Wednesday, May 25, 2016

Pendidikan Akselerasi Indonesia. Bisakah ?...



Pendidikan di Indonesia bersifat klasikal, artinya semua siswa diperlakukan sama. Padahal setiap siswa memiliki Intelegensi, bakat, dan minat yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan siswa yang memiliki kemampuan diatas normal merasa jenuh karena harus menunggu siswa lain yang lebih lamban darinya. Hal terburuk yang dapat terjadi adalah siswa tersebut cenderung memberikan kesan dan tindakan yang kurang baik sehingga kegiatan belajar mengajar dalam kelas kurang lancar. Siswa-siswa yang memiliki kemampuan diats normal juga menjadi tidak dapat mengembangkan potensinya se-optimal mungkin.
Untuk itu, diperlukan penanganan khusus berupa program khusus yang lebih cepat atau lebih luas dari program pendidikan biasa/reguler.
“Lebih cepat” dapat diartikan bahwa siswa akan dapat menyelesaikan program reguler dalam waktu yang lebih singkat. Jika itu terjadi berarti merupakan efisiensi waktu yang cukup signifikan.
“Lebih luas” dapat diartikan bahwa siswa akan memperoleh kemampuan yang lebih banyak dan dalam dibandingkan dengan siswa program reguler.


Pengertian Akselerasi
Program percepatan belajar atau program siswa berbakat akademis adalah program pendidikan yang memberikan kesempatan kepada siswa yang memiliki kemampuan diatas rata-rata untuk dapat menyelesaikan program pendidikannya dalam waktu lebih cepat dari siswa lainnya.
Landasan hukum
Pada Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB III:
-Pasal 8 menyatakan bahwa: warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa, berhak memperoleh perhatian khusus.
-Pasal 24 menyatakan bahwa setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak antara lain sebagai berikut:

- Mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.(butir 1)
- Menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan. (butir 6)

Landasan hukum untuk melaksanakan program siswa berbakat adalah Undang-undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut : Pasal 5 ayat 4 dan Pasal 12 ayat 1.

Penyelenggaraan Program Siswa berbakat akademik mempunyai tujuan:
-Memberi pelayanan khusus kepada siswa yang mempunyai bakat dan kecerdasan istimewa.
-Memberi kesempatan kepada siswa yang ingin menyelesaikan program pendidikan lebih cepat.
-Mengembangkan kemampuan berfikir dan bernalar siswa lebih komprehensif dan optimal.
-Mengembangkan kreativitas secara optimal.

Indikator keberhasilan siswa-siswa berbakat akademik adalah :

1. Memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk masuk ke perguruan tinggi favorit.
2. Munculnya minat dan bakat siswa secara optimal.

Siswa-siswa berbakat yang dihasilkan lewat program siswa berbakat akademik diharapkan memiliki :

1. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Motivasi dan komitmen yang tinggi untuk mencapai prestasi tinggi.
3. Gemar membaca dan meneliti
4. Disiplin yang tinggi
5. Memiliki jiwa seni yang tinggi

Persyaratan menjadi siswa/siswi berbakat adalah :

1. Akademis
· Nilai UN minimal rata-rata 8,00
· Rata-rata nilai raport minimal 8,00
· Nilai Tes Akademik (IPA, Matematika, Bahasa Indonesia) Rata-rata minimal 8,00.
2. Hasil Pemeriksaan Psikologis
· Tingkat kecerdasan IQ minimal 125
· Memiliki Tingkat kreativitas CQ yang tinggi
· Komitmen terhadap tugas TC yang tinggi
3. Memiliki minat yang tinggi dan mampu belajar mandiri
4. Mendapat persetujuan Orang Tua
5. Mengikuti Wawancara
Selama kurang lebih 1 bulan siswa berbakat akan diamati oleh guru dan teman sebaya sebagai bahan rekomendasi pengamatan kepribadian. (Biasanya yang lolos sekitar 3 – 10%).

Penyelenggaraan program Akselerasi
Pertemuan dengan orang tua perlu dilakukan, baik sebelum maupun sesudah hasil seleksi. Pertemuan sebelum hasil seleksi bertujuan menjelaskan kepada orang tua maksud dan pentingnya identifikasi anak berbakat dalam rangka memperoleh pelayanan program pendidikan sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Sedangkan pertemuan sesudah penetapan hasil seleksi bertujuan untuk menjelaskan program akselerasi yang akan diselenggarakan oleh sekolah dan betapa pentingnya peran serta orang tua dalam menunjang kelancaran dan keberhasilan program tersebut. Dalam pertemuan ini sekaligus dibuat kesepakatan bahwa bila nantinya siswa tidak bisa mengikuti program ini dengan baik, maka siswa tersebut akan dikembalikan ke program reguler.
Unsur– unsur kelas akselerasi :
1) Guru

Guru yang mengajar Program Akselerasi adalah guru-guru biasa yang juga mengajar program reguler. Hanya saja sebelumnya, mereka telah dipersiapkan dalam suatu lokakarya dan Workshop sehingga memiliki pemahaman tentang perlunya layanan pendidikan bagi anak-anak berbakat, keterampilan menyusun Program Kerja Guru (PKG), pemilihan strategi pembelajaran, penyusunan catatan lapangan serta melakukan evaluasi pengajaran bagi program Siswa Cepat.
2) Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Alokasi jam belajar tatap muka atau lama belajar diatur sama dengan program reguler dalam satu minggu.

Perbedaan antara kurikulum siswa akselerasi dengan reguler adalah :

Penyusunan struktur program pengajaran dengan alokasi waktu yang lebih singkat. Yaitu dari tiga tahun menjadi dua tahun.

Tahun Pertama :
§  100% materi pelajaran kelas 1
§  50% materi pelajaran kelas 2
Tahun Kedua :
§  50% materi pelajaran kelas 2
§  100% materi pelajaran kelas 3
Terletak pada pemilihan materi esensial dan non esensial serta pengembangan kurikulum berdiferensiasi. Untuk itu setiap guru yang mengajar di kelas akselerasi perlu terlebih dulu melakukan analisis materi pelajaran untuk menentukan sifat materi yang esensial dan kurang.
Suatu materi dikatakan memiliki konsep esensial bila memenuhi unsur kriteria berikut ini:

(1) konsep dasar
(2) konsep yang menjadi dasar untuk konsep berikut
(3) konsep yang berguna untuk aplikasi
(4) konsep yang sering muncul pada EBTANAS/UN
(5) konsep yang sering muncul pada UMPTN untuk SMU.

3.) Strategi Pembelajaran

Pembelajaran untuk Program akselerasi harus diwarnai kecepatan dan tingkat kompleksitas yang lebih sesuai dengan tingkat kemampuan yang lebih tinggi dan siswa kelas reguler, serta menekankan pada perkembangan kreatif dan proses berpikir tinggi.
Strategi pembelajaran yang sesuai untuk Program akselerasi adalah : Strategi pembelajaran yang terfokus pada belajar bagaimana seharusnya belajar. Strategi itu harus menekankan pada perkembangan kemampuan intelektual tinggi. Strategi itu harus memiliki kepekaan (sensitif) terhadap kemajuan belajar dari tingkat konseptual rendah kepada tingkat intelektual tinggi. Untuk itu metode pembelajaran yang paling sesuai adalah metode pembelajaran induktif, divergen dan berpikir evaluatif. Hafalan pada pembelajaran Program Siswa Cepat sejauh mungkin dicegah dengan memberikan tekanan pada teknik yang berorientasi pada penemuan (discovery oriented) dan pendekatan induktif.

4) Evaluasi Belajar dan Laporan Hasil Belajar.

Evaluasi belajar yang dilakukan pada Program Siswa Cepat pada dasarnya tidak berbeda dengan siswa kelas reguler. Perbedaannya hanya terletak pada jadual tes karena untuk Program Siswa Cepat mengacu kepada kalender pendidikan yang dibuat khusus. Meskipun demikian, ada baiknya pada saat siswa kelas reguler mengikuti ulangan umum akhir cawu, mereka dapat diikutsertakan. Hal ini sangat baik untuk mendapatkan data pembanding tingkat daya serap mereka dengan menggunakan alat tes yang diperuntukkan untuk mengukur daya serap mereka dengan menggunakan alat tes yang diperuntukkan untuk mengukur daya serap siswa kelas reguler.
Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA-EBTANAS/ UN) untuk Program Siswa Cepat dijadualkan pada cawu III tahun kedua, bersama-sama dengan siswa reguler yang sudah menempuh masa belajar cawu III tahun ketiga. Laporan hasil evaluasi belajar atau rapor untuk Program Siswa Cepat pada dasarnya sama dengan rapor untuk program reguler.
Nilai/angka pada buku laporan tetap terisi untuk 9 cawu. Pembagian rapor untuk Program Siswa Cepat dilakukan sesuai dengan Kalender Pendidikan yang berlaku khusus untuk Program Siswa Cepat.
5) Bimbingan Konseling

Pelayanan Bimbingan dan Konseling sangat diperlukan agar potensi keberbakatan tinggi yang dimiliki oleh siswa dapat dikembangkan dan tersalur secara optimal. Program Bimbingan dan Konseling diarahkan untuk dapat menjaga terjadinya keseimbangan dan keserasian dalam perkembangan intelektual, emosional dan sosial. Hendaknya dijaga agar jangan sampai penyelenggaraan Program Siswa Cepat terlalu menekankan perkembangan intelektual dan kurang dipentingkannya perkembangan emosional dan sosial anak se-irama dengan jiwa keremajaannya. Selain itu program bimbingan dan konseling diharapkan dapat mencegah dan mengatasi potensi-potensi negatif yang dapat terjadi dalam proses percepatan belajar. Potensi negatif tersebut misalnya siswa akan mudah frustasi karena adanya tekanan dan tuntutan untuk berprestasi, siswa menjadi terasing atau agresif terhadap orang lain karena sedikit kesempatan untuk membentuk persahabatan pada masanya, ataupun kegelisahan akibat harus menentukan keputusan karir lebih dini dari biasanya.
Berbagai fungsi/pelayanan bimbingan dan konseling tersebut dapat diupayakan dengan melakukan langkah seperti:

1. Pertemuan rutin dengan orang tua siswa untuk saling bertukar informasi.
2. Menghimpun berbagai data dari guru yang mengajar di kelas akselerasi, khususnya berkaitan dengan aktivitas siswa pada saat pembelajaran.
3. Menjaring data dari siswa melalui daftar cek masalah, sosiometri kelas, angket maupun wawancara.
 
Pro Dan Kontra Akselerasi
Keberadaan kelas akselerasi sering diperdebatkan banyak pihak. Penyelanggaraan kelas akselerasi (mempercepat) yang sudah diujicobakan beberapa tahun terakhir ini masih mengandung pro dan kontra. Pihak yang pro mengatakan bahwa ada anak-anak tertentu yang punya kemampuan lebih daripada anak lainnya dan mereka berhak belajar sesuai kemampuan mereka yang lebih itu.
Pihak yang kontra mengatakan hal akademis bukanlah prioritas pertama dalam hidup seseorang, dan yang lebih penting adalah kemampuan sosial. Jadi, anak-anak berbakatpun sebaiknya ditempatkan di kelas biasa supaya bisa bergaul dengan anak-anak lainnya.

Kelemahan Akselerasi
a. Stigmatisasi pada diri siswa kelas regular
Dalam sebuah kesatuan lingkungan, bisa dikatakan bahwa kelas reguler adalah kelas yang relatif jelek bila dibandingkan dengan kelas akselerasi.
b. Timbulnya budaya inferior, kelas eksklusif, arogansi, dan elitism
Dengan kondisi yang betul-betul berbeda dengan segenap potensi intelektual yang lebih tinggi, jelas siswa-siswa kelas akselerasi akan jauh lebih berprestasi dibanding kelas reguler. Inferioritas pun mudah menghinggapi siswa-siswi kelas reguler, dan sebaliknya eksklusivisme, arogansi dan elitisme akan mudah melekat pada diri siswa-siswa kelas akselerasi. Masing-masing siswa membentuk group reference mereka sendiri-sendiri.
c. Terjadi dehumanisasi pada proses belajar di sekolah
Materi pelajaran yang diselesaikan oleh siswa reguler selama satu tahun harus dilalap habis siswa akselerasi selama satu semester (setengah tahun). Dengan alokasi waktu yang jauh lebih pendek ini mau tidak mau siswa harus belajar keras. Segi intelektualitas, potensi mereka memang memungkinkan. Tetapi, mereka bukanlah mesin yang bisa diset untuk hanya melakukan satu aktivitas.
d. Siswa kelas akselerasi tidak memiliki kesempatan luas untuk belajar mengembangkan aspek afektif
Padatnya materi yang harus mereka terima, banyaknya pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan, ditunjang kemampuan intelektual yang mereka miliki dan teman-teman sekelas yang rata rata pandai, membuat iklim kerja sama mereka menjadi terbatas. Tugas-tugas itu bisa mereka selesaikan sendiri.
Pendidikan nilai kemanusiaan memerlukan latihan dan penghayatan yang membutuhkan waktu lama, sehingga sulit dipercepat. Pendidikan nilai tidak bisa dipercepat, bahkan instan. Pentingnya pendidikan nilai, termasuk pendidikan budi pekerti dan segi-segi kemanusiaan lain, seperti emosionalitas, religiusitas, sosialitas, spiritualitas, kedewasaan pribadi, dan afektivitas, memerlukan latihan dan penghayatan yang membutuhkan waktu lama, sehingga sulit dipercepat. Misalnya, penanaman nilai sosialitas perlu diwujudkan dalam banyak tindakan interaksi antarsiswa dan kerja sama; penanaman nilai penghargaan terhadap manusia lain membutuhkan latihan dan mungkin hidup bersama orang lain, dan tidak cukup hanya dengan pengajaran pengetahuannya.
Masih banyak anak-anak yang perlu dibantu dalam memperoleh pendidikan yang layak

Sebagai bangsa, kita perlu membantu anak-anak yang belum dapat menikmati pendidikan. Mereka akan menjadi bagian penting pengembangan bangsa ini di kemudian hari, maka kita bertanggung jawab untuk membantu mereka. Jangan sampai ada segelintir siswa dibantu dipercepat, sedangkan kebanyakan anak yang masih tidak dapat menikmati pendidikan minimal dibiarkan atau tidak diurus karena kurang menarik dan memakan biaya besar. Tidak ada jaminan dengan adanya siswa yang berhasil menjalankan program akselerasi juga dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia.
Belum ada jaminan bahwa program kelas unggulan atau akselerasi mampu mendongkrak mutu SDM kita yang dinilai masih rendah. Jika ini yang terjadi, berarti yang dilahirkan oleh institusi pendidikan kita hanyalah generasi-generasi berotak brilian dan cerdas intelektualnya, tetapi miskin kecerdasan hati nurani dan spiritual. Pada akhirnya justru membuat mereka menjadi asing hidup di tengah-tengah masyarakat. Tidak memiliki kepekaan dalam merasakan denyut nadi kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya.
Kita amat membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual dan apresiasi tinggi terhadap nilai-nilai kejujuran, yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan. Yang menabur benih kerukunan bila terjadi silang sengketa, yang memberikan kepastian bila terjadi kebimbangan. Yang menegakkan kebenaran bila terjadi beragarn bentuk penyelewengan dan kesesatan. Yang menjadi pembawa terang di tengah kegelapan hidup. Nilai-nilai kejujuran, sudah menjadi moralitas bangsa yang tergadaikan. Budaya malu sudah nyaris hilang dari memori bangsa. Korupsi, manipulasi, kolusi, nepotisme, dan sejenisnya marak terjadi di mana-mana. Perilaku keagamaan hanya sampai pada tataran ekstrinsik. Agarna hanya dijadikan sebagai topeng untuk pencapaian kepentingan. Para elite pemimpin tidak bisa jadi teladan bagi anak-anak bangsa. Yang terjadi justru sebuah kebanggaan bila mereka mampu melakukan pembohongan publik, sehingga terlepas dari jerat hukum yang mengancam mereka atas perbuatan korup yang telah dilakukan. Sementara itu, di aras akar rumput, sentimen kesukuan dan etnis, anarkisme yang dibungkus fanatisme keagamaan, main hakim sendiri, dan kekerasan lainnya menjadi adonan perilaku yang gampang disaksikan dalam kehidupan sehari-hari.
e. Anak dapat menjadi tertekan
Orang tua mana yang tak bangga jika anaknya punya kemampuan otak di atas rata-rata. Apalagi jika kemudian si anak ikut program akselerasi (program percepatan belajar) di sekolahnya, yang dinilai banyak orang punya nilai prestis. Tapi apakah benar kelas akselerasi lebih baik dibanding kelas reguler? Lalu bagaimana bila si anak tak dapat beradaptasi dengan lingkungannya yang lebih dewasa saat harus loncat kelas?
Sekilas tak ada yang membedakan diri Sho Yano (13) dengan bocah-bocah lain seumurannya, kecuali satu hal, ia adalah mahasiswa termuda yang kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Chicago. Bocah keturunan Jepang, putra sulung pasangan Katsura dan Kyung Yano ini memang istimewa. Sejak berusia 2 tahun, ia sudah bisa menulis dan membaca. Menginjak usia 3 tahun Sho sudah bisa memainkan musik klasik dengan menggunakan instrumen piano. Bahkan di usia 4 tahun ia sudah bisa menggubah lagu.

Kyung masih ingat, pernah suatu kali dirinya mencoba mempelajari karya Chopin dengan piano. Sementara itu, Sho sedang bermain kereta api di dekat kakinya. Karena merasa lelah, Kyung lalu beranjak sebentar ke dapur untuk mengambil minum. Tapi yang terjadi sungguh mengejutkan, ketika kembali, ia melihat Sho sudah duduk di depan piano dan memainkan irama yang tadi mati-matian dipelajarinya.
Kemampuan Sho menyerap informasi juga begitu cepat, tak heran di usia tujuh tahun ia sudah mengerjakan pelajaran SMA yang diajarkan sendiri oleh orang tuanya, karena tak ada sekolah yang mampu mengakomodir. Menginjak umur 9 tahun Sho sudah kuliah di “Loyola University Chicago” dan lulus dalam waktu 3 tahun dengan predikat summa cum laude. Setelah itu, Sho yang memasuki usia 13 tahun tak berhenti, ia lalu merealisasikan rencananya untuk kuliah di Fakultas Kedokteran. Kelak, jika semuanya berjalan lancar, diperkirakan Sho akan menjadi dokter pada usia 19 tahun.
Anak-anak seperti Sho Yano memang istimewa. Mereka memiliki kemampuan otak di atas normal, sehingga untuk lebih dapat mengembangkan potensinya mereka juga memerlukan perlakuan istimewa. Salah satu cara yang dilakukan institusi pendidikan dewasa ini untuk mengistimewakan mereka adalah dengan jalan membuka kelas akselerasi. Ada yang mengatakan, kelas akselerasi merupakan wadah yang tepat untuk mengakomodir siswasiswa dengan kecerdasan jauh di atas rata-rata. Tapi tak sedikit pula yang berpendapat, kelas akselerasi justru menghambat kemampuan sosialisasi anak.
Seperti yang disampaikan oleh Psikolog Pendidikan, Lucia RM Royanto, program akselerasi sendiri sebenarnya bertujuan melayani anak-anak berbakat. Sebab, anak-anak berbakat ini akan cenderung merasa bosan jika harus mengikuti kelas biasa atau reguler. Mereka tak lagi merasa tertantang, karena apa yang diajarkan guru di depan kelas menjadi sangat mudah. Di lingkungannya ia juga sering terlihat tak sabar, karena dia merasa lebih banyak tahu ketimbang teman-teman lain. Jika sudah demikian, mereka biasanya akan cari perhatian dengan bikin ulah dan berkelakuan nakal, malah tak sedikit yang kemudian menjadi underachiever atau tak berprestasi.

Di Indonesia untuk dapat digolongkan sebagai anak berbakat, seorang anak harus memenuhi 3 kriteria yang sudah diterapkan. Tiga poin penting tersebut adalah kemampuan intelegensia yang di atas rata-rata atau biasa dipatok dengan kisaran skor nilai IQ antara 125-130, kreativitas tinggi dan tes komitmen terhadap tugas atau motivasi yang juga tinggi. Jadi seorang anak yang IQ-nya 140 tapi tak punya komitmen dan kreativitas tinggi, maka ia belum bisa dikategorikan sebagai anak berbakat.

Lalu kapan dapat diputuskan seorang anak perlu mengikuti kelas akselerasi atau tidak? Tak sedikit yang mengatakan justru sebagian besar orang tualah yang mendorong dengan sedikit ‘memaksa’ agar anaknya dapat masuk kelas akselerasi. Orang tua mana sih yang tak bangga jika anaknya digolongkan sebagai anak cerdas dan berbakat. Namun dengan adanya kecenderungan semakin banyak sekolah yang mengadakan kelas akselerasi, timbul kesan bahwa pihak sekolah juga punya kepentingan.
 
Alasannya klasik, membuka kelas untuk siswa yang punya tingkat kecerdasan excelent, namun kesan yang timbul justru keinginan menaikkan pamor sekolah. Bahkan ada juga sekolah yang sengaja menurunkan standar kelas akselerasinya, berhubung menjaring anak berbakat dengan tiga kriteria ideal di atas tadi sangat sulit, sehingga yang terjadi kelas hanya berisi anak-anak yang sebenarnya memiliki tingkat kecerdasan biasa saja. Maklum beberapa sekolah ada yang mematok uang sekolah siswa akselerasi-nya dengan biaya lebih tinggi, sehingga bisa ditebak, selain gengsi mereka juga ingin mendapatkan keuntungan.
Hal-hal seperti itu semestinya tak boleh terjadi, sebab bagaimanapun juga yang menjalani proses belajar adalah si anak. Harus diperhatikan betul apakah si anak mau dan mampu untuk mengikuti program akselerasi. Sebab, salah-salah bukannya mengoptimalkan bakat dan kecerdasan, si anak justru menjadi stres karena tertekan. Benturan mental ini jika tak segera ditangani bukannya tak mungkin akan menjadi semakin parah dan berlanjut pada gangguan jiwa.
“Banyak juga Iho anak yang ditawari akselerasi tidak mau padahal mampu. Sebab mereka sadar, akselerasi tekanannya akan lebih tinggi. Bayangkan saja 3 tahun masa belajar, berdasarkan program akselerasi harus dipadatkan hanya menjadi 2 tahun. Sedangkan 6 tahun di SD hanya jadi 5 tahun. Otomatis, bebannya akan lebih berat. Anak seharusnya kita tawari lebih dahulu, mau tidak dia belajar dengan beban seperti ini. Jika tak mau, maka kita sebagai orang tua harus bisa menerima. Yang kita utamakan kan bagaimana di sekolah anak ini bisa belajar dengan happy, tidak merasa tertekan”. Hal lain yang juga perlu dicermati kembali dari ilustrasi cerita Sho Yano di atas adalah mengenai hubungan si anak dengan lingkungan sosial. Bayangkan saja, Sho Yano yang masih berusia 13 tahun tiba-tiba harus ber- baur dengan teman-teman kuliahnya yang rata-rata sudah berusia 17-18 tahun, dimana umumnya mereka sudah mengalami masa puber. Untuk mengatasi kesenjangan usia inilah, sangat diperlukan adanya pendampingan psikologis, sehingga anak mampu beradaptasi.
Mungkin kalau di sekolah tersebut ada kelas akselerasi dan kelas reguler, tidak terlalu masalah, karena mereka masih bisa bermain dengan teman-teman seumurannya. Yang menjadi masalah adalah ketika si anak masuk ke lingkungan yang lebih dewasa. Karena itu, jika sekolah menyelenggarakan program akselerasi, maka ia harus sudah menyiapkan psikolog atau konselor yang betul-betul dapat menangani segi emosional anak-anak ini.
Pada dasarnya, pola pendampingan psikologis itu sendiri lebih ditujukan untuk membentuk pribadi anak-anak berbakat ini menjadi lebih tenggang rasa dan mau mendengarkan orang lain. Sikap-sikap seperti itulah yang harus ditanamkan, sebab konon anak-anak seperti ini cenderung menunjukkan perilaku egois, angkuh dan tak mau mendengar pendapat orang lain. “Jangan sampai karena terlanjur biasa dengan sesama temannya di kelas akselerasi yang berdaya pikir cepat, ia tak bisa toleransi dengan orang yang berbeda dengannya. Ini sangat penting ketika ia harus terjun ke dunia nyata seperti dunia kerja.
Pembentukan sikap pada anak ini dapat dilatih sejak dini. Misalnya saja, dengan jangan terlalu mengangap anak ini `sangat lebih’, sehingga akan membuat anak menjadi besar kepala. Namun sebaliknya juga jangan terlalu meremehkan, misalnya dengan berkata, “Ala…masa kamu begini saja nggak bisa, kamu kan anak berbakat.” Pernyataan-pernyataan seperti itu tak hanya akan membuat kecewa si anak dan berdampak tak baik, tapi juga menurunkan kepercayaan dirinya.
Dengan alasan tak ingin mengkotak-kotakkan anak, tak sedikit juga sekolah yang menolak membuka kelas akselerasi. Mereka berpendapat, seorang anak tak perlu diistimewakan dengan dibuatkan kelas akselerasi. Jika memang ingin diikutkan program akselerasi, maka ia harus di-aksel secara tersendiri. Misalnya, ada anak yang punya bakat menonjol di bidang matematika, maka untuk menyalurkan minatnya itu si anak bisa diikutkan les atau semacam klub matematika. Dalam hal ini kepekaan guru dan orang tua untuk melihat potensi anak amat dibutuhkan.
Lebih dari itu, perlu disadari, anak terdiri dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua aspek dalam kehidupannya itu perlu dikembangkan secara optimal, bukan hanya dari segi intelegensianya saja. Cara bersikap, kepribadian dan kepercayaan diri juga harus mengalami proses pembentukan yang matang. Karena itu, jangan terlalu memaksa anak untuk mengisi waktu luangnya dengan les kumon, les bahasa inggris atau les pelajaran saja.
Agar berimbang, usahakan anak ikut dalam kelompok organisasi, misalnya pecinta buku, pecinta alam, kelompok musik dan lain sebagainya. Dengan demikian, kemampuan untuk organisasi, mengambil keputusan dan human relation-nya juga akan terasah. Dari segi psikomotorik, anak juga harus dikembangkan dengan banyak melakukan kegiatan-kegiatan fisik, seperti olah raga misalnya.
Perlu juga diingat, meski memiliki kemampuan berpikir di atas rata-rata, anak ini tetaplah anak yang juga memiliki keterbatasan-keterbatasan, bukannya superkid. Mereka tetap memerlukan perhatian orang tua dan keluarga baik dari aspek sosial dan emosionalnya. Sehingga, saat anak mengeluh dirinya sudah merasa jenuh dan tak mampu lagi mengikuti kelas akselerasi, orang tua harus mau membantu dan mendengarkan keluh kesah putra putrinya.
“Mungkin saja karena sudah terlalu frustasi, dia akhirnya menyerah, tak mau lagi di kelas akselerasi dan memilih pindah ke kelas reguler. Karena itulah, perlu dipikirkan juga oleh para pelaku di bidang pendidikan untuk membuat satu sistem yang fleksibel, sehingga memungkinkan anak dapat pindah dari kelas akselerasi ke kelas reguler, atau sebaliknya.
 
Keunggulan program akselerasi
Kelas ini dirancang menjadi kelas unggulan. Proses rekrutmen untuk melihat potensi siswa dilakukan secara multidimensional. Dari sisi waktu, penyelenggaraan kelas akselerasi menguntungkan, siswa yang bakat intelektualnya tinggi dibantu secara khusus, sehingga mereka mendapatkan bantuan pengajaran lebih sesuai bakatnya. Mereka akan dapat cepat lulus, diperkirakan setahun lebih awal dibanding siswa biasa. Jadi, keuntungannya terletak pada akselerasi pengajaran. Dengan program percepatan ini diharapkan siswa berbakat tidak bosan di kelas yang sama dengan siswa lain, sehingga tidak mengganggu, mengacau kelas, dan dia dapat terus maju dengan cepat. Kelas model ini memang menjanjikan siswa lebih cepat selesai dibandingkan melalui tahapan-tahapan pada umumnya.

Selain itu, untuk lebih dapat mengembangkan potensinya, anak-anak yang memiliki kemampuan otak di atas normal, mereka juga memerlukan perlakuan istimewa. Salah satu cara yang dilakukan institusi pendidikan dewasa ini untuk mengistimewakan mereka adalah dengan jalan membuka kelas akselerasi ini.
Siswa juga dapat menjadi memiliki motivasi dan komitmen tinggi untuk mencapai prestasi dan keunggulan karena untuk menjadi dan menjalani program akselerasi ini menuntut kesabaran dan usaha yang keras sehingga mencapai hasil yang maksimal. Dengan dituntutnya kesabaran dan usaha yang keras, maka dapat melatih siswa-siswanya untuk menjadi yang terbaik di berbagai macam bidang dan berguna di masa depannya.

Dengan adanya siswa akselerasi ini juga menyebabkan kelas reguler menjadi stabil karena siswa yang memiliki kemampuan rata-rata dan di bawah rata-rata tidak merasa tersaingi dan tergangggu lagi dengan adanya siswa yang jauh lebih cerdas darinya. Keadaan ini dapat melancarkan kegiatan belajar-mengajar serta dapat juga meningkatkan kemampuan siswa karena sudah tidak ada persaingan lagi sehingga setiap anak memiliki kepercayaan dirinya masing-masing.

No comments: