Pendidikan di Indonesia bersifat klasikal, artinya semua
siswa diperlakukan sama. Padahal setiap siswa memiliki Intelegensi, bakat, dan
minat yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan siswa yang memiliki kemampuan
diatas normal merasa jenuh karena harus menunggu siswa lain yang lebih lamban
darinya. Hal terburuk yang dapat terjadi adalah siswa tersebut cenderung
memberikan kesan dan tindakan yang kurang baik sehingga kegiatan belajar
mengajar dalam kelas kurang lancar. Siswa-siswa yang memiliki kemampuan diats
normal juga menjadi tidak dapat mengembangkan potensinya se-optimal mungkin.
Untuk itu, diperlukan penanganan khusus berupa program
khusus yang lebih cepat atau lebih luas dari program pendidikan biasa/reguler.
“Lebih cepat” dapat diartikan bahwa siswa akan dapat
menyelesaikan program reguler dalam waktu yang lebih singkat. Jika itu terjadi
berarti merupakan efisiensi waktu yang cukup signifikan.
“Lebih luas” dapat diartikan bahwa siswa akan memperoleh
kemampuan yang lebih banyak dan dalam dibandingkan dengan siswa program
reguler.
Pengertian Akselerasi
Program percepatan belajar atau program siswa berbakat
akademis adalah program pendidikan yang memberikan kesempatan kepada siswa yang
memiliki kemampuan diatas rata-rata untuk dapat menyelesaikan program pendidikannya
dalam waktu lebih cepat dari siswa lainnya.
Landasan hukum
Pada Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional BAB III:
-Pasal 8 menyatakan
bahwa: warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa, berhak
memperoleh perhatian khusus.
-Pasal 24 menyatakan
bahwa setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak
antara lain sebagai berikut:
- Mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya.(butir 1)
- Menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu
yang ditentukan. (butir 6)
Landasan hukum untuk melaksanakan program siswa berbakat
adalah Undang-undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
sebagai berikut : Pasal 5 ayat 4 dan Pasal 12 ayat 1.
Penyelenggaraan Program Siswa berbakat akademik mempunyai
tujuan:
-Memberi pelayanan
khusus kepada siswa yang mempunyai bakat dan kecerdasan istimewa.
-Memberi kesempatan
kepada siswa yang ingin menyelesaikan program pendidikan lebih cepat.
-Mengembangkan
kemampuan berfikir dan bernalar siswa lebih komprehensif dan optimal.
-Mengembangkan
kreativitas secara optimal.
Indikator keberhasilan siswa-siswa berbakat akademik adalah
:
1. Memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk masuk ke
perguruan tinggi favorit.
2. Munculnya minat dan bakat siswa secara optimal.
Siswa-siswa berbakat yang dihasilkan lewat program siswa
berbakat akademik diharapkan memiliki :
1. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Motivasi dan komitmen yang tinggi untuk mencapai prestasi
tinggi.
3. Gemar membaca dan meneliti
4. Disiplin yang tinggi
5. Memiliki jiwa seni yang tinggi
Persyaratan menjadi siswa/siswi berbakat adalah :
1. Akademis
· Nilai UN minimal rata-rata 8,00
· Rata-rata nilai raport minimal 8,00
· Nilai Tes Akademik (IPA, Matematika, Bahasa Indonesia)
Rata-rata minimal 8,00.
2. Hasil Pemeriksaan Psikologis
· Tingkat kecerdasan IQ minimal 125
· Memiliki Tingkat kreativitas CQ yang tinggi
· Komitmen terhadap tugas TC yang tinggi
3. Memiliki minat yang tinggi dan mampu belajar mandiri
4. Mendapat persetujuan Orang Tua
5. Mengikuti Wawancara
Selama kurang lebih 1 bulan siswa berbakat akan diamati oleh
guru dan teman sebaya sebagai bahan rekomendasi pengamatan kepribadian.
(Biasanya yang lolos sekitar 3 – 10%).
Penyelenggaraan program Akselerasi
Pertemuan dengan orang tua perlu dilakukan, baik sebelum
maupun sesudah hasil seleksi. Pertemuan sebelum hasil seleksi bertujuan
menjelaskan kepada orang tua maksud dan pentingnya identifikasi anak berbakat
dalam rangka memperoleh pelayanan program pendidikan sesuai dengan bakat dan
kemampuannya. Sedangkan pertemuan sesudah penetapan hasil seleksi bertujuan
untuk menjelaskan program akselerasi yang akan diselenggarakan oleh sekolah dan
betapa pentingnya peran serta orang tua dalam menunjang kelancaran dan
keberhasilan program tersebut. Dalam pertemuan ini sekaligus dibuat kesepakatan
bahwa bila nantinya siswa tidak bisa mengikuti program ini dengan baik, maka
siswa tersebut akan dikembalikan ke program reguler.
Unsur– unsur kelas akselerasi :
1) Guru
Guru yang mengajar Program Akselerasi adalah guru-guru biasa
yang juga mengajar program reguler. Hanya saja sebelumnya, mereka telah
dipersiapkan dalam suatu lokakarya dan Workshop sehingga memiliki pemahaman
tentang perlunya layanan pendidikan bagi anak-anak berbakat, keterampilan
menyusun Program Kerja Guru (PKG), pemilihan strategi pembelajaran, penyusunan
catatan lapangan serta melakukan evaluasi pengajaran bagi program Siswa Cepat.
2) Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Alokasi jam belajar tatap muka atau lama belajar diatur sama
dengan program reguler dalam satu minggu.
Perbedaan antara kurikulum siswa akselerasi dengan reguler
adalah :
Penyusunan struktur program pengajaran dengan alokasi waktu
yang lebih singkat. Yaitu dari tiga tahun menjadi dua tahun.
Tahun Pertama :
§ 100% materi
pelajaran kelas 1
§ 50% materi
pelajaran kelas 2
Tahun Kedua :
§ 50% materi
pelajaran kelas 2
§ 100% materi
pelajaran kelas 3
Terletak pada pemilihan materi esensial dan non esensial
serta pengembangan kurikulum berdiferensiasi. Untuk itu setiap guru yang
mengajar di kelas akselerasi perlu terlebih dulu melakukan analisis materi
pelajaran untuk menentukan sifat materi yang esensial dan kurang.
Suatu materi dikatakan memiliki konsep esensial bila
memenuhi unsur kriteria berikut ini:
(1) konsep dasar
(2) konsep yang menjadi dasar untuk konsep berikut
(3) konsep yang berguna untuk aplikasi
(4) konsep yang sering muncul pada EBTANAS/UN
(5) konsep yang sering muncul pada UMPTN untuk SMU.
3.) Strategi Pembelajaran
Pembelajaran untuk Program akselerasi harus diwarnai
kecepatan dan tingkat kompleksitas yang lebih sesuai dengan tingkat kemampuan
yang lebih tinggi dan siswa kelas reguler, serta menekankan pada perkembangan
kreatif dan proses berpikir tinggi.
Strategi pembelajaran yang sesuai untuk Program akselerasi
adalah : Strategi pembelajaran yang terfokus pada belajar bagaimana seharusnya
belajar. Strategi itu harus menekankan pada perkembangan kemampuan intelektual
tinggi. Strategi itu harus memiliki kepekaan (sensitif) terhadap kemajuan
belajar dari tingkat konseptual rendah kepada tingkat intelektual tinggi. Untuk
itu metode pembelajaran yang paling sesuai adalah metode pembelajaran induktif,
divergen dan berpikir evaluatif. Hafalan pada pembelajaran Program Siswa Cepat
sejauh mungkin dicegah dengan memberikan tekanan pada teknik yang berorientasi
pada penemuan (discovery oriented) dan pendekatan induktif.
4) Evaluasi Belajar dan Laporan Hasil Belajar.
Evaluasi belajar yang dilakukan pada Program Siswa Cepat
pada dasarnya tidak berbeda dengan siswa kelas reguler. Perbedaannya hanya
terletak pada jadual tes karena untuk Program Siswa Cepat mengacu kepada
kalender pendidikan yang dibuat khusus. Meskipun demikian, ada baiknya pada
saat siswa kelas reguler mengikuti ulangan umum akhir cawu, mereka dapat
diikutsertakan. Hal ini sangat baik untuk mendapatkan data pembanding tingkat
daya serap mereka dengan menggunakan alat tes yang diperuntukkan untuk mengukur
daya serap mereka dengan menggunakan alat tes yang diperuntukkan untuk mengukur
daya serap siswa kelas reguler.
Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA-EBTANAS/ UN) untuk Program
Siswa Cepat dijadualkan pada cawu III tahun kedua, bersama-sama dengan siswa
reguler yang sudah menempuh masa belajar cawu III tahun ketiga. Laporan hasil
evaluasi belajar atau rapor untuk Program Siswa Cepat pada dasarnya sama dengan
rapor untuk program reguler.
Nilai/angka pada buku laporan tetap terisi untuk 9 cawu.
Pembagian rapor untuk Program Siswa Cepat dilakukan sesuai dengan Kalender
Pendidikan yang berlaku khusus untuk Program Siswa Cepat.
5) Bimbingan Konseling
Pelayanan Bimbingan dan Konseling sangat diperlukan agar
potensi keberbakatan tinggi yang dimiliki oleh siswa dapat dikembangkan dan
tersalur secara optimal. Program Bimbingan dan Konseling diarahkan untuk dapat
menjaga terjadinya keseimbangan dan keserasian dalam perkembangan intelektual,
emosional dan sosial. Hendaknya dijaga agar jangan sampai penyelenggaraan
Program Siswa Cepat terlalu menekankan perkembangan intelektual dan kurang
dipentingkannya perkembangan emosional dan sosial anak se-irama dengan jiwa
keremajaannya. Selain itu program bimbingan dan konseling diharapkan dapat
mencegah dan mengatasi potensi-potensi negatif yang dapat terjadi dalam proses
percepatan belajar. Potensi negatif tersebut misalnya siswa akan mudah frustasi
karena adanya tekanan dan tuntutan untuk berprestasi, siswa menjadi terasing
atau agresif terhadap orang lain karena sedikit kesempatan untuk membentuk
persahabatan pada masanya, ataupun kegelisahan akibat harus menentukan
keputusan karir lebih dini dari biasanya.
Berbagai fungsi/pelayanan bimbingan dan konseling tersebut
dapat diupayakan dengan melakukan langkah seperti:
1. Pertemuan rutin dengan orang tua siswa untuk saling
bertukar informasi.
2. Menghimpun berbagai data dari guru yang mengajar di kelas
akselerasi, khususnya berkaitan dengan aktivitas siswa pada saat pembelajaran.
3. Menjaring data dari siswa melalui daftar cek masalah,
sosiometri kelas, angket maupun wawancara.
Pro Dan Kontra Akselerasi
Keberadaan kelas akselerasi sering diperdebatkan banyak
pihak. Penyelanggaraan kelas akselerasi (mempercepat) yang sudah diujicobakan
beberapa tahun terakhir ini masih mengandung pro dan kontra. Pihak yang pro
mengatakan bahwa ada anak-anak tertentu yang punya kemampuan lebih daripada
anak lainnya dan mereka berhak belajar sesuai kemampuan mereka yang lebih itu.
Pihak yang kontra mengatakan hal akademis bukanlah prioritas
pertama dalam hidup seseorang, dan yang lebih penting adalah kemampuan sosial.
Jadi, anak-anak berbakatpun sebaiknya ditempatkan di kelas biasa supaya bisa
bergaul dengan anak-anak lainnya.
Kelemahan Akselerasi
a. Stigmatisasi
pada diri siswa kelas regular
Dalam sebuah kesatuan lingkungan, bisa dikatakan bahwa kelas
reguler adalah kelas yang relatif jelek bila dibandingkan dengan kelas
akselerasi.
b. Timbulnya
budaya inferior, kelas eksklusif, arogansi, dan elitism
Dengan kondisi yang betul-betul berbeda dengan segenap
potensi intelektual yang lebih tinggi, jelas siswa-siswa kelas akselerasi akan
jauh lebih berprestasi dibanding kelas reguler. Inferioritas pun mudah
menghinggapi siswa-siswi kelas reguler, dan sebaliknya eksklusivisme, arogansi
dan elitisme akan mudah melekat pada diri siswa-siswa kelas akselerasi.
Masing-masing siswa membentuk group reference mereka sendiri-sendiri.
c. Terjadi
dehumanisasi pada proses belajar di sekolah
Materi pelajaran yang diselesaikan oleh siswa reguler selama
satu tahun harus dilalap habis siswa akselerasi selama satu semester (setengah
tahun). Dengan alokasi waktu yang jauh lebih pendek ini mau tidak mau siswa
harus belajar keras. Segi intelektualitas, potensi mereka memang memungkinkan.
Tetapi, mereka bukanlah mesin yang bisa diset untuk hanya melakukan satu
aktivitas.
d. Siswa kelas
akselerasi tidak memiliki kesempatan luas untuk belajar mengembangkan aspek
afektif
Padatnya materi yang harus mereka terima, banyaknya
pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan, ditunjang kemampuan intelektual
yang mereka miliki dan teman-teman sekelas yang rata rata pandai, membuat iklim
kerja sama mereka menjadi terbatas. Tugas-tugas itu bisa mereka selesaikan
sendiri.
Pendidikan nilai kemanusiaan memerlukan latihan dan
penghayatan yang membutuhkan waktu lama, sehingga sulit dipercepat. Pendidikan
nilai tidak bisa dipercepat, bahkan instan. Pentingnya pendidikan nilai,
termasuk pendidikan budi pekerti dan segi-segi kemanusiaan lain, seperti
emosionalitas, religiusitas, sosialitas, spiritualitas, kedewasaan pribadi, dan
afektivitas, memerlukan latihan dan penghayatan yang membutuhkan waktu lama,
sehingga sulit dipercepat. Misalnya, penanaman nilai sosialitas perlu diwujudkan
dalam banyak tindakan interaksi antarsiswa dan kerja sama; penanaman nilai
penghargaan terhadap manusia lain membutuhkan latihan dan mungkin hidup bersama
orang lain, dan tidak cukup hanya dengan pengajaran pengetahuannya.
Masih banyak anak-anak yang perlu dibantu dalam memperoleh
pendidikan yang layak
Sebagai bangsa, kita perlu membantu anak-anak yang belum
dapat menikmati pendidikan. Mereka akan menjadi bagian penting pengembangan
bangsa ini di kemudian hari, maka kita bertanggung jawab untuk membantu mereka.
Jangan sampai ada segelintir siswa dibantu dipercepat, sedangkan kebanyakan
anak yang masih tidak dapat menikmati pendidikan minimal dibiarkan atau tidak
diurus karena kurang menarik dan memakan biaya besar. Tidak ada jaminan dengan
adanya siswa yang berhasil menjalankan program akselerasi juga dapat
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia.
Belum ada jaminan bahwa program kelas unggulan atau
akselerasi mampu mendongkrak mutu SDM kita yang dinilai masih rendah. Jika ini
yang terjadi, berarti yang dilahirkan oleh institusi pendidikan kita hanyalah
generasi-generasi berotak brilian dan cerdas intelektualnya, tetapi miskin
kecerdasan hati nurani dan spiritual. Pada akhirnya justru membuat mereka
menjadi asing hidup di tengah-tengah masyarakat. Tidak memiliki kepekaan dalam
merasakan denyut nadi kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya.
Kita amat membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan
spiritual dan apresiasi tinggi terhadap nilai-nilai kejujuran, yang menciptakan
damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila
terjadi penghinaan. Yang menabur benih kerukunan bila terjadi silang sengketa,
yang memberikan kepastian bila terjadi kebimbangan. Yang menegakkan kebenaran
bila terjadi beragarn bentuk penyelewengan dan kesesatan. Yang menjadi pembawa
terang di tengah kegelapan hidup. Nilai-nilai kejujuran, sudah menjadi
moralitas bangsa yang tergadaikan. Budaya malu sudah nyaris hilang dari memori
bangsa. Korupsi, manipulasi, kolusi, nepotisme, dan sejenisnya marak terjadi di
mana-mana. Perilaku keagamaan hanya sampai pada tataran ekstrinsik. Agarna
hanya dijadikan sebagai topeng untuk pencapaian kepentingan. Para elite
pemimpin tidak bisa jadi teladan bagi anak-anak bangsa. Yang terjadi justru
sebuah kebanggaan bila mereka mampu melakukan pembohongan publik, sehingga
terlepas dari jerat hukum yang mengancam mereka atas perbuatan korup yang telah
dilakukan. Sementara itu, di aras akar rumput, sentimen kesukuan dan etnis,
anarkisme yang dibungkus fanatisme keagamaan, main hakim sendiri, dan kekerasan
lainnya menjadi adonan perilaku yang gampang disaksikan dalam kehidupan
sehari-hari.
e. Anak dapat
menjadi tertekan
Orang tua mana yang tak bangga jika anaknya punya kemampuan
otak di atas rata-rata. Apalagi jika kemudian si anak ikut program akselerasi
(program percepatan belajar) di sekolahnya, yang dinilai banyak orang punya
nilai prestis. Tapi apakah benar kelas akselerasi lebih baik dibanding kelas
reguler? Lalu bagaimana bila si anak tak dapat beradaptasi dengan lingkungannya
yang lebih dewasa saat harus loncat kelas?
Sekilas tak ada yang membedakan diri Sho Yano (13) dengan
bocah-bocah lain seumurannya, kecuali satu hal, ia adalah mahasiswa termuda
yang kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Chicago. Bocah keturunan Jepang,
putra sulung pasangan Katsura dan Kyung Yano ini memang istimewa. Sejak berusia
2 tahun, ia sudah bisa menulis dan membaca. Menginjak usia 3 tahun Sho sudah
bisa memainkan musik klasik dengan menggunakan instrumen piano. Bahkan di usia
4 tahun ia sudah bisa menggubah lagu.
Kyung masih ingat, pernah suatu kali dirinya mencoba
mempelajari karya Chopin dengan piano. Sementara itu, Sho sedang bermain kereta
api di dekat kakinya. Karena merasa lelah, Kyung lalu beranjak sebentar ke
dapur untuk mengambil minum. Tapi yang terjadi sungguh mengejutkan, ketika
kembali, ia melihat Sho sudah duduk di depan piano dan memainkan irama yang
tadi mati-matian dipelajarinya.
Kemampuan Sho menyerap informasi juga begitu cepat, tak
heran di usia tujuh tahun ia sudah mengerjakan pelajaran SMA yang diajarkan
sendiri oleh orang tuanya, karena tak ada sekolah yang mampu mengakomodir.
Menginjak umur 9 tahun Sho sudah kuliah di “Loyola University Chicago” dan
lulus dalam waktu 3 tahun dengan predikat summa cum laude. Setelah itu, Sho
yang memasuki usia 13 tahun tak berhenti, ia lalu merealisasikan rencananya
untuk kuliah di Fakultas Kedokteran. Kelak, jika semuanya berjalan lancar,
diperkirakan Sho akan menjadi dokter pada usia 19 tahun.
Anak-anak seperti Sho Yano memang istimewa. Mereka memiliki
kemampuan otak di atas normal, sehingga untuk lebih dapat mengembangkan
potensinya mereka juga memerlukan perlakuan istimewa. Salah satu cara yang
dilakukan institusi pendidikan dewasa ini untuk mengistimewakan mereka adalah
dengan jalan membuka kelas akselerasi. Ada yang mengatakan, kelas akselerasi
merupakan wadah yang tepat untuk mengakomodir siswasiswa dengan kecerdasan jauh
di atas rata-rata. Tapi tak sedikit pula yang berpendapat, kelas akselerasi
justru menghambat kemampuan sosialisasi anak.
Seperti yang disampaikan oleh Psikolog Pendidikan, Lucia RM
Royanto, program akselerasi sendiri sebenarnya bertujuan melayani anak-anak
berbakat. Sebab, anak-anak berbakat ini akan cenderung merasa bosan jika harus
mengikuti kelas biasa atau reguler. Mereka tak lagi merasa tertantang, karena
apa yang diajarkan guru di depan kelas menjadi sangat mudah. Di lingkungannya
ia juga sering terlihat tak sabar, karena dia merasa lebih banyak tahu
ketimbang teman-teman lain. Jika sudah demikian, mereka biasanya akan cari
perhatian dengan bikin ulah dan berkelakuan nakal, malah tak sedikit yang
kemudian menjadi underachiever atau tak berprestasi.
Di Indonesia untuk dapat digolongkan sebagai anak berbakat,
seorang anak harus memenuhi 3 kriteria yang sudah diterapkan. Tiga poin penting
tersebut adalah kemampuan intelegensia yang di atas rata-rata atau biasa
dipatok dengan kisaran skor nilai IQ antara 125-130, kreativitas tinggi dan tes
komitmen terhadap tugas atau motivasi yang juga tinggi. Jadi seorang anak yang
IQ-nya 140 tapi tak punya komitmen dan kreativitas tinggi, maka ia belum bisa
dikategorikan sebagai anak berbakat.
Lalu kapan dapat diputuskan seorang anak perlu mengikuti
kelas akselerasi atau tidak? Tak sedikit yang mengatakan justru sebagian besar orang
tualah yang mendorong dengan sedikit ‘memaksa’ agar anaknya dapat masuk kelas
akselerasi. Orang tua mana sih yang tak bangga jika anaknya digolongkan sebagai
anak cerdas dan berbakat. Namun dengan adanya kecenderungan semakin banyak
sekolah yang mengadakan kelas akselerasi, timbul kesan bahwa pihak sekolah juga
punya kepentingan.
Alasannya klasik, membuka kelas untuk siswa yang punya
tingkat kecerdasan excelent, namun kesan yang timbul justru keinginan menaikkan
pamor sekolah. Bahkan ada juga sekolah yang sengaja menurunkan standar kelas
akselerasinya, berhubung menjaring anak berbakat dengan tiga kriteria ideal di
atas tadi sangat sulit, sehingga yang terjadi kelas hanya berisi anak-anak yang
sebenarnya memiliki tingkat kecerdasan biasa saja. Maklum beberapa sekolah ada
yang mematok uang sekolah siswa akselerasi-nya dengan biaya lebih tinggi,
sehingga bisa ditebak, selain gengsi mereka juga ingin mendapatkan keuntungan.
Hal-hal seperti itu semestinya tak boleh terjadi, sebab
bagaimanapun juga yang menjalani proses belajar adalah si anak. Harus
diperhatikan betul apakah si anak mau dan mampu untuk mengikuti program
akselerasi. Sebab, salah-salah bukannya mengoptimalkan bakat dan kecerdasan, si
anak justru menjadi stres karena tertekan. Benturan mental ini jika tak segera
ditangani bukannya tak mungkin akan menjadi semakin parah dan berlanjut pada
gangguan jiwa.
“Banyak juga Iho anak yang ditawari akselerasi tidak mau
padahal mampu. Sebab mereka sadar, akselerasi tekanannya akan lebih tinggi.
Bayangkan saja 3 tahun masa belajar, berdasarkan program akselerasi harus
dipadatkan hanya menjadi 2 tahun. Sedangkan 6 tahun di SD hanya jadi 5 tahun.
Otomatis, bebannya akan lebih berat. Anak seharusnya kita tawari lebih dahulu,
mau tidak dia belajar dengan beban seperti ini. Jika tak mau, maka kita sebagai
orang tua harus bisa menerima. Yang kita utamakan kan bagaimana di sekolah anak
ini bisa belajar dengan happy, tidak merasa tertekan”. Hal lain yang juga perlu
dicermati kembali dari ilustrasi cerita Sho Yano di atas adalah mengenai
hubungan si anak dengan lingkungan sosial. Bayangkan saja, Sho Yano yang masih
berusia 13 tahun tiba-tiba harus ber- baur dengan teman-teman kuliahnya yang
rata-rata sudah berusia 17-18 tahun, dimana umumnya mereka sudah mengalami masa
puber. Untuk mengatasi kesenjangan usia inilah, sangat diperlukan adanya
pendampingan psikologis, sehingga anak mampu beradaptasi.
Mungkin kalau di sekolah tersebut ada kelas akselerasi dan
kelas reguler, tidak terlalu masalah, karena mereka masih bisa bermain dengan
teman-teman seumurannya. Yang menjadi masalah adalah ketika si anak masuk ke
lingkungan yang lebih dewasa. Karena itu, jika sekolah menyelenggarakan program
akselerasi, maka ia harus sudah menyiapkan psikolog atau konselor yang
betul-betul dapat menangani segi emosional anak-anak ini.
Pada dasarnya, pola pendampingan psikologis itu sendiri
lebih ditujukan untuk membentuk pribadi anak-anak berbakat ini menjadi lebih
tenggang rasa dan mau mendengarkan orang lain. Sikap-sikap seperti itulah yang
harus ditanamkan, sebab konon anak-anak seperti ini cenderung menunjukkan
perilaku egois, angkuh dan tak mau mendengar pendapat orang lain. “Jangan
sampai karena terlanjur biasa dengan sesama temannya di kelas akselerasi yang
berdaya pikir cepat, ia tak bisa toleransi dengan orang yang berbeda dengannya.
Ini sangat penting ketika ia harus terjun ke dunia nyata seperti dunia kerja.
Pembentukan sikap pada anak ini dapat dilatih sejak dini.
Misalnya saja, dengan jangan terlalu mengangap anak ini `sangat lebih’,
sehingga akan membuat anak menjadi besar kepala. Namun sebaliknya juga jangan
terlalu meremehkan, misalnya dengan berkata, “Ala…masa kamu begini saja nggak
bisa, kamu kan anak berbakat.” Pernyataan-pernyataan seperti itu tak hanya akan
membuat kecewa si anak dan berdampak tak baik, tapi juga menurunkan kepercayaan
dirinya.
Dengan alasan tak ingin mengkotak-kotakkan anak, tak sedikit
juga sekolah yang menolak membuka kelas akselerasi. Mereka berpendapat, seorang
anak tak perlu diistimewakan dengan dibuatkan kelas akselerasi. Jika memang
ingin diikutkan program akselerasi, maka ia harus di-aksel secara tersendiri.
Misalnya, ada anak yang punya bakat menonjol di bidang matematika, maka untuk
menyalurkan minatnya itu si anak bisa diikutkan les atau semacam klub
matematika. Dalam hal ini kepekaan guru dan orang tua untuk melihat potensi
anak amat dibutuhkan.
Lebih dari itu, perlu disadari, anak terdiri dari segi
kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua aspek dalam kehidupannya itu perlu
dikembangkan secara optimal, bukan hanya dari segi intelegensianya saja. Cara
bersikap, kepribadian dan kepercayaan diri juga harus mengalami proses
pembentukan yang matang. Karena itu, jangan terlalu memaksa anak untuk mengisi
waktu luangnya dengan les kumon, les bahasa inggris atau les pelajaran saja.
Agar berimbang, usahakan anak ikut dalam kelompok
organisasi, misalnya pecinta buku, pecinta alam, kelompok musik dan lain
sebagainya. Dengan demikian, kemampuan untuk organisasi, mengambil keputusan
dan human relation-nya juga akan terasah. Dari segi psikomotorik, anak juga
harus dikembangkan dengan banyak melakukan kegiatan-kegiatan fisik, seperti
olah raga misalnya.
Perlu juga diingat, meski memiliki kemampuan berpikir di
atas rata-rata, anak ini tetaplah anak yang juga memiliki
keterbatasan-keterbatasan, bukannya superkid. Mereka tetap memerlukan perhatian
orang tua dan keluarga baik dari aspek sosial dan emosionalnya. Sehingga, saat
anak mengeluh dirinya sudah merasa jenuh dan tak mampu lagi mengikuti kelas
akselerasi, orang tua harus mau membantu dan mendengarkan keluh kesah putra
putrinya.
“Mungkin saja karena sudah terlalu frustasi, dia akhirnya
menyerah, tak mau lagi di kelas akselerasi dan memilih pindah ke kelas reguler.
Karena itulah, perlu dipikirkan juga oleh para pelaku di bidang pendidikan
untuk membuat satu sistem yang fleksibel, sehingga memungkinkan anak dapat
pindah dari kelas akselerasi ke kelas reguler, atau sebaliknya.
Keunggulan program akselerasi
Kelas ini dirancang menjadi kelas unggulan. Proses rekrutmen
untuk melihat potensi siswa dilakukan secara multidimensional. Dari sisi waktu,
penyelenggaraan kelas akselerasi menguntungkan, siswa yang bakat intelektualnya
tinggi dibantu secara khusus, sehingga mereka mendapatkan bantuan pengajaran
lebih sesuai bakatnya. Mereka akan dapat cepat lulus, diperkirakan setahun
lebih awal dibanding siswa biasa. Jadi, keuntungannya terletak pada akselerasi
pengajaran. Dengan program percepatan ini diharapkan siswa berbakat tidak bosan
di kelas yang sama dengan siswa lain, sehingga tidak mengganggu, mengacau
kelas, dan dia dapat terus maju dengan cepat. Kelas model ini memang
menjanjikan siswa lebih cepat selesai dibandingkan melalui tahapan-tahapan pada
umumnya.
Selain itu, untuk lebih dapat mengembangkan potensinya,
anak-anak yang memiliki kemampuan otak di atas normal, mereka juga memerlukan
perlakuan istimewa. Salah satu cara yang dilakukan institusi pendidikan dewasa
ini untuk mengistimewakan mereka adalah dengan jalan membuka kelas akselerasi
ini.
Siswa juga dapat menjadi memiliki motivasi dan komitmen
tinggi untuk mencapai prestasi dan keunggulan karena untuk menjadi dan
menjalani program akselerasi ini menuntut kesabaran dan usaha yang keras
sehingga mencapai hasil yang maksimal. Dengan dituntutnya kesabaran dan usaha
yang keras, maka dapat melatih siswa-siswanya untuk menjadi yang terbaik di
berbagai macam bidang dan berguna di masa depannya.
Dengan adanya siswa akselerasi ini juga menyebabkan kelas
reguler menjadi stabil karena siswa yang memiliki kemampuan rata-rata dan di
bawah rata-rata tidak merasa tersaingi dan tergangggu lagi dengan adanya siswa
yang jauh lebih cerdas darinya. Keadaan ini dapat melancarkan kegiatan
belajar-mengajar serta dapat juga meningkatkan kemampuan siswa karena sudah
tidak ada persaingan lagi sehingga setiap anak memiliki kepercayaan dirinya
masing-masing.
No comments:
Post a Comment