Jamaah kita adalah kumpulan manusia. Bukan kumpulan malaikat yang tidak pernah berdosa, juga bukan kumpulan syetan yang selalu melakukan dosa.
Tidak ada manusia yang sempurna, selain Rasulullah saw. Kesalahan
sangat mungkin dilakukan oleh anggota jamaah, bahkan tidak menutup
kemungkinan dilakukan oleh para pimpinannya. Oleh karena itu, setiap
anggota tidak sepatutnya mengaitkan komitmennya dengan ketaatan atau
kekeliruan seseorang, siapa pun dia. Juga tidak menjadikan kesalahan
seseorang sebagai peluang untuk melakukan kesalahan yang lain; seperti
menggujing, menghina, mencaci maki, menyebarkan aib saudara,
mencari-cari kesalahan, dan sejeninya. Bahkan seharusnya dikembangkan
budaya menasihati dan mencarikan undzur untuk saudaranya yang bersalah,
bukan mencaci dan menghakimi.
Kehidupan para shahabat di masa Rasulullah saw. adalah teladan kita;
mereka (para shahabat) adalah kumpulan manusia, yang tidak terlepas dari
salah. Contohnya Hatib bin Abi Balta’ah ra.
Pada awal Bulan Ramadlan tahun ke delapan Hijriah, Rasulullah saw.
melakukan beberapa manuver untuk merahasiakan rencana pembebsan Makkah
dan memberi kesan pada publik bahwa beliau tidak mengerahkan pasukan ke
Makkah. Di samping itu, beliau juga berdoa kepada Allah swt. agar
merahasiakan rencana tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Tarikh
Ath-Thabari,
اللّهُمَّ خُذِ الْعُيُوْنَ وَاْلأَخْبَارَ عَنْ قُرَيْشٍ حَتَّى نَبْغَتُهَا فِي بِلاَدِهَا
“Ya Allah, peganglah mata-mata dan berita-berita agar tidak sampai ke
Quraisy, sehingga kami dapat menyerangnya secara tiba-tiba di
negaranya.”
Sementara itu, ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah
menulis surat untuk tokoh-tokoh Quraisy. Dalam suratnya, Hatib
mengabarkan rencana keberangkatan Rasulullah saw. menuju Makkah untuk
melakukan serangan mendadak. Surat tersebut dititipkan pada seorang
wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungan rambutnya.
Namun, Allah swt. Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada Nabi-Nya
tentang apa yang dilakukan Hatib.
Beliau pun mengutus Ali bin Abi Thalib ra., Miqdad bin Aswad ra.,
Zubair bin Awwam ra., dan Abu Murtsid Al-Ghanawi ra. untuk mengejar
wanita yang membawa surat tersebut. Beliau memberi intruksi kepada
mereka, “Segeralah kalian berangkat hingga kalian sampai di Raudlah Khakh sebab disana ada seorang wanita membawa surat untuk orang-orang quraisy.”
Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung
meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa
dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya,
namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Maka Ali ra. berkata,
“Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah saw. tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”
Setelah tahu kesungguhan Ali ra., wanita itupun menyerahkan suratnya kepada Ali ra.
Sesampainya di Madinah, Ali ra. langsung menyerahkan surat tersebut
kepada Rasulullah saw. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi
Balta’ah. Dengan bijak Rasulullah saw. menanyakan alasan Hatib, lalu ia
menjawab,
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang
yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak
mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku
bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak.
Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara
orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi
mereka. Maka dengan jasa itu, aku berharap Allah swt. melindungi
kerabatku di sana melalui mereka.”
Mengetahui berita trsebut, Umar bin Khattab ra. mengeluarkan
statement (baca menghakimi) bahwa Hatib adalah pengkhianat dan munafik,
“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta bersikap munafik.”
Rasulullah saw. dengan bijak menjawab, “Sesungguhnya ia telah ikut
perang Badr. Lalu apa yang engkau ketahui, wahaiUmar ? Sungguh Allah
telah meilihat isi hati orang-orang yang ikut dalam perang badar, seraya
berfirman, “Berbuatlah sekehendak kalian, karena Allah telah mengampuni
kesalahan kalian.”
Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Kisah Hatib ra. ini diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan
musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka
mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….”
(Al Mumtahanah: 1)
Riawayat tersebut memberikan beberapa pelajaran, antara lain:
- Tidak ada manusia yang sempurna, selain Rasulullah saw. Bahkan shahabat yang ikut perang Badar pun, bisa melakukan kesalahan.
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap manusia itu bersalah, dan sebaik-baik yang bersalah adalah
yang bertaubat.” (h.r. Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi)
Hadits ini menegaskan bahwa tidak ada kesempurnaan pada manusia
(kecuali para nabi), karena itu jangan menuntut manusia sempurna dalam
segala hal, dan jangan menghilangkan kecintaan pada saudara karena
kesalahan yang dilakukannya, terutama jika ia mau mengakui kesalahan dan
bertaubat kepada Allah swt.
Orang yang selalu menuntut saudaranya harus sempurna (perfeksionis)
akan kehabisan energi, mudah kecewa, mudah putus asa, gampang
menghakimi, dan gemar mengkritik, yang pada akhirnya akan terpuruk saat
ia juga melakukan kesalahan.
- Tidak sepatutnya kita tergesa-gesa menghakimi saudara kita, meski kita mendapatkan bukti-bukti kongkrit, karena boleh jadi bukti yang kita kumpulkan belum cukup untuk menghukumi saudara kita.
Meski Umar bin Khathab telah mengantongi tiga fakta; Hatib telah
menulis surat, Hatib telah menyewa perempuan untuk mengirim surat, dan
Hatib telah mengakui sendiri. Namun fakta tersebut belum cukup untuk
menghukumi Hatib dengan pernyataan, “Wahai Rasulullah, biarkan aku
memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya
serta bersikap munafik.”
Oleh karena itu Rasulullah saw. mengingatkan Umar bin Khathab ra.
dengan tiga hal lain yang harus menjadi pertimbangan, yaitu; bahwa Hatib
ikut dalam perang Badr, bahwa Allah swt. mengampuni dosa para shahabat
yang ikut perang Badr, dan alasan Hatib menulis surat tersebut.
Apabila dengan tiga fakta yang kuat tidak diperkenankan menghakimi
orang, maka apalagi menghakimi saudara tanpa didasarkan pada fakta,
hanya sekedar isu atau berita dari media. Apalagi kalau sudara yang
dihakimi itu adalah para pimpinan dakwah yang telah dikenal kebaikan dan
jasanya???
- Kesalahan yang telah terbukti tetap harus ditegur dan diproses secara struktural oleh pihak-pihak yang berwenang, namun tidak menjadi bahan pembicaraan di kalangan anggota. Tidak ada maslahatnya memperbincangkan kesalahan saudara kita, kecuali menambah dosa dan mencemarkan saudara. Juga tidak ada gunanya menghakimi saudara kita, kecuali akan menumbuh suburkan sikap kebencian, menebarkan kecurigaan dan prasangka, membudayakan sikap tajassus (mencari-cari kesalahan saudara) dan sikap-sikap lainnya yang mengantar pada permusuhan serta perpecahan.
Sangat tepat kalau kita membaca kembali karya Mursyid kedua Ikhwanul Muslimun (Ustadz Hasan Hudlaibi rahimahullah), Nahnu du’at laa qudloot (Kami para da’i bukan para hakim).
Dan, sangat tepat kalau kita merenungkan dan men-tadabbur-i kembali firman Allah swt.,
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya
kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum
mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang
diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula
wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi
wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang
mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah
kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa
yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 10 –
13)
Juga sabda Rasulullah saw.,
لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ
تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا
عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ
وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى
صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ
أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ
وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Janganlah saling mendengki, saling mencari-cari kesalahan, saling
membenci, saling membelakangi, dan janganlah sebagian menjual di atas
jualan sebagian yang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah swt. yang
bersaudara. Muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak boleh
menzhaliminya, membiarkannya celaka, dan meremehkannya. Taqwa itu ada di
sini –beliau mengisyaratkan pada dadanya- sebanyak tiga kali. Cukuplah
keburukan seseorang yang meremehkan saudaranya sesama muslim. Setiap
muslim itu diharamkan darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim
yang lain.” (h.r. Muslim dari Abu Hurairah ra.)
No comments:
Post a Comment