Thursday, November 5, 2015

Secuil Kisah Keadilan Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Kisah-kisah para pendahulu kita dari kalangan shohabat maupun thabi’in memang penuh dengan hikmah-hikmah yang mengagumkan. Tiap kali selesai membaca satu kisah maka hati akan tergerak menuju kisah lain di lembar berikutnya. Kini, kami suguhkan satu kisah menarik yang dituliskan Dr. Abdurrahman Ra’fat Al-Basya dalam kitabnya Shuwar Min Hayati At-Thabi’in. Ath-Tabari telah mengisahkan kepada kita dari Thufail bin Mirdas:

Ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khilafah beliau menulis surat untuk Sulaiman bin Abi As-Sari, gubernur beliau di Shugdi yang isinya:
“Buatlah di negerimu pondok-pondok untuk menjamu kaum muslimin. Jika salah seorang di antara mereka lewat, maka jamulah ia sehari semalam, perbaguslah keadaannya dan rawatlah kendaraannya. Jika dia mengeluhkan kesusahan, maka perintahkan pegawaimu untuk menjamunya selama dua hari dan bantulah ia keluar dari kesusahannya. Jika ia tersesat jalan, tidak ada penolong baginya dan tidak ada kendaraannya yang bisa dia tunggangi, maka berikanlah kepadanya sesuatu yang menjadi kebutuhannya hingga ia bisa kembali ke negerinya.”

Maka sang gubernur segera mewujudkan perintah Amirul Mukminin. Dia membangun pondok-pondok sebagaimana yang diperintahkan Amirul Mukminin untuk disediakan bagi kaum muslimin. Lalu tersebarlah berita tersebut ke segala penjuru. Orang-orang dari belahan bumi Islam di barat dan timur ramai membicarakannya dan menyebut-nyebut keadilan Khalifah serta ketakwaannya.

Mendengar hal itu penduduk Samarkand tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, hingga mereka mendatangi gubernur mereka Sulaiman bin As-Sari dan berkata,

“Sesungguhnya pendahulu anda yang bernama Qutaibah bin Muslim Al-Bahili (Panglima Mujahidin) telah merampas negeri kami tanpa memberikan peringatan (dakwah) terlebih dahulu, dia tidak sebagaimana yang kalian lakukan –wahai kaum muslimin- yakni memberikan peluang sebelum memerangi. Yang kami tahu, kalian menyeru musuh-musuh agar mau masuk Islam terlebih dahulu. Jika mereka menolak kalian menyuruh mereka untuk membayar jiyzah. Jika mereka menolaknya barulah kalian mengumumkan perang.

Sesungguhnya kami melihat keadilan Khilafah anda dan ketakwaannya sehingga kami berhasrat untuk mengadukan kepada kalian atas apa yang telah dilakukan salah seorang panglima perang kalian terhadap kami. Maka izinkanlah, wahai Amir, agar salah satu dari kami melaporkan hal itu kepada Khalifah anda dan untuk mengadukan kezaliman yang telah kami rasakan. Jika kami memang memiliki hak untuk itu, maka berikanlah untuk kami, namun jika tidak, kami akan pulang kembali ke asal kami.”

Perlu diketahui, kota Samarkand adalah sebuah kota di Uzbekistan yang ditaklukan oleh panglima mujahidin Qutaibah bin Muslim Al-Bahili.

Kemudian Sulaiman mengizinkan salah seorang dari mereka menjadi wakil untuk menemuiKhalifah di negeri Damsyik (Damaskus). Ketika utusan tersebut sampai di rumah Khalifah dan mengadukan persoalan mereka kepada Khalifah muslimin Umar bin Abdul Aziz, maka khilafah menulis surat untuk gubernurnya Sulaiman bin As-Sari yang isinya:


“Amma ba’du. Jika telah sampai kepada anda surat ini, maka sediakanlah seorang qadhi untuk penduduk Samarkand yang akan mempelajari pengaduan mereka. Jika qadhi itu telah memutuskan bahwa kebenaran di pihak mereka, maka perintahkanlah kepada seluruh pasukan muslimin untuk meninggalkan kota mereka dan segera kembali ke negeri asal mereka. Lalu kembalikanlah keadaan seperti semula sebagaimana kita belum mendatangi mereka. Yaitu sebelum Qutaibah bin Muslim Al-Bahili masuk ke negeri mereka.”

Sampailah sang utusan kepada Sulaiman bin Abi As-Sariy kemudian diserahkannya surat dariAmirul Mukminin kepada beliau, segera gubernur menunjuk seorang qadhi yang terkemuka Juma’i bin Hadhir An-Naji.

Sang qadhi mempelajari pengaduan mereka, beliau meminta agar mereka menceritakan persoalan mereka, juga mendengar kesaksian dari beberapa saksi dari pasukan muslim dan pemuka penduduk Samarkand. Maka sang qadhi membenarkan tuduhan penduduk Samarkand dan memenangkan urusan di pihak mereka.

Seketika itu juga, gubernur memerintahkan kepada seluruh pasukan kaum muslimin (mujahidin) untuk meninggalkan kota Samarkand dan kembali ke markas-markas mereka, namun tetap bersiap-siap berjihad pada kesempatan yang lain. Mungkin akan kembali memasuki negeri mereka dengan damai, atau akan mengalahkan mereka dengan peperangan lain, atau bisa jadi pula bukan takdirnya untuk menaklukan mereka.

Ketika para pemuka penduduk Samarkand mendengar keputusan sang qadhi yang memenangkan urusan mereka, masing-masing saling berbisik satu sama lain,

“Celaka, kalian telah bercampurbaur dengan kaum muslimin dan tinggal bersama mereka, sedangkan kalian mengetahui kepribadian, keadilan dan kejujuran mereka sebagaimana yang kalian lihat, mintalah agar mereka tetap tinggal bersama kalian, bergaullah kepada mereka dengan baik, dan berbahagialah kalian tinggal bersama mereka…”

No comments: