schooling, sekolah alternatif, juga sekolah alam yang memungkinkan anak belajar dengan cara masing-masing. Kalau ada delapan standar pendidikan nasional yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), maka yang harus diikuti hanya tiga; yaitu standar isi kurikulum, standar kompetensi lulusan dan standar evaluasi. Sedangkan standar proses, standar guru, standar biaya, standar sarana prasarana, itu bebas.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment